Setahun Taliban Berkuasa, Tidak Tampak Tanda Kehidupan Rakyat Membaik
Secara umum, keadaan memburuk. Masyarakat terpaksa menjual harta benda demi membeli makanan pokok. Per akhir tahun 2022, sebanyak 97 persen warga Afghanistan akan jatuh ke garis kemiskinan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Satu tahun yang lalu, pada Minggu, 15 Agustus 2021, kelompok bersenjata Taliban merebut pemerintahan Afghanistan. Peristiwa ini tidak sampai satu bulan setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden menarik seluruh pasukannya dari bumi Afghanistan dengan alasan tidak mau lagi mengorbankan nyawa putra-putri AS ataupun uang negara untuk konflik di tanah asing.
Kondisi negara yang sejak awal sudah rapuh itu menjadi semakin tidak menentu. Tanggapan dunia internasional ketika itu ialah meminta Taliban berjanji untuk memperhatikan perlindungan serta pemenuhan hak kaum perempuan ataupun kelompok minoritas lainnya. Sebuah janji yang diutarakan oleh Taliban, tetapi tidak ditepati.
Situasi di Afghanistan sekarang memang kompleks. Secara umum, keadaan memburuk. Anak-anak perempuan secara teori diperbolehkan bersekolah. Akan tetapi, setiap sekolah wajib memisahkan kelas antara perempuan dan laki-laki. Pelajaran olahraga dan seni ditiadakan bagi perempuan. Selain itu, setiap perempuan yang hendak keluar rumah harus ditemani seorang mahram. Segala aturan tambahan ini memperberat pelaksanaan pendidikan yang setara bagi perempuan.
Di sektor pekerjaan, gambarannya lebih muram. Perempuan-perempuan yang awalnya menikmati karier sebagai pegawai negeri ataupun swasta kehilangan pekerjaan. Demikian pula dengan para perempuan pelaku usaha, mulai dari pemilik toko hingga pedagang kaki lima. Semua terpaksa menutup mata pencarian mereka.
”Kemiskinan merajalela. Tidak ada kejelasan jumlah dana yang dipunyai Taliban untuk menjalankan pemerintahan ataupun menggerakkan ekonomi,” kata Ramiz Alakbarov, Koordinator Bantuan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa di Afghanistan, kepada media CBS dari Kanada, Senin (15/8/2022).
Pemerintah Afghanistan di bawah mantan Presiden Ashraf Ghani memiliki dana sebesar 13,5 miliar dollar AS. Setelah perebutan kekuasaan oleh Taliban, dana ini tidak diketahui pemakaiannya ataupun jumlah yang tersisa.
”Saya hanya bisa melaporkan dari kejadian di masyarakat. Mereka terpaksa menjual harta benda demi membeli makanan pokok. Tidak ada dana tersisa untuk kebutuhan sekunder,” tutur Alakbarov. Ia mengimbau agar bantuan kemanusiaan untuk Afghanistan jangan sampai berhenti. Apalagi, beban kelaparan diperparah dengan perang Rusia-Ukraina yang mengurangi pasokan gandum dan pupuk global.
Program Pembangunan PBB (UNDP) menganalisis, per akhir tahun 2022, sebanyak 97 persen warga Afghanistan akan jatuh ke garis kemiskinan. Sebanyak 33 persen keluarga di negara ini hanya memiliki uang untuk membeli makanan. Tidak ada lagi dana untuk membeli kebutuhan lain, seperti bahan bakar dan pakaian. Bahkan, terdapat 37 persen keluarga yang sama sekali tidak mampu membeli makanan.
Di Amerika Serikat, ada dana milik Afghanistan sebanyak 7 miliar dollar AS yang dibekukan oleh pemerintahan Biden ketika Taliban merebut Kabul. Dana ini diminta oleh masyarakat Afghanistan agar segera dicairkan sehingga perekonomian masyarakat bisa bergulir. Akan tetapi, Biden malah mengatakan hendak menggunakan dana itu untuk menyantuni keluarga korban tragedi 11 September 2001. Niat ini dikecam dunia internasional karena sama saja dengan mencuri dari warga sipil yang tertimpa musibah.
Baru-baru ini, ada permintaan dari berbagai pihak agar AS mau mencairkan setidaknya 3,5 miliar dollar AS dari dana tersebut. Uang itu niatnya disuntikkan ke bank sentral Afghanistan agar masyarakat bisa menggerakkan ekonomi. Permintaan itu ditolak AS.
”Rekapitalisasi bank Afghanistan bukan solusi. Tidak ada yang bisa menjamin dana itu tidak akan dipakai membiayai kelompok teroris,” kata Juru Bicara Departemen Pertahanan AS Ned Price kepada majalah Time.
Ia merujuk kepada kasus bersembunyinya komandan organisasi teroris Al Qaeda, Ayman Al-Zawahiri, di Kabul. AS mengklaim menewaskan Al-Zawahiri dengan tembakan rudal dari pesawat nirawak awal Agustus ini. Akibatnya, AS dan Taliban cekcok karena saling menuduh melanggar Perjanjian Doha tahun 2020. Dalam perjanjian ini, AS berjanji tidak akan menggerakkan pasukan di Afghanistan, sementara Taliban berjanji tidak akan membiarkan Afghanistan menjadi sarang teroris.
Guru Besar Kajian Konflik dan Kemanusiaan Universitas Hamad Bin Khalifa di Qatar Sultan Barakat memberi pandangan lebih luas. ”Memang secara sosial ada kemunduran drastis di Afghanistan. Akan tetapi, ada juga capaian di bidang keamanan dan ekonomi makro,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Guru Besar Kehormatan Universitas New York ini menjelaskan, Taliban berhasil menyatukan Afghanistan yang awalnya dikuasai panglima-panglima perang berbasis suku. Mereka juga mengeluarkan aturan pengelolaan senjata api sehingga hanya anggota milisi terdaftar yang diizinkan membawanya. Ini memberi rasa aman masyarakat walaupun sedikit.
Kedua, Taliban mampu menjalankan hubungan dengan negara-negara tetangga Afghanistan. Tidak ada konflik ataupun kegiatan terorisme seperti yang ditakutkan oleh negara-negara itu pada tahun 2021. Bahkan, China dan Uzbekistan sudah memulai beberapa proyek investasi di Afghanistan. Hal ini karena Taliban bisa menjamin keamanan di proyek-proyek strategis.
”Mengisolasi Taliban bukan jalan keluar. Butuh pendekatan yang kompleks dan sensitif dengan berlandaskan kepentingan warga sipil, bukan ideologi politik,” tutur Barakat.