Ferdinand Marcos: Demokrasi Basa-basi dan Korupsi
Era kepresidenan Ferdinand Marcos disebut sebagai era keemasan Filipina. Padahal, umum diketahui, di era Marcos, rakyat Filipina hidup di bawah bayang-bayang pembunuhaan politik, penindasan, dan maraknya korupsi.
Sebuah tulisan di laman berita Rappler.com bertajuk ”Marcos Golden Age” menyebutkan, Marcos adalah kepala negara terkorup kedua dalam sejarah. Kantor berita ABS-CBN dalam program A Fact Check Life Under Marcos tayangan 21 September 2014 mengungkapkan serangkaian kebohongan dan pemutarbalikan fakta yang dijadikan bahan menipu masyarakat Filipina, terutama generasi muda pemilih pemula yang tidak mengalami rangkaian pembunuhan dan penculikan tahun 1970-1980.
Produk domestik bruto (PDB) Filipina tahun 1965 ketika Marcos pertama kali menjabat adalah 257 dollar AS. Namun, memasuki periode kedua kepresidenannya, tahun 1970, PDB Filipina turun menjadi 244 dollar AS dan lantas ambles menjadi 214 dollar AS pada kurun 1972-1981. Sebuah tragedi, mengingat saat Marcos pertama kali berkuasa di tahun 1965, ekonomi Filipina terbesar kedua di Asia sesudah Jepang.
Baca juga: Setelah 36 Tahun, Dinasti Marcos Kembali Kuasai Filipina
Tak heran apabila klaim ”masa keemasan kemakmuran Filipina” pun dinilai sebagai kebohongan belaka.
Awal kemerosotan Filipina terasa kuat sejak 21 September 1972 saat Presiden Marcos menerapkan Protokol 1801 Martial Law. Status keadaan darurat diterapkan dengan dalih pemberontakan komunis yang dimotori New People’s Army (NPA) dan pemberontakan Moro (gerilyawan Muslim di Mindanao).
Seiring itu, kondisi keuangan Filipina sejatinya ada dalam keadaan kritis pascapelaksanaan pemilu tahun 1969 yang penuh kecurangan dan kekerasan. Sebelum pengumuman keadaan darurat, Marcos terlebih dahulu menangkap tokoh oposisi, aktivis, dan pekerja media.
Pemilu korup
Situasi buruk itu dimulai oleh praktik korupsi dalam pemilu tahun 1969. Koran The New York Times tanggal 21 September 1969 menulis, Marcos menguasai pemilu dengan janji-janji dan uang. Ada istilah guns, goons, and gold atau pistol, preman, dan emas untuk menggambarkan pemilu Filipina pada 1969 yang berada di bawah kekerasan senjata, tekanan premanisme, dan politik uang. Majalah Time dan Newsweek tahun 1969 menyebut pemilu Filipina waktu itu sebagai paling korup, paling kotor, diwarnai maraknya politik uang dan penuh kekerasan.
Baca juga: Presiden Marcos Jr Mulai Lawatan ke Bogor
Manolo A Villareal dalam kolom opini harian Inquirier, Maret 2022, mencatat, dirinya menyaksikan orangtuanya, pegawai negeri di Cebu, menerima sekantong uang dari kubu Ferdinand Marcos untuk dibagikan kepada pemilih. Kalau Marcos kalah, ayahnya akan dicopot dari jabatan. Ayah dan ibunya juga menerima uang masing-masing 2 peso di surat suara mereka.
Di Cebu, untuk mengalahkan rivalnya, yaitu Sergio Osmena Junior, kubu Marcos ”menyiram” wilayah itu dengan dana hingga 24 juta dollar AS. Saat itu nilai 1 dollar AS setara dengan 3,79 peso. Tak hanya itu, tiba-tiba muncul proyek infrastruktur dadakan senilai 50 juta dollar AS untuk merebut simpati warga. Magno R Alexander dalam buku Democracy At The Crossroads terbitan tahun 1998 menulis, militer dan birokrasi Filipina juga dikerahkan Marcos untuk kemenangan pemilu tahun 1969.
Dampaknya, terjadi defisit keuangan dan ketidakpuasan rakyat dijawab dengan tangan besi. Marcos pun mulai memainkan isu komunis dan agama. Beragam kasus kriminal, termasuk sejumlah ledakan bom, ditudingkan kepada NPA dan kelompok Muslim Moro.
Tak hanya itu, demi memuluskan ambisinya, Marcos juga mengubah konstitusi yang memungkinkannya menjabat lebih lama. ”Keleluasaan” yang dimilikinya itu membuat Marcos semena-mena menculik, memenjarakan, menyiksa, dan membunuh oposisi, jurnalis, dan pegiat hak sipil. Marcos menjadikan militer sebagai kaki tangan kekuasaannya.
Berdasar data Amnesti Internasional dan lembaga-lembaga pegiat HAM, selama rezim Marcos diduga terjadi kurang lebih 3.275 pembunuhan di luar jalur hukum. Banyak korban penculikan disiksa, kemudian tubuhnya dimutilasi lalu dibuang di pinggir jalan. Tujuannya agar dilihat masyarakat dan menjadi peringatan bagi kubu oposisi.
Baca juga: Belajar dari Filipina
Pada 1975, salah satu kaki tangan Marcos, Primitivo Mijares, mengungkapkan adanya rangkaian praktik pembunuhan tersebut. Amnesti Internasional pada Desember 1975 mengeluarkan laporan pertama tentang adanya penyiksaan yang kejam dan sistematis terhadap para korban. Semua anggota militer yang terlibat melapor kepada Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile. Enrile adalah sanak keluarga Presiden Marcos dan saat ini menjadi penasihat Presiden Marcos Junior alias Bong-bong.
Meskipun status keadaan darurat diakhiri pada 1981, Marcos tetap memerintah dengan keras. Berdasar riset media ABS-CBN A Fact Check Life Under Marcos, jumlah korban pelanggaran HAM dalam kurun 1981-1985 mencapai ribuan orang.
”Era keemasan”
Namun, Marcos Junior dalam kampanye pemilihan Presiden Filipina tahun 2021 berulang kali mengatakan, zaman Ferdinand Marcos adalah zaman keemasan Filipina dan rakyat hidup berkelimpahan. Kubu Bong Bong menggunakan media sosial untuk memengaruhi generasi muda yang tidak mengalami ”era gelap” Presiden Ferdinand Marcos. Hasilnya, Marcos Junior menang besar dalam pemilu dengan meraih 59 persen suara pemilih.
Dalam laporan situs berita Rappler.com tentang ”Marcos Economy Golden Age” disebutkan, ketika Marcos berkuasa, angka kemiskinan di Filipina sebesar 41 persen. Menjelang dan saat Marcos jatuh, kemiskinan Filipina ada di angka 59 persen.
Sejak tahun 1979, Filipina sebenarnya mendapat kucuran bantuan dan dukungan militer sebesar 37 juta dollar AS per tahun dari Washington. Selain itu, ada pula bantuan ekonomi sebesar 100 juta dollar AS dalam bentuk bantuan pangan.
Baca juga: Kelompok Pembela HAM Tolak Kepres Filipina Soal Ultah Marcos
Akan tetapi, banyak dana bantuan—tidak hanya dari AS—lari ke kantong Marcos dan kroninya. The New York Times tanggal 12 Desember 1985 menulis laporan tentang Komite House Foreign Affairs Sub Committee on Asian and Pacific. Lembaga itu mengadakan dengar pendapat tentang dugaan korupsi Marcos. Sorotan utama adalah korupsi terhadap bantuan Amerika Serikat. Namun, mereka gagal mendapat keterangan yang dibutuhkan. Pihak pengacara Marcos berdalih ada client-lawyer privileges.
Selanjutnya The New York Times tanggal 19 Maret 1989 melaporkan dakwaan Pengadilan Negara Bagian New York terhadap pasangan Ferdinand dan Imelda Marcos atas dugaan kejahatan keuangan dalam pembelian gedung di Manhattan senilai lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, mereka berdua tidak ditahan.
Era Ferdinand Marcos oleh sejumlah pihak dinilai menjadi masa puncak korupsi elite penguasa di Filipina. Selama berkuasa tahun 1965-1986, Marcos melambungkan utang Filipina hingga mencapai 20 miliar dollar AS. Diperkirakan, sepertiganya atau 8 miliar dollar AS, sekitar Rp 120 triliun, masuk kantong keluarga Marcos dan para kroni. Sementara majalah Forbes memperkirakan korupsi Marcos dan keluarga mencapai 10 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 150 triliun.
Baca juga: Ada Picasso di Rumah Dinasti Marcos
Untuk mempertahankan dukungan, Marcos biasa memberi konsesi kepada kroni-kroninya, di antaranya memberikan konsesi kepada Antonio Floirendo untuk menguasai bisnis pisang. Adapun industri kelapa dikuasai Eduardo Cojuangco, sepupu Presiden Corazon ”Corry” Aquino.
Kroni lainnya adalah Hermino Disnis yang memegang monopoli impor rokok dan makelar proyek Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Bataan. Disnis diduga menerima komisi 50 juta dollar AS dan Marcos diduga menerima 30 juta dollar AS dari proyek yang kemudian mangkrak itu. Lokasi PLTN Bataan berada di daerah jalur berbahaya gunung berapi Pinatubo.
Rappler.com yang mengangkat tema coco levy scam dan coco levy Marcos-Noynoy Aquino juga mengungkap skandal iuran petani kelapa (Coco Levy) yang dipungut Marcos untuk investasi (Coconut Investmen Fund) sejak tahun 1971. Mula-mula, petani dipungut sebesar 55 sen per 100 kilogram hasil penjualan kopra dan produk turunan. Marcos berjanji uang akan dikembalikan ke petani kelapa dalam bentuk program kesejahteraan dan kemakmuran petani. Pajak tersebut terus naik besarannya hingga 100 peso per 100 kilogram kelapa. Namun, janji tidak pernah dipenuhi. Dana itu diduga dipakai Marcos dan kroninya.
Hingga tahun 1983, total Coco Levy yang terkumpul mencapai 93 miliar peso, sekitar Rp 24 triliun. Dari dana itu, Marcos membangun sejumlah proyek mercusuar yang lantas mangkrak, salah satunya adalah Istana Kelapa. Proyek itu menyerap dana dari Coco Levy hingga sebanyak 37 juta dollar AS. Paus Yohanes Paulus II menolak untuk tinggal di gedung tersebut saat kunjungan tahun 1981 ke Filipina karena prihatin dengan kondisi kehidupan rakyat Filipina.
Baca juga: Jangan Lagi Ada Intimidasi bagi Pers
Hingga kini, isu pengembalian Coco Levy hanya jadi bahan tarik ulur politik di Filipina. Walau pengadilan memutuskan dana tersebut milik masyarakat dan harus dikembalikan, kekuatan jaringan bisnis-politik Cojuangco Junior, salah satu kroni Marcos yang diduga turut menikmati dana itu, membuat upaya mengembalikan dana Coco Levy sulit dilakukan Pemerintah Filipina.
Selain beberapa kasus di atas, ada banyak lagi ”noda hitam” yang ditinggalkan Marcos, termasuk kebangkrutan Bank Sentral Filipina. Pemerintah Filipina memang berupaya memburu uang haram hasil korupsi rezim Marcos. Manila membentuk Presidential Commission on Good Government (PCGG), komisi negara yang bertugas memburu harta jarahan Marcos dan kroninya.
Sejumlah upaya menghasilkan buah. PCGG menemukan, Marcos dan istrinya, Imelda, memalsukan identitas saat menyetor uang ke perbankan Swiss. Mereka menggunakan nama alias Jane Ryan. Ketika itu, gaji Marcos hanya 5.000 dollar AS, tetapi tabungan di Swiss sudah berjumlah 950.000 dollar AS.
Dari pelacakan di Swiss didapati dana kedua akun milik pasangan Marcos ditransfer ke beberapa yayasan di luar negeri dan perusahaan cangkang yang mereka miliki. Pada Desember 1990, Pengadilan Swiss memerintahkan bank di Swiss menyerahkan dana 365 juga dollar AS ke pengawasan Bank Sentral Swiss. Otoritas Swiss menemukan sumber dana tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, upaya itu tidak cukup. Laporan CNN Filipina tanggal 24 Maret 2022 menyebutkan ada 6 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 90 triliun harta korupsi Marcos yang belum berhasil disita negara. Di sisi lain, kerusakan yang diakibatkan oleh ketamakan Marcos sudah parah.
Pola penguasa lokal di dunia politik Filipina Utara-Tengah-Selatan membuat negeri itu terbelah dan muncul oligarki-oligarki daerah dan pusat. Upaya memburu harta jarahan pun terkendala kroni-kroni Marcos yang hingga kini masih menguasai peta politik Filipina.