Kementerian Luar Negeri selesai memproses laporan 70 WNI korban perdagangan manusia di Kamboja. Mereka dipulangkan ke Indonesia secara bertahap.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR, DARI PHNOM PENH, KAMBOJA
·3 menit baca
PHNOM PENH, KOMPAS — Pemerintah Indonesia memulangkan 12 warga negara korban tindak pidana perdagangan orang atau TPPO pada Jumat (5/8/2022). Kasus mereka akan dilanjutkan penanganannya di Tanah Air guna memastikan semua orang yang terlibat sindikat kejahatan internasional ini menerima ganjaran setimpal.
”Total ada 70 kasus TPPO di Kamboja yang sudah diverifikasi oleh Kementerian Luar Negeri. Semua sudah bisa direpatriasi, tapi memang ada masalah pemesanan tiket pesawat, jadi pemulangannya bertahap,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi di Phnom Penh, Kamboja, Kamis (4/8/2022). Ia berbicara di sela-sela pertemuan para menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Pada hari yang sama, Retno bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Kamboja Sar Kheng. Imigrasi dan kepolisian di Kamboja berada di bawah kementerian tersebut. Retno menyampaikan 70 kasus TPPO yang telah diverifikasi. Selain itu, Kemenlu juga menerima 49 laporan terbaru yang menunggu verifikasi.
Dalam pertemuan itu, Sar Kheng menerima permohonan Indonesia untuk tidak mendenda para korban. Mereka semua sejatinya tinggal lebih lama dari izin yang ditentukan, yaitu 30 hari. Berhubung mereka berstatus korban TPPO, denda tidak dipungut.
Ia juga berjanji membantu menyelidiki dan menindak para pelaku yang berada di dalam yurisdiksi Kamboja. Laporan terbaru sebanyak 49 kasus ini diyakini merupakan gunung es karena para korban mengaku, di Sihanoukville saja, jumlah warga negara Indonesia ada ratusan. Harus ada penyelidikan yang lebih luas dan dalam untuk memastikan situasi ketenagakerjaan di sana.
Retno mengatakan, Indonesia sudah menyerahkan naskah nota kesepahaman kepada Kamboja mengenai pencegahan dan penindakan sindikat kejahatan internasional. Nota ini yang rencananya menjadi payung hukum. ”Kalau perlu, nanti kami buat aturan turunan khusus mengenai TPPO,” tuturnya.
Segi imigrasi juga memerlukan koordinasi antarpemerintah. Pengakuan para korban, ketika mendarat di Bandara Phnom Penh, mereka tidak melewati konter imigrasi. Mereka dijemput oleh agen dan dibawa melewati pintu keluar khusus. Oleh sebab itu, Retno menekankan perlu adanya jaringan imigrasi antarnegara untuk bisa mengenali tanda-tanda TPPO sehingga bisa dilakukan pencekalan.
Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha mengatakan, 12 korban yang dipulangkan ini semua perempuan. Begitu tiba di Indonesia, para korban akan didampingi oleh Kementerian Sosial dan Polri. Mereka yang akan menangani kasus dan menegakkan hukum untuk para pelaku di Tanah Air.
Selain itu, Kemenlu juga akan melakukan pencegahan melalui pendidikan masyarakat agar tidak tergiur tawaran pekerjaan di luar negeri tanpa melakukan penelusuran lebih mendalam. ”Kami menemukan pola, pekerjaan ini ditawarkan melalui media sosial, diberi iming-iming gaji tinggi dalam mata uang asing, tidak diminta kualifikasi kerja ataupun latar belakang pendidikan, tidak mensyaratkan pengurusan visa kerja, dan tidak ada nama ataupun kontak resmi perusahaan,” ujar Judha.
Dari segi repatriasi, Judha menerangkan prosesnya mungkin tampak berbelit-belit bagi publik. Pemerintah memang harus memastikan setiap pelapor memenuhi persyaratan sebagai korban TPPO. Kemenlu belajar dari kasus 15 WNI di Laos yang mengaku korban TPPO. Setelah dipulangkan, ternyata 11 dari mereka beberapa bulan kemudian kembali ke Laos dan bekerja di sektor ilegal yang serupa dengan sebelumnya.
”Mereka ternyata hanya tidak puas dengan tempat kerja sebelumnya dan ingin dipulangkan gratis sehingga mengaku sebagai korban TPPO. Maka sekarang Kemenlu benar-benar memastikan para WNI ini korban,” kata Judha.
DR, salah satu korban TPPO, mengatakan, ia sudah menjalani dua kali wawancara dengan kepolisian Kamboja yang didampingi Kedutaan Besar Indonesia di Phnom Penh. Ia juga sudah mengikuti tes psikologis. ”Saya sudah memberi keterangan nama-nama agen di Indonesia ataupun WNI di Kamboja yang terlibat ’menjual’ saya ke perusahaan yang tidak sesuai dengan iklan lowongan pekerjaan,” ujarnya.