Jalan Tengah Membiayai Pemulihan
Utang negara miskin berkembang membengkak selama pandemi Covid-19. IMF mengingatkan situasi ini bisa semakin memburuk jika tidak ditangani segera. T20 mendorong pembukaan pasar dan restrukturisasi utang sebagai solusi.
Dalam 14 tahun terakhir, perekomian global berkali-kali terpukul. Kombinasi pukulan pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina membuat upaya pemulihan dipenuhi tantangan. Dalam daftar tantangan itu, pembiayaan menempati urutan pertama.
T20, koalisi lembaga kajian di negara-negara G20, memang menyoroti masalah utang dan pembiayaan. Pertemuan T20 di Bali pada awal September 2022 mengingatkan lagi bahaya tumpukan utang dan dampak kegagalan pengelolaannya.
Baca juga: Komunike T20 Desak Penguatan Kerja Sama Global
Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Institut Keuangan Internasional (IIF) kompak menyajikan data suram. Pada triwulan I 2022, total utang global mencapai 305 triliun dollar AS. Padahal, produk domestik bruto (PDB) global 2022 diproyeksikan hanya 104 triliun dollar AS. Dibanding 2019, utang global bertambah 50 triliun dollar AS dan PDB global hanya 16,4 triliun dollar AS.
IMF dan Bank Dunia mencatat, peringkat utang 50 negara berkembang terpangkas. Dampaknya, 50 negara itu akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan baru. Kalaupun ada, biayanya akan sangat tinggi.
Agar bisa mencicil utang, hingga 100 negara terpaksa memangkas anggaran kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial. Ada pun 30 negara berkembang sedang kesulitan membayar utang.
Data IMF, Bank Dunia, dan berbagai lembaga lain memang tidak memasukkan Indonesia sebagai negara yang disoroti. Sebab, porsi utang terdapat GDP Indonesia di bawah 38 persen. Peringkat surat utang Indonesia juga stabil.
Baca juga: Pembiayaan Campuran Jawaban untuk Pembangunan Berkelanjutan
Justru Italia, China, Amerika Serikat, Jepang masuk dalam pantauan. AS-China dipantau karena menjadi penyumbang tertinggi pertambahan utang global. Jepang-Italia disorot karena masuk 10 negara yang paling tinggi rasio utang terhadap PDB. Di Asia Tenggara, Singapura masuk daftar 10 besar itu. Filipina, Laos, dan Malaysia juga disorot karena porsi utang terhadap PDB melebihi 60 persen.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Kristalina Georgieva, SeLasa (13/9/2022), mengatakan, hampir 30 persen negara berkembang dan 60 persen negara berpenghasilan rendah dalam kesulitan karena utang mereka yang semakin menumpuk. Dia berpesan agar semua pihak, termasuk kreditur besar, seperti Pemerintah China dan lembaga keuangan swasta, untuk mencegah agar situasi tidak semakin memburuk. "Adalah kepentingan Anda sebagai kreditur untuk mencegah masalah meledak,” katanya.
Upaya
Pengampunan dan penjadwalan utang bukan perkara baru. Paris Club 1959, Brady Plan 1989, Pemangkasan Utang Negara Miskin (HIPC) 1996, dan Pengampunan Utang Multilateral (MDRI) 2005 adalah proyek utama dalam beberapa dekade terakhir. Seluruh upaya itu terkait utang dari negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara pada negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Pada November 2020, Arab Saudi sebagai ketua G20 mengusung lagi Inisiatif Pemangkasan Utang (DSSI). Dalam kajian T20, DSSI tidak kunjung menunjukkan hasil memuaskan sampai September 2022. Dari 73 negara yang ditargetkan mendapatkan keringanan, hanya Chad, Etiopia, dan Zambia mendapat sedikit keringanan.
Penyebab utama adalah kreditur swasta, yang menjadi pemberi utang utama di berbagai negara, tidak mau ikut DSSI. Seperti selama puluhan tahun terakhir, mayoritas kreditur itu berada di Eropa Barat dan Amerika Utara. Data IMF dan Bank Dunia memang menunjukkan, negara dan lembaga asal negara Eropa Barat dan AS masih menempati peringkat pertama daftar pemberi utang ke Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Baca juga: Dorong Sinergitas Demi Reformasi Sistem Kesehatan Global
Presiden Bank Dunia David Malpass berkali-kali menekan pentingnya penjadwalan utang negara berkembang dan miskin. Tanpa penjadwalan cepat dan tertib, ketidakpastian akan meningkat dan peluang pemulihan akan semakin menipis. Sementara T20 mengingatkan, pengampunan atau setidaknya penjadwalan ulang utang akan menentukan apakah pemulihan ekonomi akan semakin inklusif atau semakin meninggalkan negara miskin.
Rekomendasi
Dalam pertemuan di Bali beberapa pekan lalu, T20 menawarkan sejumlah solusi. Pertama, meningkatkan kemampuan negara-negara miskin dan berkembang untuk membayar. Hal ini membutuhkan perluasan akses perdagangan global. Pelibatan negara-negara miskin dan berkembang dalam rantai pasok global (GVC) juga perlu ditingkatkan.
Kombinasi kedua hal itu berpeluang meningkatkan pendapatan negara berkembang dan miskin. T20 mengingatkan masalah itu karena negara-negara maju cenderung menutup pasarnya. Bahkan, AS dan sekutunya berusaha merintangi pasar lewat serangkaian sanksi pada Rusia.
Bambang Brodjonegoro, Lead Co-Chair T20 Indonesia mengatakan, sebagian negara bersemangat utnuk membatasi perdagangan dunia di tengah inflasi tinggi, termasuk dengan rezim sanksi. Perdagangan yang dipandang Bambang, yang pernah menjabat sebagai, Menteri Keuangan RI ini, bisa menjadi solusi bagi masalah global saat ini, kini menjadi bumerang. “Hambatan perdagangan seperti ini memaksa harga tetap tinggi. Perlu kerja sama untuk mengurangi hal ini,” katanya.
Rekomendasi lain dari T20 adalah pengalihan utang. Dari seharusnya untuk menyicil utang, dana di negara miskin dan berkembang dipakai untuk mendanai pemulihan yang berorientasi pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Sementara T7, koalisi lembaga kajian anggota G7, menawarkan solusi lebih menantang. Kreditur swasta yang berdomisili di anggota G7 diberikan keringanan pajak jika mau mengurangi atau menjadwal ulang utang negara miskin dan berkembang. Untuk menutup kecurangan jangka panjang, mekanisme itu hanya boleh dilakukan sekali.
Jika dilakukan berkali-kali, negara-negara G7 akan kekurangan pendapatan pajak. Sementara para kreditur swasta terdorong memberi utang dengan risiko gagal bayar yang tinggi karena tahu pada akhirnya bisa mendapat pengganti.
Anna-Katharina Hornidge, Direktur German Development Institute mendorong agar negara-negara G7 kembali memasukkan agenda soal relaksasi atau restrukturisasi utang yang sempat dikeluarkan dari komunike Juli 2022 lalu dalam agenda para pemimpin kelompok negara ekonomi maju. Dia mengingatkan, tanpa relaksasi atau restrukturisasi utang yang memadai pada negara miskin-berkembang, negara-negara ekonomi maju juga akan merasakan dampaknya.