Enam Bulan Perang Jelang Perayaan Kemerdekaan, Serangan di Ukraina Meningkat
Setelah 6 bulan, belum ada tanda perang akan berakhir. Serangan malah meningkat, harapan perundingan menipis. Rusia-Ukraina saling menyalahkan soal perundingan yang tak kunjung dimulai lagi.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
KYIV, SENIN — Pemerintah sejumlah daerah di Ukraina melarang karnaval dan perkumpulan massa untuk merayakan kemerdekaan negara itu. Peningkatan serangan Rusia menjadi alasan utama larangan ini.
Penguasa Darurat Militer Kyiv Jenderal Mykola Zhyrnov mengumumkan larangan itu pada Senin (22/8/2022). Larangan berlaku mulai Senin sampai Kamis. Semua orang dilarang membuat perayaan kemerdekaan di tempat terbuka. Larangan itu dibuat karena kekhawatiran adanya serangan roket dan rudal oleh Rusia.
Larangan dengan alasan serupa dikeluarkan di Mykolaiv di selatan dan Kharkiv di timur. Gubernur Mykolaiv Vitaly Kim meminta warga berada di rumah saja pada Rabu dan Kamis ini. Warga sangat dianjurkan tidak berkumpul untuk merayakan kemerdekaan Ukraina.
Ukraina merayakan kemerdekaan setiap 24 Agustus. Pada 24 Agustus 1991, parlemen Ukraina mengesahkan pemisahan negara itu dari Uni Soviet. Beberapa bulan kemudian, bersama Rusia dan Belarus, Ukraina meneken dokumen pembubaran Uni Soviet.
Sejak berpisah dari Uni Soviet, hubungan Rusia-Ukraina tidak kunjung membaik. Rusia menduduki Semenanjung Crimea, wilayah Rusia yang diberikan ke Ukraina pada 1954, mulai Maret 2014. Pada 24 Februari 2022, Rusia kembali menyerbu Ukraina dan kini mengontrol setidaknya 20 persen wilayah Ukraina.
Dalam pernyataan pada Minggu tengah malam, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memperingatkan potensi peningkatan serangan Rusia. Hal ini sudah diinformasikan kepada para mitra Ukraina. Warga diminta semakin waspada dan tidak gegabah membuka peluang Rusia menyerang kumpulan orang.
Sulit damai
Setelah 6 bulan, belum ada tanda perang di Ukraina akan berakhir. Pada Senin pagi, jet SU-35 milik Rusia melepaskan rudal X-59 dari Laut Hitam ke Odesa. Sementara di Donetsk, Rusia membombardir sejumlah kota dan kecamatan dengan roket dan artileri.
Di Mykolaiv dan Dnipropetrovsk, Rusia juga melepaskan roket. Nikopol, salah satu kota di Dnipropetrovsk, jadi sasaran serangan Rusia dari lima titik.
Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina Jenderal Valerii Zaluhshyi menyebut, Rusia menembakkan total 60.000 proyektil setiap hari ke Ukraina. Bentuknya mulai dari mortar, artileri, roket, hingga rudal. Sampai pertengahan Juli, Ukraina menaksir Rusia hanya menembakkan tidak sampai 5.000 proyektil per hari.
Sebaliknya, karena keterbatasan amunisi, tentara Ukraina hanya membalas sesekali. Karena itu, Kyiv terus berusaha meminta tambahan senjata dari mitranya.
Kala serangan meningkat, harapan perundingan damai semakin menipis. Wakil Tetap Rusia pada kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Geneva, Gennady Gatilov, menilai peluang damai tidak terlihat saat ini. ”Saya tidak melihat peluang kontak diplomatik. Semakin lama konflik, semakin sulit mencari solusi diplomatik,” ujarnya kepada koran Financial Times.
Menurut dia, Kyiv-Moskwa sudah mendekati perdamaian dalam perundingan, April lalu. Sayangnya, perundingan terhenti sampai sekarang. Belum ada tanda Kyiv-Moskwa kembali merundingkan perdamaian menyeluruh meski berbagai pihak terus mengupayakan itu.
Gatilov menuding negara-negara Barat mendorong Ukraina terus berperang. Negara-negara Barat dinilai memanfaatkan perang di Ukraina untuk menekan Rusia dari berbagai sektor. Akan sangat sulit menduga kapan perang akan berakhir. ”Mereka akan terus berperang sampai tidak ada lagi orang Ukraina,” katanya.
Dalam wawancara dengan sejumlah wartawan Asia, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan, Kyiv selalu siap berdamai dan mencari solusi diplomatik dengan Mokswa. ”Masalahnya, Rusia memandang perundingan dengan cara berbeda,” ujarnya.
Bagi Kyiv, perundingan berarti pembicaraan dua pihak dalam posisi setara untuk mencari solusi terbaik. Namun, Mokswa dinilai menganggap perundingan sebagai sarana memaksakan keinginannya kepada Kyiv. ”Menjelang perang, kami sudah mencoba semua solusi. Sayangnya, ditolak Rusia,” ucapnya.
Referendum
Salah satu kekhawatiran Kyiv sekarang adalah referendum di wilayah-wilayah Ukraina yang diduduki Rusia. Pola itu pernah dipakai Rusia untuk menduduki Crimea. Dengan alasan referendum menunjukkan mayoritas warga ingin Crimea bergabung dengan Rusia, Mokswa menduduki wilayah itu sampai sekarang.
Direktur Institute of Global Strategies Kyiv Vadim Karasev menilai referendum akan dipakai untuk menekan Zelenskyy. Moskwa akan memakai hasil referendum untuk mendesak Zelenskyy mengikuti syarat Rusia atau Ukraina kehilangan wilayahnya di selatan. Hal itu akan membuat Ukraina kehilangan akses ke jalur laut.
Di sisi lain, seperti terjadi di Crimea, Rusia akan memakai referendum sebagai pembenaran atas pendudukannya. ”Setelah referendum, Rusia akan menganggap semua wilayah yang diserangnya sebagai milik Mokswa,” ujarnya.
Peneliti kajian Rusia dan Eurasia pada Chatham House, Nikolai Petrov, mengatakan, referendum sekali pun tidak akan membuat keadaan membaik. ”Akan ada perang gerilya, perlawan bawah tanah, hingga pemboman sporadis,” ujarnya.
Sejumlah pihak di wilayah yang diduduki Rusia sudah mewacanakan soal referendum sejak beberapa bulan lalu. Pejabat pemda Zaporizhia yang dibentuk Rusia, Vladimir Rogov, menyebut referendum akan digelar pada September. Sementara pejabat pemda Kherson versi Rusia, Kirill Stremousov, hanya menyebut referendum akan digelar tahun ini. Kampanye soal referendum sudah disebarkan dari Luhansk hingga Kherson. Bahkan, panitia pemungutan suara sudah dibentuk di Zaporizhia.
Tidak hanya mempersiapkan referendum, Rusia juga mulai menggunakan rubel di wilayah yang didudukinya. Rubel antara lain dipakai untuk membayar sejumlah tunjangan bagi warga di wilayah Ukrainan yang diduduki Rusia. Moskwa juga menawarkan jalur cepat kewarganegaraan Rusia bagi warga di wilayah yang didudukinya.
Sejumlah sekolah juga dilaporkan menggunakan kurikulum Rusia. Selain itu, pelat nomor kendaraan Rusia juga mulai dibagikan di Kherson dan Zaporizhia. (AFP/REUTERS)