Mengaku gagal mengemban amanat Partai Konservatif Inggris untuk membenahi ekonomi, PM Liz Truss mundur. Diharapkan dalam waktu seminggu, Partai Konservatif telah memilih pemimpin baru.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
LONDON, KAMIS – Perdana Menteri Inggris, Liz Truss pada Kamis (20/10/2022) mengundurkan diri dari kursi sebagai pemimpin Partai Konservatif. Dengan pengunduran itu, artinya, ia pun mundur dari posisinya sebagai Perdana Menteri Inggris, posisi yang baru didudukinya kurang dari dua bulan. “Kegagalan” mengemban mandat partai untuk membenahi kinerja ekonomi menjadi alasan pengunduran diri itu.
"Saya dipilih oleh Partai Konservatif dengan mandat untuk mengubahnya. Kami memenuhi tagihan energi dan memangkas asuransi nasional. Dan kami menetapkan visi untuk pajak rendah, target ekonomi pertumbuhan tinggi yang akan memanfaatkan Brexit. Namun saya mengakui, mengingat situasinya, saya tidak dapat memenuhi mandat tersebut. Oleh karena itu, saya telah berbicara dengan Raja dan menyampaikan kepada Beliau bahwa saya mengundurkan diri dari posisi pemimpin Partai Konservatif,” kata Truss di depan kantornya di Downing Street, London.
Dalam pidatonya itu, Truss menyebutkan bahwa ia memulai tugasnya di tengah situasi ekonomi yang tidak mudah. "Saya menjabat pada saat kondisi ekonomi dan internasional tengah didera ketidakstabilan. Kondisi kehidupan rumah-rumah tangga dan bisnis dibayangi kekhawatiran pada besarnya biaya yang harus mereka tanggung, serangan Rusia atas Ukraina mengancam benua kita, dan Inggris telah begitu lama terhambat oleh pertumbuhan ekonomi yang rendah,” kata Truss.
Langkah Truss dinilai sangat mengejutkan karena sehari sebelumnya ia menegaskan tidak akan menyerah. Ia bahkan menegaskan hal itu dengan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pejuang, seseorang yang tidak mudah menyerah.
Namun, tekanan pada Truss memang tidak ringan. Selain isu ekonomi, menurut catatan Kantor Berita Associated Press, ia pun dihadapkan pada ‘buruknya’ situasi internal Partai Konservatif.
Truss mengatakan, Partai Konservatif akan segera menggelar pemilihan pemimpin baru yang diharapkan tuntas dalam waktu satu minggu. Sebelum memutuskan mengundurkan diri, Truss telah kehilangan Suella Braverman, Menteri Dalam Negeri Inggris. Sebelum pengunduran diri Braverman, Truss memecat Menteri Keuangan Inggris, Kwasi Kwarteng.
Seorang anggota parlemen dari Partai Konservatif, Simor Hoare mengatakan, kondisi pemerintahan sedang kacau. “Tidak ada yang memiliki rencana, peta jalan yang memadai. Setiap hari, semua ini seperti pertarungan dengan tangan kosong,” katanya kepada BBC.
Banyak anggota parlemen lantas meminta Truss mundur, terutama setelah berminggu-minggu kondisi domestik tidak kunjung membaik. Rencana-rencana ekonomi yang dibangunnya justru memicu gejolak keuangan dan krisis politik.
"Sudah waktunya bagi perdana menteri untuk mundur," kata Miriam Cates, seorang anggota Parlemen Inggris. Anggota parlemen lainnya, Steve Double mengatakan, Truss tidak cocok dengan tugas itu. Salah satu yang memicu kemarahan anggota parlemen adalah sikap Truss yang tetap ingin mempertahankan upaya memperoleh gas serpih melalui metode fracking, teknologi hidrolika patahan. Metode itu, banyak ditentang oleh kalangan Konservatif. Perdebatan keras mengenai hal itu memicu ‘kekacauan’ di Parlemen Inggris.
Kondisi ekonomi Inggris memang tidak mudah. Bulan lalu, inflasi mencapai 10,1 persen, harga pangan melonjak hingga mencapai titik tertinggi dalam 42 tahun terakhir. Bank Sentral Inggris, dikenal sebagai Bank of England terpaksa melakukan intervensi untuk mencegah krisis menyebar lebih luas, termasuk untuk menyelamatkan dana pensiun.
Stabilitas
Di sela-sela waktu jelang Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa di Brussels, Belgia Perdana Menteri Irlandia Michael Martin mengharapkan, Inggris segera memiliki perdana menteri baru menggantikan Truss. Langkah itu menurutnya penting untuk memastikan stabilitas baik politik maupun keuangan. “Stabilitas sangat penting mengingat masalah geopolitik yang cukup signifikan yang tengah dihadapi Eropa, tidak terkecuali perang di Ukraina dan krisis energi," kata Martin.
Hal senada juga diungkapkan oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron. Menegaskan bahwa Perancis tidak mau mencampuri urusan domestik Inggris, Paris menginginkan, Inggris segera stabil kembali. (AP/AFP/Reuters)