Pembawa Damai dari Muara Nil
Meski tidak mau berdamai dengan Israel, Hamas dan sejumlah kelompok bersenjata Palestina mau gencatan senjata. Mesir berperan besar dalam mencari kesepakatan gencatan senjata itu.
Jika ada yang lebih rapuh dari kaca tipis, gencatan senjata antara kelompok bersenjata Palestina dan Israel adalah salah satunya. Kerja amat keras dibutuhkan untuk menjaga kerapuhan itu agar tidak pecah itu. Dipercaya hampir semua pihak di Israel dan Palestina, Mesir memainkan peran sebagai pengantar perdamaian selama puluhan tahun.
Peran Mesir kembali terbukti pada 7 Agustus 2022. Delegasi yang dipimpin Mayor Jenderal Mayor Jenderal Ahmed Abdelkhaliq menengahi pertempuran Israel dengan Jihad Islam. Hanya butuh kurang dari 24 jam lawatan ke Israel dan Gaza, rombongan Abdelkhaliq bisa meyakinan para pihak mencapai gencatan senjata.
Menjelang Minggu tengah malam, Israel dan Jihad Islam menyetujui gencatan senjata. Meski rapuh dan bisa hancur kapan saja, gencatan senjata itu kembali memberi kesempatan penduduk Gaza bebas dari serangan udara Israel.
Baca juga: Gencatan Senjata Setelah Tiga Hari Saling Serang
Bukan kali ini saja Mesir sukses mendorong gencatan senjata di Gaza. Perang 11 Hari pada Mei 2021 bisa berhenti karena negara di muara Sungai Nil itu mengirim tim untuk meyakinkan Hamas dan Israel berhenti saling serang. ”Peran Mesir amat penting dalam mengakhiri hampir semua perang Israel-Gaza,” kata mantan diplomat senior Mesir yang menjadi peneliti ahli pada United States Institute of Peace (USIP), Hesham Youssef.
Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden juga mengakui peran sentral Mesir dalam perdamaian Israel-Palestina. Padahal, Biden mengecam Presiden Mesir Abdel Fattah El Sisi selama masa kampanye pemilu Amerika Serikat 2020. Kala itu, Biden menyebut Sisi sebagai diktator favorit Presiden AS 2017-2021 Donald Trump. ”Tidak ada lagi cek kosong untuk diktator favorit Trump,” ujarnya pada masa kampanye pemilu.
Perang 11 Hari pada Mei 2021 membuat Biden dua kali menelepon Sisi. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyebut Mesir sebagai mitra nyata dan mangkus yang membantu mengakhiri perang Gaza.
Diplomasi senyap
Kairo selalu mengumumkan kala mengirimkan delegasi ke Israel dan Palestina. Meski demikian, menurut Youssef, Kairo bisa mendorong gencatan senjata secara relatif cepat karena gabungan berbagai faktor.
Alih-alih mengecam satu pihak, Mesir fokus bekerja dalam senyap untuk meyakinkan pihak-pihak agar segera menghentikan kekerasan. Diplomasi senyap memungkinkan para pihak merasa dihargai dan tidak dipojokkan secara terbuka. Meski tetap butuh perantara, ruang dialog tetap terbuka karena diplomasi senyap dan ulang alik Mesir menjaga saluran komunikasi Israel-Palestina tetap terbuka.
Kairo berkomunikasi dengan Ramallah, Tel Aviv, Gaza, hingga Doha. Meski kuat di Gaza, kepemimpinan Hamas memang dikendalikan dari Doha, Qatar.
Faktor tidak kalah penting adalah kepercayaan Palestina pada Mesir. Sejak masa mendiang Presiden Gamal Abdel Nasser, orang Palestina sudah percaya pada Mesir. Apalagi, Nasser berperan amat besar dalam membentuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Nasser dan para utusannya meyakinkan berbagai kelompok Palestina agar mau mengesampingkan perbedaan internal dan memusatkan energi untuk memerdekakan Palestina. Gelora kepercayaan pada Mesir semakin menggelegak karena berkali-kali negara itu berperang dengan Israel.
Di sisi lain, Mesir juga dipercaya Tel Aviv karena menjadi negara Arab pertama yang berdamai dengan Israel. Kairo membuat keputusan berani kala negara-negara Arab masih menganggap Tel Aviv sebagai musuh. Padahal, seperti negara Arab lain, Mesir juga berpuluh tahun berperang dengan Israel. Meski pernah memimpin Mesir berperang dengan Israel, mendiang Presiden Anwar Sadat memutuskan Kairo berdamai dengan Israel. ”Menjadi penengah membutuhkan kepercayaan dari kedua belah pihak,” kata peneliti Arab Gulf States Institute di Washington, Kristin Diwan.
Baca juga: Anak-anak Tewas dalam Serangan Israel, Jenderal Mesir Datangi Gaza
Meski pengaruhnya melemah di kawasan, Mesir tetap punya ikatan sejarah, politik, dan kebudayaan yang terbentuk sejak dahulu.
Mesir dipercaya kedua belah pihak di Israel dan Palestina. Sementara negara Arab lain tidak punya aras kepercayaan itu dari kedua belah pihak. Palestina percaya pada Jordania, sementara Israel tidak terlalu percaya. Adapun kepercayaan Palestina kepada Uni Emirat Arab tergerus setelah Abu Dhabi meneken Kesepakatan Abraham dengan Tel Aviv pada Agustus 2020. Hal serupa dialami negara Arab lain yang meneken kesepakatan itu. ”Meski pengaruhnya melemah di kawasan, Mesir tetap punya ikatan sejarah, politik, dan kebudayaan yang terbentuk sejak dahulu,” kata Diwan.
Kairo memahami kebutuhan Hamas, Jihad Islam, atau kelompok lain di Palestina. Mesir juga paham kebutuhan Israel. Secara tidak langsung, Israel menyediakan alat tawar tinggi kepada Mesir.
Atas alasan keamanan, Tel Aviv memagari seluruh perbatasan Gaza dengan wilayah lain yang diduduki Israel. Karena itu, masuk dan keluar Gaza hanya bisa melalui pintu-pintu yang disediakan Israel atau Mesir. Secara berkala, dan kerap kali mendadak, Israel menutup pintu-pintu itu.
Sementara Mesir hampir tidak pernah menutup perbatasan dengan Gaza. Akibatnya, aneka kebutuhan Gaza dipasok melalui Mesir. Kondisi itu membuat Kairo bisa menjadikannya sebagai alat tawar dengan faksi-faksi di Palestina. Kairo bisa meminta faksi-faksi itu memilih akses tetap terbuka dengan imbalan kebutuhan Mesir dipenuhi oleh faksi-faksi itu. ”Kebijakan Mesir pada Hamas sangat pragmatis dari dulu,” kata analis Al Ahram Centre for Political and Strategic Studies di Kairo, Ahmed Kamel al-Beheiri.
Peneliti Council for Foreign Relations, Robert Danin, berpendapat senada. Posisi geografis dan perjanjian damai dengan Israel membuat Mesir bisa menjadi penengah bagi Israel-Palestina.
Kepentingan
Danin mengatakan, ada banyak kepentingan internal Mesir sehingga Kairo menjadi penengah. Paling pokok, ketegangan apa pun di Gaza akan berdampak pada Mesir. ”Kairo dalam posisi sulit kalau kekerasan di Gaza dibiarkan. Kairo akan dianggap tidak peduli pada Palestina, padahal posisinya paling dekat,” katanya.
Karena itu, stabilitas Gaza adalah kepentingan Mesir dan Kairo akan melakukan berbagai hal untuk mewujudkan stabilitas itu. Bahkan, Mesir tetap setuju meski para pihak bertikai tidak kunjung berdamai. Setidaknya, mereka mau mematuhi gencatan senjata.
Baca juga: Gencatan Senjata di Gaza Masih Rapuh
Hamas tidak mau berdamai dengan Israel. Walakin, Hamas dan sejumlah kelompok bersenjata Palestina bersedia untuk gencatan senjata. Mereka menyebutnya sebagai tahdiya atau ketenangan.
Kairo tidak mau dianggap membiarkan aneka senjata dan bahan baku bom melintasi Rafah menuju Gaza. Anggapan itu bukan perkara citra tidak becus semata. Anggapan itu bisa membuat Mesir kehilangan bantuan keamanan 1,3 miliar dollar AS per tahun dari Washington. AS setuju memberi bantuan sebesar itu sebagai imbalan atas peran Mesir menjaga kestabilan kawasan.
Dibandingkan kucuran dana Washington ke Tel Aviv, yang bisa melebihi 5 miliar dollar AS per tahun untuk sektor pertahanan saja, memang dana ke Kairo lebih kecil. Meski demikian, bantuan itu tetap berarti dan Mesir tidak mau kehilangan uang itu.
Ia berharap, para pemimpin Israel-Palestina melihat lagi aspirasi kawasan dan global. Mereka harus lebih serius memikirkan cara mengakhiri penderitaan rakyat mereka. ”Tanpa ada perubahan paradigma di kalangan pemimpin mereka, kekerasan akan terus berlanjut,” ujarnya.
Meski mendapat banyak uang, bukan berarti Mesir suka konflik Palestina-Israel berkepanjangan. Youssef menyebut, bangsa-bangsa di sekitar kedua negara itu sudah lelah dengan konflik tanpa henti dan ingin terobosan. Sementara, para pemimpin Israel-Palestina menganggap konflik sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Hal itu tecermin pada kebijakan dan tindakan mereka yang terus menolak mencari terobosan. ”Status quo Palestina-Israel sangat rentan dan tidak berkelanjutan. Kami seperti menjadi pemadam kebakaran saja. Setiap kali gencatan senjata berakhir, perdamaian semakin menjauh,” tuturnya. (AFP/REUTERS)