Kesepakatan Lebanon-Israel dan Peluang Menuju Kemitraan Ekonomi
Lebanon dan Israel, dua negara yang masih dalam status perang, akan menorehkan kesepakatan bersejarah dalam perbatasan laut mereka. Akankah ini bakal menjadi awal kemitraan ekonomi dua negara bermusuhan itu?
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Apakah Lebanon-Israel saat ini tengah menuju ke arah kemitraan ekonomi? Ini pertanyaan yang muncul menyusul semakin dekatnya Lebanon dan Israel mencapai kesepakatan perbatasan laut.
Baik pihak Israel maupun Lebanon sama-sama optimistis bahwa kesepakatan perbatasan laut kedua negara semakin dekat dicapai. Presiden Lebanon Michel Aoun, Selasa (11/10/2022), menegaskan bahwa draf final kesepakatan laut dengan Israel telah memenuhi aspirasi Lebanon. Dalam pidatonya yang disiarkan televisi, Kamis, ia mengumumkan secara resmi bahwa Lebanon telah menyetujui isi kesepakatan tersebut.
Di pihak lain, Perdana Menteri Israel Yair Lapid juga menegaskan, Israel dan Lebanon telah mencapai kesepakatan historis soal perbatasan laut.
Perundingan tidak langsung Lebanon-Israel tentang perbatasan laut itu dimediasi oleh seorang diplomat senior AS, Amos Hochstein. Perundingan dalam isu tersebut terakhir ini berlangsung sejak tahun 2020, tetapi berhenti pada Mei 2021 karena perbedaan pendapat antara Lebanon dan Israel yang cukup tajam saat itu.
Perundingan tidak langsung Israel-Lebanon pada tahun 2020 membicarakan batas wilayah seluas 860 kilometer persegi di perbatasan kedua negara. Perbatasan itu dikenal dengan nama garis 23 sesuai dengan peta yang diajukan Lebanon kepada PBB tahun 2011.
Namun, Lebanon kemudian mengoreksi peta yang diajukan ke PBB tahun 2011 tersebut dengan mengubah bahwa area yang harus dirundingkan itu seluas 1.430 kilometer persegi dengan garis perbatasan yang dikenal dengan nama garis 29. Dalam peta area baru seluas 1.430 kilometer persegi itu, termasuk di dalam area tersebut adalah sebagian ladang gas Karish. Ladang gas ini diklaim oleh Israel.
Peta area baru seluas 1.430 kilometer persegi yang dituntut Lebanon menjadi titik area yang harus dirundingkan dengan Israel dan memunculkan perbedaan cukup tajam antara Lebanon dan Israel. Namun, terakhir ini tiba-tiba Lebanon meminta digelar lagi perundingan perbatasan laut dengan Israel. Beirut mengajukan peta baru yang di dalamnya tidak termasuk ladang gas Karish, tetapi terdapat ladang gas Qana.
Dengan peta baru yang diajukan Lebanon itu, perundingan bisa digelar lagi karena lebih rasional dan bisa diterima Israel.
Kompromi yang dicapai Lebanon-Israel dengan mediasi diplomat senior AS, Amos Hochstein, adalah ladang gas Karish milik Israel dengan imbalan ladang gas Qana milik Lebanon, tetapi pendapatan dari pengelolaan ladang gas Qana dibagi antara Lebanon dan Israel. Artinya, hak eksploitasi ladang gas Qana berada di tangan Lebanon, tetapi Israel mendapat kompensasi dari pendapatan ladang gas Qana melalui perusahaan raksasa Perancis, Total, yang akan mengelola ladang gas Qana.
Hal itu untuk pertama kalinya terjadi antara Israel dan Lebanon—dua negara yang secara resmi berseteru—bermitra dalam pembagian pendapatan dari ladang gas Qana. Seperti diketahui, Laut Tengah bagian timur dikenal sangat kaya gas. Diperkirakan perairan itu menyimpan 120 triliun meter kubik gas. Negara-negara yang bertepi ke Laut Tengah bagian timur saling sikut untuk berebut menguasai dan mengelola ladang-ladang gas di area tersebut.
Meskipun isu kesepakatan perbatasan maritim antara Israel dan Lebanon lebih terkait isu ekonomi dan bukan isu politik, kesepakatan tersebut untuk pertama kalinya bisa mendorong ke arah kemitraan Lebanon-Israel secara ekonomi, persisnya melalui pembagian pendapatan dari ladang gas Qana.
Jika tidak ada aral melintang pada saat-saat terakhir, kesepakatan Lebanon-Israel itu patut disebut sebagai kesepakatan historis. Hal ini mengingat dua negara itu secara resmi sebenarnya masih dalam keadaan perang.
Jika benar-benar terjadi, kesepakatan itu bisa disebut mirip dengan kesepakatan damai Lebanon-Israel pada 17 Mei 1983. Belakangan, kesepakatan damai tersebut ambruk pada 6 Februari 1984. Jika tercapai secara resmi, kesepakatan perbatasan laut Israel-Lebanon itu merupakan pertama kali kedua negara menjalin kesepakatan setelah kesepakatan damai tahun 1983.
Mengapa kesepakatan maritim Lebanon-Israel bisa terjadi saat ini? Padahal, perlu dicatat bahwa perundingan Lebanon-Israel tersebut sudah dimulai sejak satu dekade lalu dan selalu gagal mencapai kesepakatan. Perkembangan positif terkait perundingan batas maritim Israel-Lebanon ini tidak terlepas dari situasi geopolitik regional dan internasional, khususnya posisi AS, Iran, dan Suriah.
Seorang analis Lebanon, Ridwan Sayyed, dalam artikelnya di harian Asharq Al Awsat edisi hari Jumat (7/10/2022), menulis, kesepakatan maritim Lebanon-Israel adalah bagian dari transaksi AS-Iran. Menurut dia, perundingan tidak langsung Lebanon-Israel soal perbatasan laut selama ini selalu gagal mencapai kesepakatan karena selalu ditolak Hezbollah yang loyalis Iran.
Namun, lanjut Sayyed, Hezbollah kali ini ikut mendukung tercapainya kesepakatan perbatasan laut Israel-Lebanon. Sikap lunak Hezbollah kali ini, tulis Sayyed, tidak terlepas dari sikap Iran. Dengan kata lain, Teheran memegang peran penting di balik sikap lunak Hezbollah.
Sayyed menyebut pula, sikap lunak Iran atas perundingan perbatasan laut Israel-Lebanon karena banyak faktor. Pertama, Iran kini dalam tekanan berat di dalam negeri. Sejak pertengahan September lalu, negara itu dilanda demonstrasi akibat tewasnya perempuan aktivis Mahsa Amini di tahanan polisi moral Iran pada 16 September 2022.
Iran sering menuduh AS dan Israel berada di balik berkobarnya demonstrasi di Iran yang terus berlanjut sampai saat ini. Iran berharap andilnya dalam tercapainya kesepakatan perbatasan laut antara Lebanon-Israel itu mendapat imbalan AS dan Israel dengan menghentikan dukungan terhadap aksi demonstrasi di Iran.
Kedua, Iran menginginkan perundingan nuklir Iran segera dimulai lagi sebagai imbalan atas peran Iran mendukung tercapainya kesepakatan perbatasan laut Lebanon-Israel. Ketiga, Iran menghendaki tercapai kesepahaman dengan AS tentang presiden Lebanon mendatang yang sesuai dengan keinginan Teheran. Presiden Lebanon sekarang, Michel Aoun, akan segera berakhir masa jabatannya dan diganti dengan presiden baru.
Michel Aoun terpilih sebagai presiden pada tahun 2016 atas dukungan Iran. Teheran ingin mengulang kembali peristiwa terpilihnya Michel Aoun sebagai presiden yang dicapai melalui kesepahaman AS-Iran.
Keempat, Iran baru saja membebaskan warga berkebangsaan AS asal Iran, Siamak Namazi, pada 1 Oktober lalu setelah ditahan selama sekitar tujuh tahun dengan tuduhan sebagai mata-mata. Teheran berharap pembebasan Namazi dan andil Iran dalam tercapainya kesepakatan perbatasan laut Israel-Lebanon mendapat imbalan AS untuk membantu meredam demonstrasi di Iran saat ini dan segera dimulai lagi perundingan nuklir Iran.
Kelima, Suriah yang memimpin gerakan penggagalan kesepakatan Lebanon-Israel tahun 1983 kini dalam posisi sangat lemah. Negara itu dilanda perang saudara sejak tahun 2011. Maka, Suriah tidak mungkin lagi menggagalkan kesepakatan perbatasan laut Lebanon-Israel, seperti yang dilakukan pada tahun 1983.
Pertanyaan besar selanjutnya adalah apakah kesepakatan perbatasan laut Lebanon-Israel ini bakal menjadi pendahuluan atas langkah-langah menuju kemitraan ekonomi kedua negara? Waktu akan menjawabnya.