Anak Perempuan Tidak Boleh Bersekolah, Dunia Bisa ”Berpaling” dari Afghanistan
Rakyat Afghanistan membutuhkan bantuan pembangunan segera. Akan tetapi, sikap Taliban yang mengucilkan perempuan menjadi batu sandungan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Bank Dunia mengumumkan membekukan empat proyek bantuan untuk Afghanistan senilai 600 juta dollar AS. Alasan penghentian adalah Taliban melarang remaja perempuan bersekolah. Bantuan akan kembali dialirkan apabila Taliban membuktikan mereka berkomitmen terhadap kesejahteraan perempuan dan anak-anak di Afghanistan.
Bantuan itu dikelola melalui Dana Perwalian Rekonstruksi Afghanistan (ARTF) yang dipantau oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ada empat sektor yang menjadi fokus, yaitu kesehatan, pendidikan, pertanian, dan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, mengingat Taliban pekan lalu menutup kembali akses remaja perempuan ke sekolah, Bank Dunia pada Selasa (29/3/2022) waktu AS atau Rabu (30/3/2022) WIB memutuskan untuk menghentikan sementara bantuan tersebut. Perwakilan AS juga batal bertemu dengan perwakilan Taliban di Doha, Qatar, pekan ini sebagai ungkapan protes atas tindakan Taliban kepada remaja perempuan.
Bantuan luar negeri sangat penting bagi Afghanistan. Sejak sebelum Taliban merebut pemerintahan pada Agustus 2021, sebanyak 70 persen anggaran pemerintahan negara ini berasal dari sumbangan internasional. Sejak Taliban berkuasa, mayoritas dana yang disimpan di bank-bank AS dibekukan atas perintah Presiden AS Joe Biden. Ia kemudian mengatakan, setengah dari dana itu akan dijadikan tunjangan ganti rugi untuk para keluarga korban tragedi 11 September 2001. Keputusan ini dikecam berbagai pihak, terutama publik Afghanistan yang menuding Biden mencuri dari rakyat miskin.
Kekuasaan Taliban disalahkan sebagai penyebab kian terpuruknya masyarakat Afghanistan. Data PBB menunjukkan, dari 40 juta rakyat Afghanistan, 22 juta orang mengalami kemiskinan parah. Keadaan ini diperburuk dengan kemarau panjang yang mengakibatkan gagal panen. Saking miskinnya warga, anak-anak terpaksa putus sekolah. Bahkan, ada orangtua yang menjual anak demi ditukar dengan makanan.
Mengucilkan perempuan dan anak dari akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sudah pasti akan membawa Afghanistan semakin terperosok kemiskinan. (Yamini Mishra)
Pekan lalu, secercah harapan tampak menghampiri anak-anak Afghanistan. Taliban membuka kembali SMP dan SMA untuk perempuan. Sejak tahun 2019, sekolah-sekolah di negara ini memang banyak yang tutup karena masalah putus sekolah yang tinggi. Akan tetapi, kekuasaan Taliban per Agustus 2021 juga membuat perempuan kehilangan akses pendidikan dan pekerjaan.
Taliban mengatakan, perempuan kelas VI ke atas boleh bersekolah ataupun berkuliah selama kelas mereka dipisah dari laki-laki. Pekan lalu, ketika remaja perempuan kelas VI hingga XII baru beberapa jam menikmati kembali ke bangku sekolah, Taliban mengubah keputusan. Anak-anak ini dipulangkan dan sekolah ditutup kembali. Taliban beralasan, kurikulum pendidikan saat ini belum sesuai dengan nilai-nilai yang dianut Emirat Islam Afghanistan.
”Taliban memakai hukum Islam dan adat Afghanistan sebagai dalih. Padahal, ini murni karena mereka belum mengakui persamaan hak perempuan dan anak. Mengucilkan perempuan dan anak dari akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sudah pasti akan membawa Afghanistan semakin terperosok kemiskinan,” kata Direktur Amnesty International Asia Selatan Yamini Mishra kepada media Afghanistan, Tolo News.
Tidak hanya dana dari Bank Dunia, Inggris juga menangguhkan sumbangan sebesar 286 juta pound sterling yang rencananya disalurkan melalui lembaga-lembaga nirlaba internasional. Menteri Urusan Pemberdayaan Persemakmuran dan Global Inggris Tariq Mahmood Ahmad kepada Sky News menuturkan, Inggris tetap menginginkan agar hak untuk hidup layak rakyat Afghanistan terpenuhi. Akan tetapi, ada syarat bagi Taliban selaku penguasa de facto agar menjamin terpenuhinya segala hak tersebut.
Sementara itu, Wakil Perdana Menteri Taliban Abdul Salam Hanafi bertemu Direktur Program Pembangunan PBB (UNDP) Achim Steiner dan Kepala Misi PBB untuk Afghanistan (UNAMA) Deborah Lyons di Kabul. Mereka membahas rencana pemberian bantuan untuk rakyat dan cara penyalurannya, termasuk persyaratan mengenai pendidikan bagi perempuan.
”Kami bersedia bersikap transparan dalam penyaluran bantuan. Lembaga-lembaga internasional silakan berkoordinasi dengan kementerian terkait di dalam Emirat Islam Afghanistan,” ujarnya kepada kantor berita nasional Bakhtar.
Pada saat yang sama, Menteri Luar Negeri Taliban Amir Khan Muttaqi tengah berada di Tianxi, Provinsi Anhui, China, untuk bertemu perwakilan-perwakilan dari AS, Rusia, Pakistan, Iran, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Pertemuan itu dipandu Utusan Khusus China untuk Afghanistan Yue Xiaoyong. Ini pertemuan pertama antara perwakilan AS dan Rusia di tengah gejolak perang antara Rusia dengan Ukraina sejak 24 Februari lalu.
Dalam wawancara dengan South China Morning Post, pakar kajian Asia Selatan Universitas Fudan, Lin Minwang, menjelaskan bahwa pertemuan ini penting bagi keberlangsungan China. ”Beijing berusaha menjadi mediator antara Taliban dan AS serta terus membujuk AS supaya mau mencairkan dana milik Afghanistan yang mereka tahan. Sebagai gantinya, Taliban berjanji tidak membiarkan organisasi teroris maupun kelompok separatis Turkmenistan Timur yang beroperasi di Xinjiang tumbuh di dalam Afghanistan,” paparnya. (Reuters)