Ressa dibebaskan setelah ada tekanan dari solidaritas wartawan di seluruh dunia. Ia mendapatkan anugerah Person of the Year dari majalah ”Time” sebab melawan pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Filipina menjadi salah satu negara paling mematikan di dunia bagi wartawan. Tahun 2009, sebanyak 32 wartawan terbunuh di Provinsi Maguindanao, Mindanao.
Peristiwa pembunuhan terhadap 32 wartawan, bersama 25 warga lainnya, itu menjadi catatan Reporters Sans Frontieres (RSF) dalam paparan indeks kemerdekaan pers tahun 2022 di Filipina. Indeks kemerdekaan pers yang dipublikasikan awal Mei lalu itu menempatkan Filipina pada peringkat ke-147 dari 180 negara yang disurvei, dengan skor 41,84, menurun dibandingkan tahun 2021 di posisi ke-138 dengan nilai 54,36.
Kekerasan terhadap jurnalis berulang kali terjadi di negara bekas jajahan Spanyol itu. Tahun 2016, untuk menekan kekerasan terhadap wartawan, Pemerintah Filipina membentuk Satuan Tugas Presiden untuk Keamanan Media. Namun, satuan tugas itu tidak memberikan hasil berarti dan kekerasan terhadap wartawan masih terjadi, baik secara fisik maupun di dunia maya.
Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika otoritas Filipina tak sepenuhnya memberikan keleluasaan pada kemerdekaan pers. Komite Sekuritas dan Bursa Filipina (SEC), Selasa (28/6/2022), menegaskan pencabutan lisensi Rappler, portal berita yang dipimpin wartawan senior Maria Ressa, sebab dinilai melanggar larangan kepemilikan asing (Kompas, 30/6/2022).
Ressa pada 2019 ditangkap aparat Filipina di kantornya atas tuduhan pencemaran nama baik di dunia maya, berdasarkan laporan tahun 2012 dari seorang pengusaha. Ia juga dituduh melanggar pajak. Ressa akhirnya dibebaskan setelah ada tekanan dari solidaritas wartawan di seluruh dunia. Ia mendapatkan anugerah Person of the Year dari majalah Time sebab melawan pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, yang dinilai mengembangkan disinformasi publik dan memakai kekerasan untuk menekan pelaku peredaran narkoba. Ressa tahun lalu juga memenangi Hadiah Nobel Perdamaian.
Pemerintah Filipina berulang kali menegaskan, kebebasan berekspresi, termasuk mengkritik pemerintah, adalah tindakan yang sah. Kemerdekaan pers diakui pula dalam konstitusi. Namun, tak hanya RSF yang menurunkan nilai kebebasan di Filipina, tetapi juga Freedom House. Tahun ini, organisasi yang rutin mengumumkan peringkat kebebasan di beberapa negara itu menempatkan Filipina sebagai negara yang belum sepenuhnya bebas (partly free) dengan nilai 55/100. Tahun 2021, nilai Filipina 56/100.
Pemerintah Filipina berulang kali menegaskan, kebebasan berekspresi, termasuk mengkritik pemerintah, adalah tindakan yang sah.
Manajemen Rappler dan Ressa menolak keputusan SEC dan menilai hal itu merupakan intimidasi bagi kebebasan pers. ”Ini taktik politik. Kami menolak untuk menyerah,” kata Ressa.
Presiden Duterte, yang pada Kamis (30/6/2022) lalu menyerahkan kekuasaannya kepada Ferdinand ”Bongbong” Romualdez Marcos Jr, putra mantan Presiden Ferdinand Marcos, menolak keputusan SEC adalah bagian dari upaya pembungkaman terhadap media dan kebebasan pers. Putusan itu adalah prosedur peradilan normal.
Kemerdekaan pers sesungguhnya bukanlah pengakuan pejabat. Namun, terasa saat setidak-tidaknya tiada intimidasi bagi wartawan saat menjalankan fungsinya bagi masyarakat.