Bom Meledak di Depan Penjara Tahanan Politik Myanmar
Ledakan bom terjadi di depan penjara tempat para tahanan politik Myanmar dikurung. Sebanyak delapan orang tewas akibat kejadian itu.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
YANGON, RABU – Dua ledakan bom terjadi di depan gerbang Penjara Insein, Yangon, Myanmar. Sebanyak delapan orang tewas, termasuk seorang anak perempuan berumur 10 tahun. Belum ada pihak yang mengklaim sebagai pelaku perbuatan yang oleh junta militer dikatakan sebagai aksi terorisme itu.
Berdasarkan laporan News of Myanmar, media yang merupakan perpanjangan tangan junta, ledakan terjadi pada Selasa (19/10/2022) di pukul 09.30 dan 09.40. Ketika itu, di depan gerbang Penjara Insein banyak orang mengantre untuk membesuk kerabat mereka yang ditahan.
Penjara ini memiliki banyak narapidana yang merupakan tahanan politik, baik warga negara Myanmar maupun warga negara asing yang menentang junta. Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi, Duta Besar Inggris untuk Myanmar 2002-2006 Vicky Bowman, dan wartawan Jepang Toru Kubota termasuk orang-orang yang ditahan di Insein.
Ledakan berasal dari paket yang diletakkan di posko penerimaan barang. Para tahanan di Insein biasa menerima kiriman pakaian, makanan, dan obat-obatan dari keluarga mereka. Seorang saksi mata mengatakan, tiba-tiba posko itu meledak.
“Saya hanya melihat asap dan pecahan kaca berserakan. Samar-samar ada orang terbaring di jalanan. Tahu-tahu, beberapa menit kemudian ada ledakan lagi,” kata warga yang menolak disebut namanya. Sebanyak delapan orang tewas dan 18 orang terluka. Korban tewas adalah lima warga sipil, termasuk seorang anak perempuan berumur 10 tahun dan tiga petugas penjara.
Junta mengatakan bahwa pengeboman itu perbuatan teroris. Kelompok-kelompok antijunta, antara lain, Kelompok Revolusi Yangon, Gerilya Urban Yangon, dan Komite Serangan Umum mengutarakan kecaman terhadap kejadian yang merenggut nyawa warga sipil itu.
Mereka menuliskannya di laman Facebook masing-masing. Akan tetapi, tidak ada individu maupun kelompok yang mengklaim telah melakukan serangan itu.
Situasi di Myanmar masih buruk. Sejak junta melakukan kudeta pada tahun 2021, Asosiasi Bantuan Tahanan Perang melaporkan, ada 2.367 warga sipil yang terbunuh di dalam konflik. Muncul berbagai gerakan antijunta. Mayoritas perlawanan mereka ada di pelosok dan perdesaan. Akan tetapi, di kota Yangon secara sporadis juga ada konflik bersenjata.
Kelompok-kelompok antijunta itu dituding mengincar orang-orang, lembaga, dan gedung yang memiliki hubungan dengan junta. Sebelum kasus terakhir ini, serangan bom juga sudah terjadi dua kali di Yangon.
Pertama, sebuah ledakan terjadi di halte bus yang ramai pada Mei hingga menyebabkan satu orang tewas dan sembilan orang terluka. Kedua, ledakan bom terjadi di sebuah mal pada Juli. Sebanyak dua orang tewas dan 11 orang terluka pada kejadian itu.
Sementara itu, di Malaysia, pemerintah mendeportasi 150 warga Myanmar, termasuk enam orang mantan anggota Angkatan Laut Myanmar. Mereka adalah orang yang melarikan diri dari Myanmar karena dipersekusi oleh junta militer. Pemerintah Myanmar mendeportasi mereka dengan alasan tidak memiliki izin tinggal sah.
Pendeportasian dilakukan sejak 6 Oktober 2022. Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) mengeluarkan pernyataan bahwa mereka tidak menerima permintaan suaka dari 150 orang tersebut. Akan tetapi, UNHCR mengkhawatirkan keselamatan mereka menyusul kebijakan deportasi oleh Pemerintah Malaysia .
“Kita semua tahu bahwa mereka berisiko ditangkap dan diancam oleh junta begitu sampai ke Myanmar. Sungguh tidak tepat mendeportasi warga Myanmar yang mencari suaka ke luar negeri karena kita tahu situasi di negara mereka buruk,” kata UNHCR.
Selain orang-orang yang kabur dari junta, Malaysia juga menampung 100.000 warga Rohingya yang kabur dari Myanmar akibat konflik antaretnis. Rencananya, mereka juga akan dideportasi secara bertahap.
Kebijakan Pemerintah Malaysia itu menuai kritik dari berbagai pihak. Apalagi, selama ini Malaysia terkenal sering menyuarakan agar Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) lebih tegas kepada Myanmar.
Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah beberapa bulan lalu mengusulkan agar ASEAN mendepak Myanmar dari keanggotaan. Di saat yang sama, ia meminta ASEAN melipatgandakan bantuan kemanusiaan untuk rakyat Myanmar.
“Antara ucapan dengan perbuatan bertolak belakang. Pemerintah harus tahu, jika terjadi hal-hal buruk terhadap mereka yang dideportasi, Malaysia turut bertanggung jawab,” kata Charles Santiago, politikus dari partai oposisi. (AP/AFP/Reuters)