Tidak Tertutup Peluang Biden-Putin di KTT G20 Bali
Baik Presiden AS Joe Biden maupun Presiden Rusia Vladimir Putin tidak menutup peluang untuk bertemu. Momentum yang ditunggu-tunggu menjadi panggung pertemuan itu adalah KTT G20 di Bali, 15-16 November mendatang.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, NINA SUSILO, MAWAR KUSUMA WULAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedutaan Besar Rusia di Jakarta tidak menutup kemungkinan kehadiran Presiden Vladimir Putin pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, pertengahan November mendatang. Persiapan telah dilakukan, termasuk penyiapan akomodasi dan keamanan, bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia.
Akan tetapi, kepastian kehadiran Putin baru akan diputuskan menjelang KTT berlangsung, 15-16 November. ”Keputusan apakah Presiden Putin akan hadir baru akan dipastikan jelang KTT berlangsung. Keputusan itu akan bergantung pada situasi geopolitik global,” kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva dalam konferensi pers di kediamannya di Jakarta, Rabu (12/10/2022).
Pertanyaan soal kedatangan Putin sebagai salah satu pemimpin negara anggota G20 ke Bali mencuat setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyatakan dirinya tidak mengesampingkan peluang berbicara dengan Putin. Duta Besar AS untuk Indonesia Sung Yong Kim telah memastikan rencana kehadiran Biden di KTT G20.
Hal itu disampaikan Sung dalam kunjungan kehormatan kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Istana Wapres, Jakarta, Selasa (11/10/2022). Ia menambahkan, Biden menantikan pertemuan dengan Presiden Joko Widodo pada KTT G20 nanti.
Di tempat terpisah, saat wawancara dengan televisi CNN, Selasa, Biden menyatakan, dirinya sebenarnya tidak berniat berbicara dengan Putin. ”Tetapi, misalnya, jika dia datang kepada saya di G20 dan mengatakan, ’Saya ingin berbicara tentang pembebasan (bintang basket yang ditahan) Brittney Griner’, saya akan bertemu dengannya. Maksud saya, itu akan tergantung,” kata Biden.
Vorobieva, mengutip pernyataan Sekretaris Pers Kepresidenan Rusia, mengatakan, apabila ada permintaan AS untuk bertemu atau berbicara dengan Presiden Putin, Pemerintah Rusia akan mempertimbangkannya. Sejauh ini belum ada inisiatif untuk hal itu, baik dari Rusia maupun AS.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, kondisi dunia dengan perang Ukraina-Rusia yang tak berkesudahan membuat situasi semakin sulit. Namun, ia memastikan, komunikasi terus dijalankan.
”Sejauh ini, respons masih sangat positif. Jadi, kalau mengenai tingkat kehadiran, kita tidak khawatir,” ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa.
Ditanya apakah ada keberatan dari negara G20 lainnya mengenai kehadiran Putin, Retno menegaskan, komunikasi terus dilakukan. Sebagai Presiden G20, Indonesia wajib mengundang semua anggota kecuali konsensus memutuskan lain.
Undangan kepada Putin disampaikan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Moskwa, 30 Juni lalu. Kunjungan itu berlangsung setelah Jokowi bertandang ke Kyiv dan bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. Kepada Zelenskyy, Jokowi juga menyampaikan undangan untuk hadir di KTT G20.
Seruan dialog
Upaya untuk kembali mendorong para pihak duduk di meja perundingan disuarakan sejumlah kalangan setelah terlihat eskalasi perang Ukraina- Rusia meningkat. Senin, dua hari setelah insiden ledakan di Jembatan Crimea, militer Rusia membombardir sejumlah kota di Ukraina. Moskwa menuding militer Ukraina berada di balik serangan di jembatan itu.
Awal pekan ini, upaya membangun dialog itu dirintis Turki dan Uni Emirat Arab (UEA). Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dijadwalkan bertemu Putin di Kazakhstan, Kamis ini. Menlu Turki Mevlut Cavusoglu menyerukan ”hanya perdamaian” berdasarkan integritas teritorial Ukraina.
Sebelumnya, Selasa, Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan atau MBZ bertemu Putin di St Petersburg, Rusia. ”Kami membahas sejumlah isu perhatian bersama, termasuk krisis Ukraina dan pentingnya terlibat dialog guna meredakan ketegangan dan mencapai solusi diplomatik,” cuit MBZ di Twitter.
Terkait dorongan dialog itu, Vorobieva mengatakan, negara-negara Barat, khususnya yang tergabung dalam G7, seharusnya mendorong Pemerintah Ukraina berdialog dengan Rusia. Mengirimkan persenjataan baru, termasuk sistem pertahanan NASAMS (AS) dan Iris-T (Jerman), sama sekali tak membantu menyelesaikan perang.
”Jika mereka ingin menghentikan perang ini, mereka tidak seharusnya mendiskusikan sistem persenjataan baru apa yang akan dikirimkan ke Ukraina. Tetapi, mendiskusikan hal apa yang bisa membuat Ukraina mau duduk dan berdialog dengan Rusia,” kata Vorobieva.
Ia menambahkan, Rusia dan Ukraina sebenarnya telah siap menyetujui sebuah kesepakatan, hasil dialog kedua pihak, antara Maret-April. Akan tetapi, setelah Boris Johnson, yang saat itu menjabat Perdana Menteri Inggris, berkunjung ke Kyiv dan bertemu Zelenskyy, menurut Vorobieva, kesepakatan itu terkatung-katung.
Mengenai peluang perundingan, Zelenskyy pada akhir September 2022 mengatakan, pintu perundingan tertutup begitu Rusia mencaplok sebagian wilayah di empat provinsi Ukraina (Zaporizhia, Kherson, Donetsk, dan Luhansk). ”Penerapan yang disebut ’Skenario Crimea’ dan upaya lain untuk mencaplok wilayah Ukraina berarti tidak ada lagi yang harus dibicarakan dengan Presiden Rusia,” ujarnya saat itu.
Perundingan damai Rusia-Ukraina sebenarnya praktis terhenti sejak awal Mei 2022. Semua upaya untuk menghidupkan lagi perundingan itu tidak kunjung berhasil. Sejauh ini, Kyiv-Moskwa hanya menyepakati ekspor sebagian produk pertanian Ukraina melalui Laut Hitam. Uni Eropa mengklaim ekspor itu sebagai salah satu faktor penurunan harga pangan global.
Ancaman perang nuklir
Dalam konferensi pers, Vorobieva juga mencoba menepis kekhawatiran masyarakat global tentang penggunaan senjata nuklir oleh militer Rusia. Dia mengatakan, isu penggunaan senjata nuklir itu sengaja diembuskan negara-negara Barat.
”Tidak. Doktrin pertahanan kami sangat jelas menyatakan bahwa senjata nuklir hanya bisa digunakan apabila ada ancaman langsung terhadap keamanan Rusia. Tidak ada alasan lain,” katanya.
Mengutip pernyataan Putin, ia menyebutkan bahwa penggunaan senjata nuklir oleh negara mana pun adalah tindakan bunuh diri, tidak hanya bagi negara itu, tetapi juga dunia. ”Kami bukan orang gila. Kami (Rusia) tak ingin bunuh diri menggunakan senjata nuklir,” ujar Vorobieva.
Meski demikian, ia menambahkan, penggunaan senjata nuklir bukan tidak mungkin. ”Kami akan merespons jika ada ancaman penggunaan senjata nuklir. Tetapi, yang dilakukan Rusia hanya merespons,” katanya. (AP/AFP/REUTERS)