Jumlah penduduk dunia yang bermigrasi akibat dampak perubahan iklim terus meningkat. Hal ini menunjukkan, perubahan iklim yang tidak dapat dicegah akan membahayakan kelangsungan hidup manusia.
Oleh
PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar umat manusia telah menyaksikan perubahan pola dan intensitas cuaca serta perubahan iklim yang tidak bisa diprediksi. Beberapa pakar menilai, jika hal itu terus berlanjut, peradaban manusia terancam.
Iklim memburuk, sebagian dipicu oleh pembakaran batubara, telah membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal di sejumlah negara, termasuk India dan China. Kebakaran hutan di kota-kota di Amerika dan Australia; naiknya air laut yang membawa banjir rob di beberapa negara kepulauan, termasuk di Indonesia; serta kekeringan yang memperburuk konflik di Afghanistan dan beberapa negara Afrika juga menyebabkan banyak orang kehilangan tempat tinggal.
Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), seperti dilaporkan Associated Press, pekan lalu, menyebutkan, bencana alam membuat rata-rata 21,5 juta orang di dunia meninggalkan rumahnya per tahun. Ilmuwan memperkirakan migrasi yang dipicu oleh semakin panasnya bumi bakal terus meningkat di banyak negara, mulai dari Asia, Australia, Eropa, Afrika, hingga Amerika.
Perubahan iklim telah menyebabkan gelombang migrasi yang besar setiap tahun. Bahkan, Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim memperkirakan, selama 30 tahun ke depan bakal ada 143 juta orang mengungsi akibat naiknya air laut, kekeringan, suhu panas, dan bencana iklim lainnya. Celakanya, para pemimpin dunia belum menyadari adanya migran iklim dan menemukan cara untuk membantu mereka.
Bank Dunia dalam laporan beberapa tahun lalu juga memprediksi, sekitar 143 juta orang terpaksa bermigrasi pada tahun 2050 karena perubahan iklim. Ancaman itu nyata karena pada tahun 2019, puluhan juta orang telah mengungsi di 140 negara karena bencana terkait perubahan iklim.
Siapa sebenarnya migran akibat perubahan iklim atau migran iklim (climate migrant) itu? Sebagian besar mereka bergerak di dalam negeri sendiri. Biasanya mereka berpindah atau bermigrasi dari daerah perdesaan ke kota atau desa lainnya setelah kehilangan rumah dan atau mata pencarian akibat kekeringan, naiknya air laut, dan bencana perubahan iklim lain.
Namun, mengingat kota-kota juga menghadapi masalah serupa, termasuk suhu ekstrem dan kelangkaan air, orang-orang itu terpaksa melarikan diri ke luar negeri untuk mencari perlindungan. Hanya saja mereka tidak diberi status pengungsi di bawah Konvensi Pengungsi 1951. Konvensi hanya memberikan perlindungan hukum kepada orang-orang yang melarikan diri dari penganiayaan karena ras, agama, golongan, dan kebangsaan, serta masalah sosial dan politik tertentu.
Para ahli PBB menyebutkan, mengidentifikasi migran iklim tidak mudah, terutama di daerah yang penuh dengan kemiskinan, kekerasan, dan konflik. Kondisi iklim memperburuk kemiskinan, kejahatan, dan ketidakstabilan politik, serta memicu ketegangan atas sumber daya yang semakin berkurang dari Afrika hingga Amerika Latin. Sampai sekarang tak ada negara yang menawarkan suaka bagi migran iklim.
Sering kali perubahan iklim diabaikan sebagai penyebab orang-orang meninggalkan tanah air mereka. Menurut UNHCR, 90 persen pengungsi di bawah mandatnya berasal dari negara-negara di garis depan darurat iklim. Di El Salvador, banyak orang pergi dari desa setiap tahun karena gagal panen akibat kekeringan atau banjir. Saat bermigrasi ke kota, mereka menjadi korban kekerasan geng dan melarikan diri dari negaranya.
”Memang sulit untuk mengatakan seseorang pindah hanya karena perubahan iklim. Apakah setiap orang yang meninggalkan Honduras setelah badai adalah migran iklim?” tanya Elizabeth Ferris, profesor riset di Institut Studi Migrasi Internasional di Universitas Georgetown.
Ia menambahkan, penting bagi pemerintah untuk mengidentifikasi orang-orang yang mengungsi akibat perubahan iklim.
Walau tidak ada negara yang menawarkan suaka kepada migran iklim, UNHCR telah menerbitkan pedoman hukum pada Oktober 2020. Pedoman itu membuka pintu untuk menawarkan perlindungan kepada orang-orang yang kehilangan tempat tinggal akibat efek pemanasan global. Dikatakan, perubahan iklim harus dipertimbangkan dalam skenario tertentu ketika bersinggungan dengan kekerasan.
UNHCR mengakui, perlindungan sementara mungkin tidak cukup jika suatu negara tidak dapat memperbaiki situasi bencana alam, seperti naiknya air laut. Orang-orang yang terkena dampak lebih sering menjadi telantar setelah tempat asal mereka dianggap tidak layak huni.
Namun, banyak negara juga menjadi tempat yang aman bagi para migran iklim. Pada Mei, Argentina membuat visa kemanusiaan khusus untuk orang-orang Meksiko, negara-negara Amerika Tengah, dan Karibia yang telantar akibat bencana alam untuk membiarkan mereka tinggal selama tiga tahun.
Presiden AS Joe Biden juga sudah memerintahkan penasihat keamanan nasionalnya untuk melakukan studi guna mengkaji pilihan bagi perlindungan dan pemukiman kembali individu yang dipindahkan secara langsung atau tidak langsung akibat perubahan iklim. Satuan tugas telah dibentuk, tetapi sejauh ini pemerintah belum mengadopsi program semacam itu.
Bangladesh, yang terletak di dataran rendah dan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk negara pertama yang mencoba beradaptasi dengan realitas baru migrasi. Upaya dilakukan untuk mengidentifikasi kota-kota tahan iklim tempat orang-orang yang mengungsi karena kenaikan permukaan laut, erosi sungai, badai siklon, dan intrusi air laut dapat pindah untuk bekerja.
Setelah ratusan juta orang diperkirakan terusir dari rumahnya karena bencana alam yang dipicu perubahan iklim, muncul diskusi tentang bagaimana mengelola arus migrasi daripada menstopnya. Sebab, menurut para pejuang hak asasi manusia, migrasi bagi jutaan orang itu akan menjadi cara untuk bertahan hidup.
”Masalahnya, kurangnya pemahaman tentang bagaimana iklim memaksa orang untuk pindah,” kata Amali Tower, pendiri dan Direktur Eksekutif Pengungsi Iklim, kelompok advokasi yang fokus pada peningkatan kesadaran tentang orang-orang yang terlantar karena perubahan iklim. ”Kita harus mendekati perpindahan iklim sebagai masalah keamanan manusia dan bukan masalah keamanan perbatasan.” (AP/REUTERS/AFP)