Harus Ada Konsensus Global tentang Rusia
Masihkah dunia harus menuruti AS yang sejak 2016 telah mengacaukan perdagangan dunia dengan perang tarif? ”Bukalah kantong dan pikiran untuk kepentingan negara-negara berkembang,” kata Sekjen PBB Antonio Guterres.
Dunia harus menolak kebijakan ekonomi ”bunuh diri”. Salah satu langkah baru yang berpotensi merugikan ekonomi dunia adalah rencana pematokan harga migas Rusia. Menteri Keuangan AS Janet Yellen gencar berkampanye tentang langkah itu. Namun, dunia sejak awal tampaknya sudah menolak inisiatif tersebut.
Lembaga yang berbasis di Washington, ClearView Energy Partners, menyebutkan, pematokan harga minyak Rusia berkisar 40-60 dollar AS per barel. Tujuannya adalah agar Rusia tidak mendapatkan devisa besar dari ekspor minyak sebagai hukuman karena menginvasi Ukraina sejak 24 Februari 2022.
Yellen membujuk dunia agar bersatu melawan Rusia. Namun, Presiden Rusia Vladimir Putin telah menegaskan, setiap negara yang menyetujui rencana itu tidak akan menerima lagi aliran minyak Rusia. Jika Rusia melakukan hal tersebut, akan bertambah lagi masalah dalam pasokan minyak dunia. Sebelumnya, minyak Iran dan Venezuela tidak lagi leluasa memasuki pasar dunia karena sanksi AS.
Baca Juga: Eropa Musim Dingin, Harga Minyak Dunia Akan Melambung Lagi
Oleh sebab itu, reaksi bermunculan. ”Apakah saya bisa tega menyaksikan pasokan BBM untuk rakyat mengering? Lihatlah apa yang telah terjadi di sekitar India,” kata Menteri Energi India Shri Hardeep Singh Puri kepada CNBC, 5 September 2022.
Situs Energy Intelligence, 18 April 2022, melaporkan, Sri Lanka telah menjatah penjualan BBM karena harga minyak naik. Negara itu tersungkur di hadapan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk pertolongan dana karena devisa terkuras. Nepal dan Pakistan ketiban beban anggaran yang meningkat karena subsidi atas harga minyak naik.
Situs Deutsche Welle, 2 Maret 2022, memberitakan situasi kacau di banyak negara Afrika akibat kenaikan harga minyak. Burkina Faso, Burundi, Republik Afrika Tengah, Zimbabwe dan Senegal, Republik Demokratik Kongo, Kenya, Togo, dan Pantai Gading dirugikan akibat kenaikan harga energi.
Situs Buenos Aires Times, 14 September 2022, melansir, warga Amerika Latin yang sudah diwarnai ketimpangan pendapatan tinggi semakin rentan di tengah kenaikan inflasi dan harga energi. Warga biasa di Brasil didera kenaikan harga kebutuhan sehari-hari. ”Dari Meksiko hingga Brasil, inflasi tinggi semakin memperlebar kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin. Ini bisa memicu pergolakan politik di depan,” demikian tulis media Argentina tersebut.
Baca Juga: Ekonomi Eropa Makin Pelik
Seluruh dunia sedang berjuang meningkatkan pengeluaran sosial. Konsumen dan pebisnis Eropa memikul biaya energi yang bisa mengantarkan kerusuhan sosial dan kekacauan politik serta resesi. ”Beberapa minggu dalam situasi seperti ini, ekonomi Eropa akan berhenti total,” kata Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo (Bloomberg, Kamis, 8 September 2022).
Kebijakan AS melukai
Masihkah dunia harus menuruti AS yang sejak 2016 telah mengacaukan perdagangan dunia dengan perang tarif lewat program America First di bawah Presiden Donald Trump? Haruskah dunia kehilangan kesempatan untuk pemulihan ekonomi di tengah meredanya pandemi Covid-19 setelah kelimpungan sepanjang 2020?
Baca Juga: Kebijakan The Fed Sengsarakan Negara Termiskin
Jangan lupa, sejarah perekonomian telah membuktikan, dunia menjadi korban akibat kebijakan ekonomi AS. Selama dekade 1970-an hingga 1990-an, kebijakan pengetatan moneter bank sentral AS telah menyebabkan gejolak mata uang dan krisis utang di banyak negara berkembang.
AS tidak selamanya memberikan kesejukan. Dunia kini berada di tengah ancaman krisis global yang akan dipicu AS. Pada 2022, bank sentral AS masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga untuk meredam inflasi. Dunia kembali merasakan gejolak kurs dan ketiban beban bunga utang akibat kenaikan suku bunga di AS.
Sinyal penolakan kuat
China telah berkata ”tidak” atas semua upaya AS, termasuk atas rencana pematokan harga minyak Rusia. Invasi Rusia ke Ukraina yang memang salah, tetapi harus ditangani dengan jiwa besar oleh AS. Efek invasi Rusia telah menyengsarakan seluruh dunia akibat gangguan perdagangan global dan kenaikan harga-harga energi.
Harus ada solusi berbasis pemikiran global untuk meredam konflik Ukraina, kenaikan inflasi, serta kenaikan harga energi dan gangguan pada perdagangan global. Banyak negara kembali terjerembab ke dalam kemiskinan karena pandemi dan kini terancam terjebak lagi secara beruntun setelah konflik Ukraina.
”Bukalah kantong dan pikiran untuk kepentingan negara-negara berkembang,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada 19 Agustus 2022. Bukalah Pelabuhan Odesa (Ukraina), pinta Guterres, agar dunia bisa menikmati kembali ekspor Ukraina dan juga Rusia.
Baca Juga: Rusia Jual Minyak Harga Diskon, Jokowi Pertimbangkan Ikuti India-China
Anjuran ini aktual dan memiliki momentum kuat. Apalagi, dunia akan kembali didera krisis ekonomi AS yang dipastikan datang sebagai efek kenaikan suku bunga. Bahkan, gubernur bank sentral AS, Jerome Powell, sudah menegaskan, peredaman inflasi bukan hanya tugas bank sentral. Inflasi muncul juga karena ada gangguan dalam perdagangan global dan konflik Ukraina.
Tidak buta geopolitik
Namun, seruan Guterres tidak mungkin terwujud jika AS terus melanjutkan ambisi hegemoni geopolitiknya. Lagi, hegemoni sedang terbentur di tengah perlawanan Rusia dan China terhadap dominasi politik internasional AS.
Dunia di luar AS juga tidak buta geopolitik. ”Waspadalah pada neoliberalisme Barat yang menekan lebih banyak lagi negara berkembang,” demikian seruan harian China, The Global Times, 29 Agustus 2022.
”Di balik tuduhan AS dan Barat terhadap China yang tidak beralasan, sebenarnya terdapat masalah serius dan pihak yang harus disalahkan untuk itu adalah sistem neoliberal yang didominasi Barat,” lanjut koran tersebut.
Analogi serupa, di balik kampanye AS yang terus menyudutkan Rusia, ada misi politik internasional AS yang tidak ingin mengindahkan aspirasi Rusia. Aspirasi yang tertekan bertahun-tahun ingin dilawan Putin. Salah satu resultannya adalah invasi Ukraina yang mengimbas ke seluruh dunia.
Baca Juga: Hadapi Pengucilan Barat, Rusia Gandeng Hampir Separuh Dunia
India tidak termakan kampanye AS walau juga tidak berpihak total kepada China dan Rusia. Perdana Menteri India Narendra Modi, Rabu, 7 September 2022, dalam Eastern Economic Forum di Vladivostok, Rusia, mengatakan bahwa kini diperlukan diplomasi dan dialog untuk mengakhiri konflik (invasi Rusia ke Ukraina).
Baca Juga: Demi Rakyat, India Impor Minyak Diskon dari Rusia
”Di dunia yang saling terkait karena globalisasi, kejadian di satu negara akan berdampak ke seluruh dunia. Konflik Ukraina dan pandemi Covid-19 telah menyebabkan terganggunya perdagangan. Ekspor-impor biji-bijian, pupuk, dan bahan bakar terganggu. Kelangkaan pasokannya menjadi masalah besar bagi negara-negara berkembang,” tutur Modi.
Diplomasi dan dialog
”Sejak awal konflik, kami selalu menekankan jalur diplomasi dan dialog. Kami mendukung penuh upaya damai untuk mengakhiri konflik ini,” lanjut Modi. India ingin AS dan Rusia menemukan titik perdamaian.
Uni Eropa pun pada dasarnya tidak ingin konflik berkepanjangan. Dalam pertemuan di New Delhi, 14 September 2022, Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar dan Menlu Perancis Catherine Colonna menyerukan agar semua persoalan dunia diselesaikan atas dasar kepentingan global, bukan kepentingan sepihak.
Baca Juga: AS Terus Memukul Rusia dengan Sanksi dan Bantuan Militer ke Ukraina
Jaishankar dan Colonna membahas situasi keamanan di kawasan Asia dan konsekuensi invasi Rusia ke Ukraina, termasuk keamanan pangan dan inflasi global. Jaishankar menambahkan, mutlak bagi negara-negara untuk bekerja sama demi menjamin keamanan, perdamaian, dan kemakmuran.
Seruan senada telah lama digaungkan China dan Rusia bahwa dunia tidak boleh didominasi sepihak. AS harus menerima kekuatan multipolar. Menkeu Perancis Bruno Le Maire menangkap aspirasi dari luar AS ini. Ia mengatakan, rencana pematokan harga minyak Rusia yang diajukan G7, atas inisiatif AS, harus dengan persetujuan Uni Eropa secara aklamasi. Jika tidak, langkah G7 akan jadi tantangan, kata Le Maire, 3 September 2022.
Baca Juga: Xi-Putin Pertegas Tata Dunia Multipolar
Ia menambahkan, pematokan harga minyak Rusia juga harus didukung para pihak di luar G7. ”Agar langkah itu tak dilihat sebagai aksi Barat terhadap Rusia, tetapi pandangan global terhadap penolakan invasi Rusia,” kata Le Maire.
S&P Global pada 12 September 2022 juga mengatakan, sukses implementasi pematokan pada harga minyak Rusia tergantung pada Asia, konsumen minyak terbesar dunia sekarang ini. Raksasa Asia telah menolak inisiatif AS. Pilihan bagi AS adalah berdialog dengan dunia, yang juga akan menguntungkan AS secara ekonomi. (REUTERS/AP/AFP)