Kelompok Pembela HAM Tolak Kepres Filipina Soal Ultah Marcos
Presiden Filipina Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr menjadikan hari lahir ayahnya sebagai libur daerah di provinsi kampung halamannya.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
MANILA, MINGGU - Berbagai kelompok pembela hak asasi manusia, pegiat politik, akademisi, dan sejarawan di Filipina menolak Keputusan Presiden Filipina Nomor 53. Aturan ini mengesahkan agar tanggal 12 September diperingati sebagai ulang tahun Ferdinand Marcos, diktator yang berkuasa selama 20 tahun.
Dilansir dari media setempat, Inquirer, kepres itu dikeluarkan di Istana Malacanang Manila pada hari Rabu (7/9/2022) dan ditandatangani oleh Presiden Filipina Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr yang merupakan putra sulung Marcos Senior. Akan tetapi, diumumkan secara resmi di Provinsi Ilocos Norte, kampung halaman keluarga Marcos pada hari Sabtu (10/9/2022).
"Sudah sepantasnya ulang tahun tokoh negara ini dirayakan dengan penuh sukacita dan memberi kegembiraan bagi semua lapisan masyarakat," kata Gubernur Ilocos Norte Matthew Marcos Manotoc. Ia merupakan cucu Marcos dan keponakan Bongbong.
Ferdinand Marcos, diktator yang berkuasa selama 20 tahun sebelum digulingkan pada tahun 1986 ini berusia 105 tahun pada tanggal 12 September. Marcos meninggal pada tahun 1989 di pengasingannya di Hawaii, Amerika Serikat. Anak cucunya kemudian kembali ke Filipina dan terjun ke dunia politik untuk berusaha mengembalikan kekuasaan dan pengaruh mereka di masyarakat.
Kepres Nomor 53 itu dibuat oleh Bongbong agar setiap tanggal 12 September dijadikan hari libur khusus di Provinsi Ilocos Norte. Menurut dia, hal ini wajar karena selama bertahun-tahun, peringatan ulang tahun Marcos dilangsungkan sejak tanggal 8 September. Ada turnamen sepakbola, festival seni, dan lomba debat antarpelajar.
Penghinaan
Terbitnya kepres itu dikecam oleh berbagai pihak. Marcos adalah penguasa bertangan besi yang mengeruk uang negara sehingga Filipina jatuh ke dalam jurang kemiskinan. Tidak hanya itu, kebebasan berekspresi dinihilkan dan banyak warga yang diciduk aparat pemerintah, bahkan mereka menghilang hingga sekarang.
"Ini penghinaan terhadap sejarah Filipina dan rakyat Filipina. Bongbong secara terang-terangan berusaha mencuci tangan keluarganya yang bergelimang darah saudara setanah air," kata Bonifacio Ilagan, pegiat dari Kampanye Antikembalinya Marcos dan Hukum Darurat Militer. Ilagan termasuk salah satu aktivis yang diciduk Marcos di bawah hukum darurat militer, tetapi setelah itu dibebaskan.
Berdasarkan catatan lembaga HAM Amnesty International, selama 20 tahun berkuasa dan berjalannya hukum darurat militer, ada 107.000 orang yang menjadi korban. Sebanyak 3.240 orang tewas di tangan polisi maupun tentara yang diperintah oleh Marcos. Ada 34.000 orang yang disiksa. Semua korban itu ditangkap oleh aparat tanpa ada alasan yang jelas. Beberapa di antara mereka dinyatakan hilang.
Menurut Project Gunita, lembaga swadaya masyarakat yang mengarsipkan periode keluasaan Marcos, diperkirakan 10 miliar dollar AS uang negara Filipina masuk ke kantong keluarga Marcos. Harta itu disimpan di luar negeri, antara lain di AS dan Swiss dalam bentuk tabungan, saham, maupun properti.
Pada tahun 1989, pengadilan di Negara Bagian Hawaii, AS, memenangkan gugatan 9.000 warga Filipina terhadap Marcos yang kabur ke sana. Keputusan pengadilan adalah Marcos harus membayar ganti rugi sebesar 2 miliar dollar AS.
Itu belum mencakup semua harta yang ia keruk dari negara. Hingga akhir hayat, Marcos bersikeras dirinya tidak pernah melakukan kesalahan. Mahkamah Agung Filipina menyatakan masih ada aset 683 juta dollar AS di Swiss yang merupakan uang rakyat. Meskipun demikian, Bongbong memenangi pemilihan umum Filipina 2022.
"Jika memang harus ada hari libur di Ilocos Norte tanggal 12 September, sepantasnya untuk memperingati para korban kekejaman Marcos. Dari Ilocos Norte ada Purificacion Pedro yang kehilangan nyawa karena menentang Marcos," kata pendiri Project Gunita, Karl Patrick Suyat. (AP)