DK PBB Belum Sepakat soal Daftar Pengecualian Sanksi Petinggi Taliban
Perkembangan situasi di Afghanistan secara umum tidak membaik. Dewan Keamanan PBB membahas, apakah perlu menjatuhkan sanksi atau memperpanjang pengecualian bagi beberapa pejabat Taliban dari daftar pencekalan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
NEW YORK, SELASA — Belum ada kesepakatan ataupun resolusi dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perpanjangan pengecualian 13 pejabat Taliban dari daftar pencekalan, termasuk larangan bepergian bagi sejumlah petinggi Taliban. Perkembangan keadaan di Afghanistan, terutama setelah penembakan rudal yang menewaskan pemimpin kelompok teroris Al Qaeda, Ayman Al-Zawahiri, kian mempersulit dinamika hubungan internasional dengan Taliban.
Pada 2011, DK PBB mengeluarkan daftar sanksi terhadap 135 petinggi Taliban. Sanksi ini mencakup larangan bepergian dan pembekuan aset di luar negeri. Akan tetapi, ada daftar pengecualian untuk 15 petinggi Taliban sehingga mereka masih bisa mengunjungi sejumlah negara. Misalnya, Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi yang sering bepergian ke Qatar dan China.
Pada Juni 2022, daftar pengecualian ini berkurang menjadi 13 orang. Alasannya, dua petinggi Taliban bertanggung jawab atas sektor pendidikan di Afghanistan, yakni Penjabat Wakil Menteri Pendidikan Said Ahmad Shaidkhel dan Penjabat Menteri Pendidikan Tinggi Abdul Baqi Basir Awal Shah atau Abdul Baqi Haqqani. Kedua pejabat Taliban itu dikeluarkan dari daftar pengecualian akibat situasi kian memburuk bagi perempuan dan anak perempuan di negara itu.
Angka putus sekolah di kalangan anak perempuan meningkat akibat peraturan pemisahan kelas antara laki-laki dan perempuan sukar diterapkan di lapangan.
Masa berlaku pengecualian 13 pejabat Taliban itu akan berakhir pada Jumat (26/8/2022). Dalam beberapa hari terakhir, para diplomat di DK PBB membahas isu tersebut. Hingga Senin (22/8), DK PBB masih berdebat.
Rusia dan China mendukung perpanjangan masa berlaku daftar pengecualian dengan alasan mengucilkan Taliban justru merugikan semua pihak. Menurut beberapa diplomat, dua negara itu mengusulkan perpanjangan selama 90 hari ke depan, tetapi terbatas bepergian ke Rusia, China, Qatar, dan ”negara-negara kawasan”.
Rusia dan China menolak proposal yang sebelumnya diajukan AS. Beberapa diplomat mengungkapkan bahwa Washington, Kamis (18/8), mengusulkan pencekalan 7 dari 13 pejabat Taliban dalam daftar pengecualian. Enam pejabat Taliban lainnya dipertahankan untuk memperoleh pengecualian, tetapi hanya terbatas bepergian ke Qatar. Qatar selama ini merupakan lokasi perundingan-perundingan AS dan Taliban.
Terkait proposal Rusia dan China, beberapa negara, seperti Inggris, Perancis, dan Irlandia, keberatan. Menurut mereka, pengecualian 13 pejabat Taliban dari daftar pencekalan tidak dapat dilanjutkan karena tiadanya kemajuan dalam pelaksanaan komitmen Taliban, seperti terkait isu perempuan dan pembentukan pemerintahan inklusif. Irlandia menolak rencana perpanjangan pengecualian mereka dari daftar pencekalan karena tidak mau memberi keleluasaan kepada Taliban walaupun sedikit.
Dalam akun Twitter resmi Kementerian Luar Negeri Taliban, diunggah cuitan yang mengatakan agar sanksi jangan dipakai sebagai alat penekan. ”Jika segalanya dikenai sanksi, tidak akan ada kesempatan untuk berdialog dan banyak masalah yang tidak terselesaikan,” cuit juru bicara Kemenlu Pemerintahan Taliban.
Dana perwalian
Selain mengenai pengecualian perjalanan, sejumlah negara juga dipusingkan oleh dana milik Pemerintah Afghanistan yang disimpan di luar negeri, terutama di Amerika Serikat. Total ada 9 miliar dollar AS yang tersebar di berbagai bank internasional. Jumlah terbanyak disimpan di AS, yakni sebesar 7 miliar dollar AS.
Uang ini dibekukan ketika Taliban merebut pemerintahan Afghanistan pada 15 Agustus 2021. Akibatnya, krisis ekonomi melanda negara itu karena 70 persen anggaran Pemerintah Afghanistan berasal dari sumbangan internasional.
Pada Februari 2022, Presiden AS Joe Biden mengungkapkan rencana untuk menggunakan 3,5 miliar dollar AS dari 7 miliar dollar AS yang ada di bank-bank Negeri Paman Sam itu untuk menyantuni keluarga para korban tragedi 11 September 2011. Sontak kelompok pegiat hak asasi manusia beserta masyarakat sipil Afghanistan menyatakan keberatan. Menurut mereka, Biden akan berlaku zalim karena mencuri dari masyarakat sipil yang sudah terkena musibah.
Keberatan juga dikemukakan lembaga September 11th Families for Peaceful Tomorrows. Ini adalah organisasi keluarga penyintas tragedi 11 September yang mengedepankan perdamaian. Mereka menentang invasi dan pendudukan AS di Afghanistan.
”Rencana membagi-bagi uang milik Afghanistan kepada kami, keluarga korban 9/11, tidak berlandaskan semangat moral. Ini murni bertujuan politik dan kami menolak. Dana itu milik rakyat sipil Afghanistan yang terancam berbagai bencana,” kata Terry Rockerfeller, perwakilan Peacefull Tomorrows, kepada media The Intercept edisi Maret 2022. Saudari Rockerfeller tewas di menara World Trade Center New York pada peristiwa 9/11.
Pemerintah AS tidak mau menyalurkan dana itu ke bank sentral Afghanistan. Penasihat Keamanan Gedung Putih Jake Sullivan menuturkan, pascapenemuan salah satu pemimpin Al Qaeda, Ayman Al-Zawahiri, di Kabul, Taliban tidak bisa dipercaya menepati komitmen mencegah Afghanistan menjadi sarang teroris.
Namun, perkembangan terbaru mengungkapkan bahwa AS hendak menyalurkan dana tersebut ke sebuah lembaga dana perwalian di Swiss. Lembaga itu nanti yang membagi-bagikan dana ke berbagai organisasi kemanusiaan di Afghanistan yang menangani langsung pemberdayaan masyarakat sipil. Tidak sepeser pun uang akan melewati Taliban ataupun bank sentral Afghanistan. (AP/AFP/REUTERS)