Menkeu AS Janet Yellen berkeliling dunia untuk meminta banyak negara, agar menekan harga minyak Rusia. Ini permintaan aneh, seakan pasar minyak dunia dikendalikan oleh AS dan dunia harus menuruti.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·5 menit baca
Ketika DR Nouriel Roubini memprediksi resesi besar perekonomian AS pada 7 September 2006, ia sebut tiga faktor utama. Pertama adalah sektor perumahan AS yang bagai gelembung, kenaikan harga minyak dunia, dan kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS.
Anirvan Banerji, pembicara tandingan dalam pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) itu, menghardik keras Roubini. “Saya bisa katakan, Anda tidak akan memenangkan kontes popularitas dengan meramalkan resesi. Jika Anda mengambil risiko, Anda lebih baik memiliki keberanian mempertahankan keyakinan Anda,” kata Banerji bernada meremehkan. Entah bagaimana pamor Banerji saat ekonomi AS benar-benar meletus parah pada 16 September 2008 diikuti Eropa pada 2009.
Sepanjang 2022 Roubini dengan pamor yang meroket sejak krisis 2008 itu kembali berkisah soal ramalan tentang resesi keras yang juga segera mendera AS. Anirvan Banerji dan Lakshman Achuthan, sama-sama pendiri Economic Cycle Research Institute (ECRI), kini muncul dengan nada serupa. “Saatnya siap-siap menghadapi resesi,” demikian tulisan mereka berdua di situs CNN, 26 Mei 2022. Opinion: It's time to prepare for a recession - CNN
Akar resesi berikutnya, kata Roubini adalah peredaman inflasi lewat kenaikan suku bunga. Inflasi AS meninggi menjadi 9,1 persen akibat stimulus 3,9 triliun dollar AS di puncak covid-19. Namun kenaikan suku bunga akan menaikkan beban bunga utang negara, rumah tangga, dan utang korporasi zombie. Utang pemerintah AS pada 2021 sebesar 28,4 triliun dollar AS, naik dari 12,6 triliun AS pada 2008.
Di samping itu ada kenaikan harga minyak dan komoditas global lainnya yang merupakan pajak tak langsung bagi rumah tangga. Gambaran lesu juga terjadi di sektor perumahan AS. Penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2013, Robert J Shiller, pada 7 Agustus 2022 mengatakan, “Kita memiliki banyak variabel yang mungkin pertanda menuju resesi.” Ada sentimen negatif di sektor perumahan.
Kelesuan sektor perumahan yang juga mengandalkan utang, juga pembeli rumah yang mengandalkan utang, semakin terbebani dengan beban bunga AS yang kini 2,25 – 2,5 persen. Ada sementara kesan peredaan inflasi di AS, turun dari 9,1 persen pada Juni menjadi 8,5 persen pada Juli 2022. Angka itu masih tinggi. Presiden Bank Sentral (The Fed) Chicago, Charles Evans, Rabu (10/8), mengatakan The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga ke level 3,75 – 4 persen di akhir 2023.
Kelesuan sektor riil ekonomi akibat kenaikan suku bunga akan ditambah lagi dengan badai dari sektor keuangan, termasuk lewat kejatuhan indeks saham dan pasar utang seperti obligasi. Pasar uang diduga akan turut melesu karena kenaikan suku bunga.
Sinyal resesi akan muncul juga bisa dilihat dari kurva inversi yield (imbal hasil) investasi obligasi. Secara empiris keuntungan investasi jangka panjang dalam bentuk obligasi lebih besar dari investasi dalam bentuk obligasi berjangka pendek. Kecenderungan sekarang ini memperlihatkan keuntungan investasi dari obligasi jangka pendek lebih tinggi dari obligasi jangka panjang.
Ruang fiskal sempit
Jika pada resesi 2008 The Fed memasok uang murah untuk mencegah resesi lebih dalam, kini hal itu sulit. Uang murah akan memicu inflasi yang sudah tinggi dan bisa menjadi tak terkendali. Gubernur The Fed Jerome Powell pada 27 Jui menegaskan, “Memang pahit jika resesi terjadi, tetapi tetap lebih baik menaikkan suku bunga ketimbang inflasi tak terkendali.” Otoritas moneter AS pasrah akan resesi, walau resesi berikutnya dikatakan tergolong ringan.
Roubini menegaskan, “Jangan bertaruh dengan resesi ringan, resesi berikutnya lebih parah. Penyebab resesi berikutnya memiliki kombinasi akar resesi 1970-an berupa inflasi tinggi dan 2008 berupa tumpukan utang.”
Mantan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown yang pernah menjabat Menteri Keuangan, di harian The Guardian, 6 Agustus 2022, sudah memperingatkan. Kemiskinan akan menyebabkan sekelompok generasi yang tidak akan bisa pulih akibat efek resesi. Ia mendesak pemerintah Inggris segera menyusun anggaran untuk menolong kelompok yang terpukul.
Bagaimana dengan Asia?
Saat meramalkan Malaise 2008, Roubini mengatakan Asia yang dinamis juga tidak akan bebas dari efek malaise di AS. Perekonomian global akan turut terkena efek resesi AS lewat sektor perdagangan. AS pengimpor sebesar 13 persen dari total impor dunia pada 2008. Porsi impor AS pada 2021 tetap serupa, yakni 13 persen berdasarkan data Bank Dunia.
Ketika ekonomi AS terkontraksi -2,6 persen pada 2009, setahun setelah resesi meletus, perekonomian dunia juga terkontraksi -1,3 persen. Perekonomian China yang tumbuh 9,7 persen pada 2008 hanya tumbuh 9,4 persen pada 2009. Perekonomian Indonesia yang tumbuh 6 persen, turun menjadi 4,6 persen dalam periode serupa.
Pada 2006 itu, Roubini memang mengatakan ekonomi Asia akan turun pertumbuhannya walau tidak sekeras di AS. Kali ini Roubini juga tidak melihat perbedaan dengan situasi 2008. Benar, perekonomian Asia tidak memiliki masalah akut ekonomi seperti AS dan Eropa, sehingga kejatuhan ekonomi tidak lebih parah. Ini senada dengan prediksi Bank Dunia, IMF, dan Bank Pembangunan Asia.
Geopolitik
Meski demikian, Roubini melihat faktor geopolitik akan sama-sama membebani negara mana saja di dunia. Ia melihat kenaikan harga minyak pada dekade 1970-an karena perang Arab-Israel. Isu Timur Tengah terus menghantui dengan efek berupa kenaikan harga minyak pada dekade-dekade berikutnya.
Faktor geopolitik kini meluas. Ada invasi Rusia ke Ukraina, yang oleh Presiden Vladimir Putin disebut sebagai perang proksi melawan AS. Ada kegentingan AS versus China terkait Taiwan. Tentu benih ketegangan di Timur Tengah belum sirna. “Saya sangat mengkhawatirkan efek geopolitik,” kata Roubini kepada Bloomberg pada 21 Juni 2022.
Ada efek sanksi ekonomi AS dan Eropa terhadap Rusia. Sanksi itu dibalas Rusia dengan mengurangi pasokan gas dan minyak ke Eropa, walau terbuka kemungkinan akan dipulihkan kembali. Putin juga telah menyusun daftar negara-negara yang dianggap tidak ramah terhadap Rusia.
Menkeu AS Janet Yellen berkeliling dunia untuk meminta banyak negara, agar menekan harga minyak Rusia. Ini permintaan aneh, seakan pasar minyak dunia dikendalikan oleh AS dan dunia harus menuruti. Terbaru, ada penekenan Chips and Science Act oleh Presiden Joe Biden pada 9 Agustus. Tujuannya adalah mengurangi ketergantungan pasokan chips dari Taiwan dan China. Ini nenggambarkan, akan ada potensi gangguan terhadap rantai pasok global (global supply chain). Tidak bisa diduga langkah disruptif apa lagi yang akan terjadi di tengah pertarungan tiga kekuatan geopolitik dunia; AS, China dan Rusia.
Sekarang adalah era dimana dunia tidak mengindahkan globalisasi. Kolumnis The Guardian, Larry Eliot pada 7 Agustus 2022 menuliskan, “Pudarnya kerja sama global akan membuat krisis berikutnya lebih parah dari 2008.”
Namun demikan, sejauh ini bisa dikatakan, Asia tetap dinamis dengan janji China yang tidak akan mengganggu rantai pasok global. Asia memiliki pemerintahan yang lebih solid secara keuangan dan juga penduduk muda energik, beda dengan AS dan Eropa yang menua. (REUTERS/AP/AFP)