Taliban jelas mengingkari janji untuk melindungi hak-hak perempuan. Kenyataan di lapangan begitu pedih.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
Hari Sabtu (13/8/2022), kota Kabul di Afghanistan diguncang peristiwa unjuk rasa kaum perempuan. Sejak kelompok bersenjata Taliban merebut pemerintahan negara tersebut pada 15 Agustus 2021, hak-hak perempuan praktis tersingkirkan.
Oleh sebab itu, di tengah tekanan dan ancaman hukuman berat, para perempuan Afghanistan benar-benar nekat berunjuk rasa. Bukannya mereka sok berani, melainkan memang sudah tidak ada pilihan lagi. Para perempuan itu terpaksa muncul ke permukaan untuk menuntut hak-hak mereka.
”Beri kami roti, pekerjaan, dan kebebasan!” Demikian yel-yel para perempuan tersebut sebelum kocar-kacir dikejar milisi Taliban. Beberapa anggota milisi melepaskan tembakan ke udara guna membubarkan unjuk rasa. Ada pula yang memukul beberapa pendemo dengan popor senapan.
Saat ini, perhatian dunia tengah disibukkan dengan perang antara Rusia dan Ukraina serta gelombang pengungsi di Eropa. Ditambah lagi, ada ketegangan di Selat Taiwan. Akan tetapi, hendaknya dunia jangan lupa dengan masalah yang belum terselesaikan di Afghanistan, yakni janji-janji perlindungan serta pemenuhan hak perempuan yang hingga saat ini benar-benar terabaikan.
Yel-yel unjuk rasa kaum perempuan Afghanistan itu sederhana, tetapi menohok. Mereka mengingatkan bahwa tiga kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi, yaitu mengisi perut, mencari nafkah, dan hak untuk hidup tanpa tekanan. Ini belum menyinggung hak-hak yang lain, seperti memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang layak.
Sejak awal tahun 2021, sekelompok perempuan wartawan yang bergabung di bawah gerakan Rukhshana Media mengadakan wawancara dengan perempuan dari berbagai penjuru Afghanistan. Prakarsa ini disponsori oleh surat kabar The Guardian dari Inggris. Mereka memotret perubahan kehidupan perempuan setelah kudeta Taliban. Pada awal tahun 2021, ibu-ibu masih bisa berbelanja ke pasar. Sekarang, mereka harus ditemani oleh mahram walaupun hanya ingin berbelanja ke warung sebelah.
”Dulu, saya penjual makanan kaki lima. Penghasilannya cukup untuk menafkahi saya dan dua anak,” kata Sakina, seorang janda yang tinggal di Kandahar.
Sejak pemerintahan direbut Taliban, lapak makanan Sakina terpaksa gulung tikar. Ia dilarang bekerja. Sebagai janda, Sakina berhak mendapat santunan sebesar 1.000 afghani (Rp 163.000), 3 liter minyak goreng, dan sekarung gandum yang dicairkan setiap tiga bulan. Akan tetapi, jumlah ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan perutnya dan dua anaknya.
”Saya mengontrak rumah dengan dua orang janda dan anak mereka yang masih kecil-kecil. Ongkos sewa 40.000 afghani sebulan saja tidak bisa kami tutupi bertiga,” ujarnya. Sakina mengharapkan, Taliban bisa mengizinkan ia bekerja kembali agar bisa menafkahi keluarga. Jika tidak, keluarganya terancam kelaparan dan menjadi tunawisma.
Pengalaman tragis juga menimpa janda beranak dua, Maryam. Ia dulu seorang petugas polisi. Berkat statusnya sebagai pegawai negeri sipil, meskipun sudah tidak bersuami, Maryam bisa memberi kehidupan yang relatif nyaman bagi anak-anaknya. Setelah berkuasa kembali, Taliban mengincar perempuan-perempuan yang berkarier.
Maryam mengaku takut diciduk oleh Taliban. Akan tetapi, pada saat yang sama, ia tetap harus menafkahi anak-anaknya. ”Saya memakai burkak agar tidak ada yang melihat wajah saya, lalu duduk di pojok jalan. Dulu saya polisi, sekarang saya pengemis,” katanya. (AFP)