Melalui pidato yang disampaikan Menlu Retno Marsudi di forum sidang Majelis Umum PBB, Indonesia menawarkan paradigma baru ”menang-menang”, bukan ”menang-kalah”. Ini bisa dimulai dengan penyelesaian konflik secara damai.
Oleh
FRANSISCA ROMANA DARI NEW YORK, AMERIKA SERIKAT
·4 menit baca
KOMPAS/FRANSISCA ROMANA
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi (berdiri di podium, terlihat di layar) menyampaikan pidato dalam Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat.
NEW YORK, KOMPAS — Indonesia menyampaikan kritik keras atas perilaku negara-negara yang terus berkompetisi menguasai dunia dan memperburuk krisis global yang belum terselesaikan. Indonesia mengajak komunitas internasional berpaling pada tatanan dunia baru yang mengedepankan kolaborasi.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyampaikan hal tersebut saat berpidato pada Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB, Senin (26/9/2022), di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat. Hari itu merupakan sesi terakhir debat umum yang berisi penyampaian pandangan setiap delegasi.
Retno berpidato mewakili Indonesia setelah presiden maupun wakil presiden diputuskan tak hadir di sidang tahunan Majelis Umum (MU) PBB yang untuk pertama kali sejak pandemi Covid-19 digelar secara tatap muka. Pada 2020 dan 2021, saat dunia dilanda pandemi dan sidang MU PBB digelar secara virtual, pidato Indonesia disampaikan Presiden Joko Widodo lewat rekaman video. Sebelum itu, pada era Presiden Jokowi, pidato Indonesia selalu disampaikan Wapres Jusuf Kalla.
Mengawali pidatonya, Retno mengungkapkan keprihatinan bersama yang selama sepekan terakhir disuarakan oleh para kepala negara dan kepala pemerintahan. Situasi dunia mengkhawatirkan dengan masih adanya pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi suram, ditambah perang berkecamuk.
“Pelanggaran hukum internasional menjadi kebiasaan, hanya demi mengejar kepentingan diri yang dangkal. Krisis demi krisis mengemuka di seluruh dunia. Sejarah mengajarkan, fenomena semacam ini bisa mengarah ke perang besar,” kata Retno menegaskan.
AFP/YUKI IWAMURA
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyampaikan pidato pada Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB, New York, AS, Senin (26/9/2022).
Pada periode menjelang Perang Dunia II, lanjut dia, terjadi Depresi Besar, kebangkitan ultranasionalisme, kompetisi atas sumber daya, dan persaingan antara negara-negara besar. Situasi ini mirip seperti yang dihadapi masyarakat dunia sekarang. “Sudah jelas, kita menangani tantangan itu dengan cara yang salah,” tegas Retno.
Dalam pidatonya, Retno tidak menyebut satu pun negara yang tengah terlibat dalam perang di Ukraina. Meski demikian, ia menekankan prinsip kedaulatan dan integritas nasional adalah hal yang tidak bisa dinegosiasikan.
Paradigma ”menang-menang”
Indonesia kembali memperingatkan, perilaku banyak negara saat ini bisa membuat dunia menuju kehancuran. “Kita terbelah, alih-alih bersatu. Kita bekerja secara individual, bukannya kolektif. Kita terus fokus pada kata-kata dibandingkan tindakan. Apakah kita akan terus berada di jalur ini? Jika iya, kita menuju bencana,” kata Retno.
Maka, Indonesia menawarkan paradigma baru "menang-menang", bukan "menang-kalah". Ini bisa dimulai dengan penyelesaian konflik secara damai. Pesan ini telah digaungkan Presiden Joko Widodo saat mengunjungi Kyiv, Ukraina, dan Moskwa, Rusia, yang sedang terlibat perang.
Setelah tercapai perdamaian, barulah dunia bisa melangkah menuju pemulihan global. Negara-negara mesti meninggalkan keegoisan, diskriminasi perdagangan, monopoli rantai pasok global, dan pemanfaatan tata ekonomi global sebagai pembenaran pihak yang kuat dan berkuasa.
“Pelajaran ini membentuk prioritas Indonesia saat menjadi Presiden G20. Dunia menancapkan harapan pada G20 untuk menjadi katalis pemulihan global, terutama bagi negara-negara berkembang. Jangan sampai G20 gagal. Kita tidak bisa membiarkan pemulihan global jatuh di bawah geopolitik,” tutur Retno.
Selain G20, penguatan kerja sama regional mutlak diperlukan. Sebab, di banyak kawasan, arsitektur regional pascaperang dibangun hanya demi pembendungan dan pengasingan. Fenomena itu saat ini terlihat lewat kelompok-kelompok multilateral mini yang beranggotakan kurang dari lima negara. Banyak negara itu menjadi proksi dari negara besar.
Oleh sebab itu, organisasi regional seperti Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tempat Indonesia menjadi anggota, menolak menjadi pion dalam Perang Dingin baru. Hal ini menjadi prioritas Indonesia saat menjadi ketua ASEAN tahun depan.
ASEAN, kata Retno, harus menjadi lokomotif perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran kawasan. Sentralitas ASEAN terus dipegang teguh guna menjamin organisasi ini bermanfaat bagi rakyat, kawasan, dan dunia.
“ASEAN akan terus menangani situasi di Myanmar dengan serius. Indonesia prihatin dengan kurangnya komitmen junta militer mengimplementasikan Lima Poin Konsensus. ASEAN harus bergerak ke depan, tidak boleh tersandera situasi Myanmar,” tegas Retno.
Tak beda halnya dengan yang harus dilakukan PBB. Menurut pandangan Indonesia, prinsip inklusivitas dan keterlibatan harus diutamakan sebagai fondasi dasar multilateralisme. Maka, perlu ada reformasi di tubuh PBB guna memperbarui cara multilateralisme bekerja. “Sudah bukan waktunya lagi bicara saja, lakukan sesuatu,” imbuh Retno.
KOMPAS/FRANSISCA ROMANA
Suasana pembukaan Sidang Ke-77 Majelis Umum PBB di Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Selasa (20/9/2022). Tampak Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres (di podium, tampak di layar) menyampaikan pidato pembukaan.
Sebelumnya Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menggarisbawahi isu-isu di mana koalisi dunia diperlukan secara mendesak. “Di dunia yang sedang terpecah, kita perlu menciptakan mekanisme dialog untuk menyembuhkan perpecahan itu," katanya.
"Itulah sebabnya, saya menggarisbawahi elemen baru Agenda Perdamaian dalam laporan tentang Agenda Bersama Kita. Kita harus berkomitmen membuat setiap alat diplomatik sebagai cara menyelesaikan perselisihan, seperti tercantum dalam Piagam PBB: negosiasi, pembicaraan, mediasi, rekonsiliasi, arbitrasi, dan penyelesaian hukum,” lanjut Guterres.