Xi Jinping kembali terpilih sebagai sekretaris jenderal Partai Komunis China untuk periode ketiga. Xi juga memilih enam anggota Komite Tetap Politbiro yang semuanya dekat dan setia padanya.
Oleh
LUKI AULIA dari BEIJING, CHINA
·6 menit baca
BEIJING, KOMPAS – Presiden China, Xi Jinping, kembali terpilih sebagai sekretaris jenderal Partai Komunis China untuk periode ketiga. Dua pemimpin negara sahabat China, Korea Utara dan Rusia, memberikan ucapan selamat secara tertulis kepada Xi. Kedua negara berharap akan bisa lebih memperdalam hubungan dengan China selama lima tahun ke depan. Bagi Korea Utara, kongres Partai Komunis China ke-20 menawarkan tonggak penting bagi partai dan rakyat China dalam mendorong kemakmuran bangsa China di bawah panji gagasan sosialis dengan karakteristik China di era baru.
"Saya, bersama-sama dengan Anda, akan membentuk masa depan yang indah dari hubungan Korea Utara-China sesuai tuntutan zaman dan mendorong tujuan sosialis kedua negara," sebut kantor berita Korea Utara, KCNA, mengutip surat Kim untuk Xi, Minggu (23/10/2022).
Presiden Rusia, Vladimir Putin, juga mengirimkan "ucapan selamat yang terhangat" secara tertulis kepada Xi. Putin mengatakan dia akan "dengan senang hati melanjutkan dialog konstruktif dan kerja sama erat yang bertujuan untuk memperkuat kerjasama strategis antara kedua negara".
Xi berhasil mengamankan kendali sepenuhnya atas Partai Komunis China (PKC) setelah kembali terpilih. Enam anggota Komite Tetap Politbiro, badan partai paling elit, yang dipilih pun termasuk orang-orang terdekat dan kepercayaan Xi. Xi juga berhasil menggolkan resolusi untuk mengamendemen konstitusi. Pengangkatan Xi kembali sebagai pemimpin partai merupakan momen penting dalam sejarah modern China karena kembali ke pemerintahan satu orang setelah selama beberapa dekade berbagi kekuasaan diantara para elit.
Hanya dalam 10 tahun, Xi sudah lebih berkuasa ketimbang para pemimpin China sejak Mao Zedong. Ini yang dikhawatirkan banyak pihak. Jika kekuatan Xi semakin besar maka akan bisa memicu krisis suksesi ketika pemerintahannya berakhir nanti. Para ahli juga memperkirakan Xi akan fokus pada pemulihan ekonomi. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, Xi menekankan pengembangan ekonomi yang lebih didorong oleh konsumsi. Kebijakan ini dikenal sebagai "sirkulasi ganda". Ia berusaha mengatasi kesenjangan kekayaan China yang lebar di bawah panji "kemakmuran bersama".
Namun, kebijakan "nol-Covid dinamis" yang bentuk praktiknya berupa lockdown, tes usap dan PCR massal, dan pembatasan mobilitas warga justru menghambat laju perekonomian. "Konsumsi tidak mungkin bisa pulih kembali ke kondisi sebelum ada Covid-19 jika kebijakan seperti ini masih diberlakukan," kata Kepala Ekonom di Hang Seng Bank China, Dan Wang.
Kebijakan itu memperburuk persoalan di sektor properti dimana krisis utang telah memicu default pengembang dan menebar kekhawatiran krisis keuangan yang membayangi pemerintah daerah. "Pemerintah harus memilih model baru untuk mengembangkan sektor perumahan," kata Wang.
China pada minggu ini juga menunda rilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal ketiganya di tengah ekspektasi China sedang berada di kondisi terlemah sejak awal pandemi pada 2020. China hanya mengalami pertumbuhan 0,4 persen pada kuartal kedua. Para analis memperkirakan China akan kehilangan target pertumbuhan tahunan sebesar 5,5 persen dengan selisih yang lebar.
Hubungan China dengan Barat pun perlu perhatian karena memburuk ketika China memadamkan protes besar-besaran pro-demokrasi di Hong Kong dan memilih sikap agresif terhadap Taiwan. Xi sendiri dalam pidato pembukaan Kongres Nasional Partai Komunis China ke-20, Minggu lalu, berulangkali mengatakan geopolitik global "mengalami perubahan yang belum pernah terjadi dalam satu abad" sehingga Xi merasa perlu menekankan faktor keamanan dan pertahanan.
Pada pidatonya saat perkenalan Komite Tetap Politbiro, Xi menegaskan China tidak dapat berkembang tanpa dunia dan dunia juga membutuhkan China. "Setelah lebih dari 40 tahun upaya tanpa henti menuju reformasi dan keterbukaan, kami telah menciptakan dua keajaiban, pembangunan ekonomi yang cepat dan stabilitas sosial jangka panjang," kata Xi.
Namun, di sisi lain, Xi juga menegaskan kembali China tidak akan pernah meninggalkan opsi untuk menggunakan kekuatan untuk mempertahankan Taiwan. Sikap China ini bahkan diperkuat di dalam konstitusi yang diamendemen di kongres ke-20, Sabtu lalu. China kemungkinan akan mendorong rencana reunifikasi dengan Taiwan jika pertumbuhan ekonominya lebih lambat. Pakar sejarah China modern di University of California, Jeffrey Wasserstrom, mengatakan posisi Xi yang tidak tergoyahkan di puncak partai justru menimbulkan kekhawatiran tidak akan ada orang yang berani berbicara hal-hal yang menyimpang dari pendapat atau keputusan Xi.
Pakar politik China si Hong Kong Baptist University, Jean-Pierre Cabestan, menilai China sekarang kembali ke tipe perekonomian yang lebih dikendalikan negara. Ini berarti bisnis swasta akan sulit bergerak karena partai akan berpengaruh dimana-mana. Di bawah slogan propaganda tahun 1950-an yang dihidupkan kembali, yakni "kemakmuran bersama,” Xi mendesak para pengusaha membantu mempersempit kesenjangan kekayaan China dengan menaikkan upah dan membayar penciptaan lapangan kerja pedesaan dan inisiatif-inisiatif lain.
Xi dalam laporannya kepada kongres menyerukan agar ada pengaturan
mekanisme akumulasi kekayaan dan mengingatkan pengusaha kemungkinan adanya lebih banyak tekanan politik. Dalam laporannya, Xi juga menekankan pentingnya keamanan nasional dan kontrol atas pasokan makanan, energi, dan barang industri China. PKC juga berusaha mendorong energi terbarukan, kendaraan listrik, cip komputer, kedirgantaraan, dan teknologi lainnya di China. "Tetapi untuk urusan luar negeri, sikap China yang keras, seperti isu Taiwan, memicu banyak ketegangan dan kesulitan. Dan ini kemungkinan tidak akan berubah selama Xi berkuasa. Tidak akan ada yang berani menasehati Xi," kata Direktur Institut China, Universitas London, Steve Tsang.
Dari sisi hubungan bilateral Indonesia dan China, Duta Besar RI untuk China dan Mongolia, Djauhari Oratmangun, berharap pada periode ketiga Xi ini, hubungan kedua negara akan semakin kuat dan memberikan manfaat bagi rakyat kedua bangsa. Djauhari juga berharap hubungan kedua negara akan berkontribusi dalam menciptakan kedamaian dan stabilitas di kawasan dan juga pada tataran global.
China mencanangkan kebijakan sirkulasi ganda sejak 2020 yang tujuannya mengurangi ketergantungan impor, menarik investasi asing dan domestik (antar provinsi) untuk memperkuat pasar domestik dan memperkuat kualitas produk ekspornya. Kebijakan ini, kata Djauhari, serupa dengan upaya Pemerintah RI yang menarik investasi asing untuk mengolah bahan mentah guna menciptakan komoditas ekspor yang bernilai tambah. "Baik Indonesia maupun China akan memperkuat kolaborasi globalnya untuk memperkuat pasar domestik dan kualitas produk ekspor masing-masing," ujarnya.
Dalam konteks hubungan bilateral, tren saat ini menunjukkan adanya kenaikan dalam hubungan ekonomi Indonesia-China. Dalam bidang investasi, realisasi investasi China di Indonesia pada semester pertama tahun 2022 naik 111,8 persen tahun per tahun atau sebesar 3,6 miliar dollar AS. Jumlah capaian semester pertama tahun ini bahkan lebih tinggi dari pada capaian selama satu tahun di tahun 2021 yang hanya mencapai 3,2 miliar dollar AS. Sementara nilai perdagangan kedua negara periode Januari-Agustus 2022 sudah mendekati 95 miliar dollar AS.
"Presiden Jokowi dan Xi ketika bertemu akhir Juli lalu sepakat memperkuat implementasi lebih lanjut sinergi Poros Maritim Global dan Inisiatif Sabuk dan Jalan yang dicanangkan pada 2018. Ini memperkuat interaksi ekonomi antara kedua pihak di masa mendatang," kata Djauhari. (REUTERS/AFP/AP)