Kemitraan Indonesia-Jerman di Tengah Krisis Energi
Indonesia dan Jerman sama-sama ingin memanfaatkan multilateralisme untuk mengatasi krisis energi. Jerman menjadi mitra RI dalam transisi energi.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan multilateral merupakan cara yang paling sesuai untuk mengatasi berbagai tantangan regional maupun global saat ini. Indonesia dan Jerman sama-sama berkomitmen untuk menerapkannya melalui kemitraan yang telah dibina selama 70 tahun.
Hal itu disebutkan oleh Duta Besar Jerman untuk Indonesia Ina Lepel dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto saat perayaan Hari Persatuan Jerman di Jakarta, Kamis (6/10/2022). ”Persatuan Jerman Barat dan Jerman Timur adalah berkat kerja sama multilateral sejumlah negara dan pihak. Awalnya, banyak yang mengira hal itu mustahil, tetapi terbukti dan menjadi preseden bagi penyatuan Eropa,” kata Lepel.
Ia mengatakan, sekarang adalah masa sulit yang membuat dunia terbelah akibat persaingan geopolitik yang kian menegang. Pendekatan multilateralisme semakin dibutuhkan agar dunia tidak terpecah menjadi kubu-kubu dan bisa bermitra secara produktif. Apalagi, Jerman sebagai ketua G7 tahun 2022 dan Indonesia sebagai ketua G20 harus bisa menunjukkan pentingnya kerja sama.
Airlangga menuturkan, Indonesia dan Jerman bekerja sama di dalam pengembangan ekonomi, infrastruktur, dan teknologi hijau. Jerman adalah mitra dalam memastikan transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.
Ekonomi hijau diharapkan bisa membuat kerja sama kedua negara semakin berkesinambungan. Neraca perdagangan Indonesia-Jerman periode 2015-2021 mencapai 6 miliar dollar AS.
Lepel menyinggung mengenai konflik global yang membuat dunia terjerumus ke dalam krisis energi dan krisis pangan. Jerman bersama negara-negara Eropa memang menghadapi kemungkinan musim dingin yang berat mengingat sepertiga dari energi mereka bergantung pada Rusia.
Jerman menginginkan agar pasokan gas dari Rusia bisa dikurangi, apalagi Rusia memainkan kartu memblokir aliran gas di pipa Nord Stream sebagai balasan atas sanksi Barat karena menginvasi Ukraina.
Kanselir Jerman Olof Scholz baru menuntaskan pertemuan dengan Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez di kota A Coruna yang terletak di bagian utara Spanyol. Mereka membicarakan pembuatan pipa MidCat untuk menyalurkan gas dan hidrogen dari Spanyol ke Jerman.
Salah satu permasalahannya, pipa itu harus melewati Perancis, sementara Presiden Perancis Emmanuel Macron telah mengatakan tidak menyetujui proyek itu sejak tahun 2019. ”Dampak kepada lingkungan sangat negatif, belum lagi berbagai masalah legal yang akan muncul untuk pembebasan lahan,” ujarnya dikutip Bloomberg.
Pilihan lain yang diajukan oleh Sanchez ialah membangun pipa melalui Laut Mediterania yang menghubungkan kota Barcelona di Spanyol dengan Livorno di Italia. Konsekuensinya, biaya yang diperlukan lebih mahal dan waktu pembangunannya jauh lebih lama dibandingkan melalui Perancis.
Scholz mendekati negara-negara Eropa sejak ia mengeluarkan kebijakan batas atas harga gas pada September 2022. Pemerintah Jerman mengambil pinjaman sebesar 200 juta euro untuk menjaga agar harga gas di dalam negeri tidak melonjak sehingga membebani industri dan rumah tangga.
Keputusan itu dikecam oleh Uni Eropa karena mengakibatkan persaingan tidak sehat. Apalagi, di blok ini, sudah disepakati mengenai kebijakan satu pasar. Alasannya, nanti bisa terjadi perang subsidi di antara sesama anggota UE.
”Khawatirnya, akan ada pemerintahan yang dilobi oleh perusahaan-perusahaan energi agar mengucurkan biaya lebih banyak untuk paket lebih besar. Negara-negara kecil akan kalah,” kata Jacques Derenne, dosen hukum dana bantuan negara di Universitas Liege kepada Politico.