Eskalasi Bisa Picu Konflik Rusia-NATO, Sejumlah Negara Siap Jadi Penengah
Sejumlah negara mendesak deeskalasi perang di Ukraina menyusul tanda-tanda ancaman meluasnya perang di negara itu menjadi arena konflik Rusia versus NATO. Uni Emirat Arab mencoba upaya menjadi penengah konflik.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·6 menit baca
NEW YORK, SELASA – Dunia internasional mendesak semua pihak menahan diri agar situasi perang di Ukraina tidak terdorong ke arah yang lebih membahayakan. Tanda-tanda peningkatan eskalasi perang semakin nyata, terlihat dari ancaman meluasnya konflik bukan lagi antara Rusia dan Ukraina, melainkan antara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan Rusia. Sejumlah negara telah menawarkan diri untuk membantu mediasi para aktor yang terlibat konflik, terutama Ukraina dan Rusia.
Eskalasi perang antara Ukraina dan Rusia kembali meningkat dalam beberapa hari terakhir. Pada Senin (10/10/2022), militer Rusia membombardir kota-kota di seluruh Ukrania sebagai balasan atas insiden ledakan Jembatan Crimea, Sabtu lalu. Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan, gempuran itu merupakan pembalasan atas serangan Ukraina, termasuk serangan di Jembatan Crimea.
Seusai gempuran besar-besaran oleh Rusia, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy berbicara via telepon dengan Presiden AS Joe Biden dan kemudian menyampaikan pesan melalui Telegram bahwa Ukraina akan melakukan semua hal untuk memperkuat angkatan bersenjatanya. ”Kami akan menjadikan medan pertempuran lebih menyakitkan bagi musuh,” tegas Zelenskyy.
Kepada Zelenskyy, Biden menjanjikan pasokan sistem pertahanan udara. Pada 27 September 2022, Pentagon mengatakan akan memulai pengiriman sistem rudal canggih permukaan ke udara, National Advanced Surface-to-Air Missile System (NASAMS), ke Ukraina hingga dua bulan ke depan. Negara-negara Barat lainnya juga menjanjikan tambahan pasokan persenjataan ke Kyiv. Gedung Putih menyebutkan, Biden dan para pemimpin negara-negara G7 akan menggelar pertemuan daring guna membahas komitmen dukungan pada Ukraina.
Moskwa memperingatkan Barat atas konsekuensi yang bisa muncul akibat langkah mereka. Duta Besar Rusia untuk AS Anatoly Antonov, menyatakan bahwa bantuan lebih lanjut bagi Ukraina bisa memantik risiko perang meluas. ”Bantuan seperti itu, termasuk memasok Kyiv dengan panduan intelijen, instruktur, dan kekuatan tempur, dapat memicu eskalasi lebih luas dan meningkatkan risiko pertempuran antara Rusia dan NATO,” katanya kepada media.
”Kami memperingatkan dan berharap mereka menyadari bahaya eskalasi yang tidak terkendali di Washington dan ibu kota-ibu kota negara Barat lainnya,” tambah Sergei Ryabkov, Deputi Menteri Luar Negeri Rusia, seperti dikutip kantor berita RIA, Selasa (11/10/2022).
Seruan deeskalasi
Dalam situasi tersebit, India dan China—dua negara sahabat Rusia—dengan segera menyerukan deeskalasi konflik di Ukraina. Melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arindam Bagchi, Pemerintah India, Senin (10/10/2022), mengirim pesan agar para pihak segera menghentikan permusuhan dan membuka jalur diplomasi serta dialog sebagai jalan tengah. Di Beijing, Jubir Kemenlu China Mao Ning mengharapkan agar situasi konflik segera mereda.
Negara terbaru yang menawarkan diri untuk mendukung proses dialog adalah Uni Emirat Arab (UEA). Seperti dikutip dari kantor berita WAM, Selasa (11/10/2022), Pemerintah UEA menyatakan kesiapannya untuk membantu menemukan solusi damai atas perang di Ukraina. Pemerintah UEA menyerukan para pihak untuk mengutamakan diplomasi, dialog, dan penghormatan terhadap aturan serta hukum internasional.
Dalam pernyataannya, Kemenlu UEA mengatakan, pertemuan tatap muka antara Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskwa, Rabu (12/10/2022), akan dimanfaatkan untuk mendorong upaya deeskalasi dan lebih jauh penghentian konflik di Ukraina.
”Selain untuk meningkatkan kerja sama yang bermanfaat dan konstruktif, komunikasi dengan semua pihak untuk membantu mencapai solusi politik yang efektif,” demikian pernyataan Kemenlu UEA.
Upaya untuk menengahi konflik yang terjadi di Ukraina telah coba dilakukan sejak Rusia menginvasi Ukraina, 24 Februari 2022. Perancis, Turki, dan Arab Saudi adalah beberapa negara yang mencoba menjadi penengah. Akan tetapi, sejauh ini usaha itu belum bisa mengakhiri perang.
Peluang mengupayakan dialog itu sendiri semakin tipis setelah Rusia secara resmi menganeksasi empat wilayah Ukraina, yaitu Zaporizhia, Luhansk, Kherson, dan Donetsk. Serangan Rusia ke sejumlah kota di Ukraina, Senin (10/10/2022), juga dikhawatirkan bisa menutup seluruh upaya damai.
Dampak serangan
Petugas layanan darurat Ukraina mengatakan, serangan militer Rusia pada Senin menewaskan sedikitnya 19 orang dan menyebabkan 109 orang terluka. Selain itu, serangan tersebut juga merusak sejumlah persimpangan jalan, taman-taman, dan lokasi-lokasi wisata. Sebanyak 301 permukiman di wilayah Kyiv, Lviv, Sumy, Ternopil, dan Khmelnytsky hingga Selasa pagi tanpa dilengkapi listrik akibat kerusakan infrastruktur pasca-serangan hari Senin.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, seusai berbicara dengan Presiden AS Joe Biden, berjanji membalas serangan Rusia itu. Ia menanti tambahan pasokan persenjataan dari AS dan negara-negara Barat lainnya. Selain AS, Pemerintah Jerman juga telah memutuskan mengirimkan sistem pertahanan udara Iris-T untuk membantu militer Ukraina. Menlu Jerman Annalena Baerbock mengecam serangan udara Rusia pada kota-kota di Ukraina. ”Kami melakukan segalanya untuk memperkuat pertahanan udara Ukraina,” tulis Baerbock di akun Twitter-nya.
Sebelumnya, Jerman menjanjikan akan mengirimkan sistem pertahanan udara pada akhir tahun ini. Akan tetapi, Menteri Pertahanan Christine Lambrecht mempercepatnya dan menyebut pengiriman akan dilakukan dalam beberapa hari mendatang.
”Serangan roket terbaru di Kyiv dan banyak kota lain dengan jelas menggarisbawahi pentingnya pengiriman cepat sistem pertahanan udara ke Ukraina,” katanya.
Diplomasi di PBB
Sejumlah negara menyayangkan terjadinya serangan puluhan rudal yang diluncurkan militer Rusia dari kendaraan tempur dan pesawat nirawak ke sejumlah kota utama Ukraina. Turki, salah satu negara yang pernah mencoba memediasi Rusia-Ukraina, menyebut serangan itu sangat mengkhawatirkan dan tidak dapat diterima.
Duta Besar Kosta Rika di Perserikatan Bangsa-Bangsa Maritza Chan Valverde menyatakan, serangan rudal Rusia ke Ukraina telah menunjukkan penghinaan terus-menerus dan menyeluruh terhadap hak asasi manusia, hukum humaniter, dan norma-norma internasional.
Beberapa jam setelah serangan terjadi, Majelis Umum PBB menggelar pertemuan untuk membahas langkah Rusia mencaplok secara sepihak atas empat wilayah di Ukraina (Zaporizhia, Kherson, Donetsk, dan Luhansk). Rusia berusaha menghadang upaya di Markas Besar PBB yang mendorong pemungutan suara terkait aneksasi itu, tetapi gagal.
Sebanyak 107 suara mendukung digelarnya pemungutan suara terbuka, sedangkan 39 negara memilih abstain, termasuk Rusia dan China. Adapun sebanyak 13 negara menentang diadakannya pemungutan suara terbuka.
Rancangan resolusi tersebut diusulkan Uni Eropa. Isinya berupa tuntutan agar Moskwa segera dan tanpa syarat membatalkan pencaplokan wilayah tersebut serta menyerukan semua negara agar tidak mengakui keempat wilayah Ukraina yang dicaplok dan direbut untuk dimasukkan sebagai bagian dari wilayah Rusia. Selain itu, rancangan resolusi itu juga mendesak penarikan segera, menyeluruh, dan tanpa syarat seluruh pasukan Rusia dari semua wilayah Ukraina yang diakui secara internasional.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vasily Nebenzya menilai upaya tersebut sebagai menggemakan narasi anti-Rusia. Dia menyebut hal itu sebagai sebuah tindakan yang manipulatif.
”Sinisme, konfrontasi, dan polarisasi berbahaya seperti hari ini yang belum pernah kita lihat dalam sejarah PBB,” kata Nebenzya. Dia mengulangi klaim Moskwa bahwa referendum dilakukan untuk melindungi warga di empat wilayah dari ”tindakan permusuhan” Pemerintah Ukraina.
Puluhan negara dari Latvia hingga Fiji mendukung substansi rancangan resolusi itu. Perdebatan apakah resolusi itu akan diloloskan atau tidak akan dilanjutkan, Rabu (12/10/2022) waktu setempat. Suriah dan Korea Utara, sekutu Rusia, adalah dua negara yang telah menyatakan akan menyampaikan pendapatnya di depan Majelis Umum PBB. Suriah dan Korea Utara termasuk di antara negara-negara yang mendaftar untuk berbicara. (AP/AFP/REUTERS)