Berevolusi Bersama Bumi
Dibandingkan sejarah panjang Bumi, manusia adalah penghuni baru. Namun, manusia telah membawa kehancuran luar biasa yang kini membawa planet ini pada ancaman kepunahan massal keenam.
Bumi terus berevolusi, demikian juga penghuninya. Dan, perubahan iklim di masa lalu telah memengaruhi sejarah migrasi manusia, bahkan berkontribusi terhadap kemunculan manusia modern (Homo sapiens) sekitar 300.000 tahun yang lalu. Kini, di tengah perubahan iklim yang kembali terjadi, keberlangsungan spesies manusia di Bumi kembali diuji.
Perubahan konstan telah menjadi ciri Bumi sejak awal terbentuknya sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu. Kombinasi antara energi panas dan gravitasi secara bertahap membentuk planet Bumi ini hingga membentuk tempatyang bisa mendukung kehidupan paling awal sekitar 3,7 miliar tahun lalu.
Bentuk kehidupan paling awal itu adalah organisme mikroskopis atau mikroba yang bisa hidup tanpa oksigen. Jejak organisme ini ditemukan di lapisan bebatuan keras ”stromatolit”, yang ditemukan di beberapa belahan Bumi.
Hingga sekitar 2,4 miliar tahun lalu, salah satu mikroba itu, yaitu cyanobacteria atau ganggang biru-hijau,berevolusi dengan melakukan fotosintesis pertama di Bumi. Mereka membuat makanan menggunakan air dan energi Matahari, dan sebagai hasilnya melepaskan oksigen yang menjadi unsur kehidupan.
Mikroba yang berupa sel tunggal tanpa organel dan tanpa inti untuk mengemas DNA terus berevolusi dan mulai hidup di dalam mikroba lain. Mereka berevolusi menjadi organisme bersel kompleks (multiseluler). Sel-sel ini juga mulai hidup secara kolektif, dengan setiap bagian melakukan pekerjaan tertentu, sebagian ditugaskan membuat sambungan untuk menyatukan kelompok, sementara sel lain membuat enzim pencernaan yang dapat memecah makanan.
Kelompok sel khusus yang bekerja sama ini akhirnya menjadi hewan pertama, yang menurut bukti DNA berevolusi sekitar 800 juta tahun yang lalu. Spons (sponges)—faunayang hidup di laut—sebagai salah satu hewan paling awal. Butuh ratusan jutaan tahun lagi untuk kemudian terbentuk beragam fauna laut, dan kemudian mulai mentas ke daratan, hingga Bumi melahirkan berbagai spesies, termasuk keluarga Homo (manusia).
Sejak awal Revolusi Industri, manusia telah menjadi kontributor utama krisis lingkungan di Bumi. Kerusakan itu mulai dari emisi gas rumah kaca dan penipisan ozon hingga penggundulan hutan yang memicu suhu Bumi memanas 1,1 derajat celsius.
Sekitar 700.000 tahun lalu, spesies manusia purba, Homo heidelbergensis, mulai memperluas habitatnya. Beberapa ilmuwan berpikir bahwa spesies ini mungkin telah memunculkan banyak spesies lain di seluruh dunia, termasuk Homo neanderthalensis di Eurasia dan kemudian Homo sapiens di Afrika sekitar 300.000 tahun lalu. Baru sekitar 70.000 tahun lalu, sebagian leluhur kita akhirnya keluar dari Afrika (out of Africa) sehingga menyebar ke berbagai penjuru Bumi dan membentuk ribuan kelompok etnis.
Para ahli paleoantropologi, ilmuwan yang mempelajari evolusi manusia, mengajukan berbagai gagasan tentang bagaimana kondisi lingkungan telah mendorong kelahiran hingga perkembangan manusia. Beragam spesies muncul selama evolusi manusia ini, dan serangkaian adaptasi terakumulasi dari waktu ke waktu, termasuk kemampuan berjalan tegak, kapasitas untuk membuat alat, pembesaran otak, pematangan yang berkepanjangan, munculnya perilaku mental dan sosial yang kompleks, dan ketergantungan pada teknologi untuk mengubah lingkungan.
Para ilmuwan menemukan bahwa kemunculan, evolusi, bahkan kepunahan makhluk hidup di Bumi bertepatan dengan perubahan iklim global, termasuk pendinginan dan pemanasan. Hal ini, misalnya, ditunjukkan dalam riset terbaru Axel Timmermann, fisikawan iklim di Pusan National University di Korea Selatan dan tim yang terbit di jurnal Nature pada 13 April 2022. Di situ disebutkan, penyebaran Homo heidelbergensis sekitar 700.000 tahun lalu terjadi saat kondisi iklim Bumi lebih basah yang disebabkan orbit Bumi yang lebih elips.
Kondisi Goa Liang Bua di Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Rabu (9/6). Di goa ini pernah ditemukan fosil manusia kerdil Homo floresiensis dan di desa-desa sekitarnya hingga saat ini masih bisa dijumpai manusia (Homo sapiens) pendek, namun riset oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menunjukkan tidak ada keterkaitan genetik di antara keduanya.
Sementara itu, Riset Eva KF Cha, ahli genomik dari Garvan Institute of Medical Research, Australia dan tim (Nature, 2019) menunjukkan, kemunculan Homo sapiens di sekitar sistem danau purba Makgadikgadi—sekitar Botswana saat ini— 300.000 tahun lalu dipicu perubahan iklim dan lingkungan. Sebelum muncul manusia modern, danau itu mengering karena pergeseran lempeng sehingga menciptakan lahan basah luas dan menjadi ekosistem paling produktif penopang kehidupan.
Siklus pengeringan berikutnya, akibat musim dingin vulkanik yang dipicu erupsi Supervolcano Toba sekitar 74.000 tahun lalu, memicu penyebaran leluhur manusia modern ini ke berbagai penjuru dunia. Efek pendinginan global ini disebabkan lapisan tebal aerosol sulfat yang melapisi atmosfer hingga bertahun-tahun setelah erupsi.
Sedimen, artefak batu, serta fosil flora dan fauna di berbagai situs telah merekam bahwa Bumi setidaknya pernah lima kali mengalami pemusnahan massal spesies. Kepunahan massal pertama itu terjadi sekitar 440 juta tahun lalu pada periode ketika organisme seperti karang dan brakiopoda bercangkang memenuhi perairan dangkal dunia. Perubahan iklim—yang masih diperdebatkan pemicunya—menyebabkan suhu laut berubah, dan sebagian besar kehidupan di lautan mati.
Baca juga : Bumi Alami Kepunahan Massal Keenam Keanekaragaman Hayati
Berikutnya, kepunahan massal juga terjadi pada 365 juta tahun lalu, 253 juta tahun lalu, 201 juta tahun lalu, dan terakhir terjadi 65 juta tahun lalu, yang memusnahkan dinosaurus. Siklus pemunahan massal ini selalu disertai perubahan iklim yang dipicu beragam faktor, mulai dari tumbukan meteor, perubahan posisi Bumi terhadap matahari, hingga letusan supervolcano.
Semua penyebab pemusnahan massal masa lalu ini terjadi karena dinamika Bumi dan tata surya. Kini kehidupan di planet ini kembali terancam kepunahan massal. Namun, berbeda dengan sebelumnya, ancaman kepunahan massal kali ini karena faktor antropogenik atau akibat ulah manusia, terutama sejak Revolusi Industri, sekitar 1850.
Tak terbantahkan lagi, sejak awal Revolusi Industri, manusia telah menjadi kontributor utama krisis lingkungan di Bumi. Kerusakan itu mulai dari emisi gas rumah kaca dan penipisan ozon hingga penggundulan hutan yang memicu suhu Bumi memanas 1,1 derajat celsius, hingga pencemaran plastik dan ekstraksi sumber daya alam yang telah memusnahkan beragam spesies.
Padahal, dibandingkan sejarah evolusi Bumi dan spesies-spesies lain, manusia adalah penghuni baru. Namun, sependek umur manusia ini ternyata membawa kehancuran luar biasa. Maka, memperingati Hari Bumi 2022 yang jatuh pada Jumat, 22 April, kita harus bertransformasimenjadi lebih bertanggung jawab untuk bersama-sama menyelamatkan satu-satunya rumah kita ini.
Baca juga : Perubahan Pola Hujan di Jakarta dalam Seabad dan Implikasinya