10 Bulan Buntu Menetapkan PM dan Presiden, Irak Masuki Tahap Berbahaya
Sudah 10 bulan pascapemilu, elite politik di Irak gagal menetapkan presiden dan perdana menteri. Mereka mulai melancarkan pengerahan massa guna mencapai tujuan politik. Krisis politik Irak terbesar dalam beberapa tahun.
BAGHDAD, MINGGU — Sudah dua hari ini, Minggu (31/7/2022), massa pendukung ulama Syiah Irak, Moqtada al-Sadr, menduduki gedung parlemen Irak. Dalam pernyataan singkat yang dilansir kantor berita Irak, INA, gerakan Sadr menegaskan tidak akan meninggalkan parlemen. Ini untuk kedua kalinya dalam sepekan mereka menguasai gedung parlemen.
”Para pengunjuk rasa mengumumkan akan terus melakukan aksi duduk hingga ada pemberitahuan lebih lanjut,” demikian pernyataan gerakan Sadr.
Perkembangan ini merupakan kelanjutan kemelut dan kebuntuan politik di ”Negeri Seribu Satu Malam” pascapemilu Oktober 2021. Hampir 10 bulan pascapemilu, faksi-faksi politik di Irak gagal mencapai kompromi guna membentuk pemerintahan.
Baca juga : Faksi Sadr Unggul dalam Pemilu Irak, Blok Syiah Tuding Ada Rekayasa
Kubu Sadr menempati peringkat teratas dalam pemilu Oktober 2021 dengan memperoleh 73—kantor berita Reuters menyebut 74 kursi—dari 329 kursi di parlemen. Namun, perolehan itu masih jauh dari cukup untuk membentuk pemerintahan. Butuh perolehan kursi 50 persen plus 1 atau 165+1 kursi bagi partai politik untuk mengajukan calon perdana menteri (PM).
Sebelum pemilihan PM, langkah penting lainnya adalah menetapkan presiden. Dibutuhkan dukungan dua pertiga kursi mayoritas di parlemen untuk menetapkan presiden. Namun, partai-partai politik di negara itu gagal mewujudkan koalisi mayoritas.
Akibat kebuntuan politik tersebut, praktis sudah sekitar 10 bulan Irak belum memiliki presiden dan PM hasil pemilu Oktober 2021. Ini periode kebuntuan terlama, yang berakibat pada kekosongan kekuasaan, sejak invasi AS tahun 2003. Selama ini posisi PM dijabat sementara oleh Mustafa al-Kadhimi, sedangkan presiden oleh Barham Salih.
Situasi di Irak saat ini merupakan kemelut politik cukup kompleks yang berulang kali muncul di negara multietnik setelah tumbangnya rezim Saddam Hussein tahun 2003. Seperti diketahui, setelah tumbangnya rezim Saddam, AS bersama pimpinan partai politik yang terbentuk di Irak saat itu sepakat membagi tiga jabatan puncak negara, yaitu kursi PM untuk kaum Syiah sebagai mayoritas di Irak, kursi presiden untuk kaum Kurdi, dan kursi ketua parlemen untuk kaum Sunni.
Meski memperoleh kursi terbanyak, kubu Sadr gagal menggalang koalisi untuk membentuk pemerintahan tanpa mengikutsertakan para rivalnya dari partai-partai Syiah pro-Iran. Selain tak mampu meyakinkan kubu lain di parlemen, Sadr terganjal dalam upaya mengajukan calon presiden dan PM akibat keputusan pengadilan federal.
Kubu Sadr bersaing dengan kubu Kerangka Kerja Koordinasi, aliansi partai-partai Syiah pro-Iran pimpinan mantan PM Nouri al-Maliki dan pemegang kendali sayap paramiliter. Meski sama-sama berbasis pendukung Syiah, Sadr menganut haluan yang berbeda dari rival mereka. Sadr memilih posisi mereka yang netral antara Iran dan AS atau, dengan kata lain, tidak pro-Iran meski juga tidak pro-AS.
Baca juga : Pemilu Irak, Pertarungan Kubu Netral Vs Pro-Iran
Setelah gagal membentuk pemerintahan, partai Sadr menarik mundur 74 anggotanya pemegang kursi di parlemen. Sadr menyatakan menarik diri dari negosiasi pembentukan pemerintahan. Pengunduran diri itu membuat kursi-kursi yang ditinggalkan kubu Sadr diambil alih aliansi Kerangka Kerja Koordinasi. Aliansi ini mengajukan calonnya, Mohammed Shia al-Sudani, sebagai kandidat PM.
Ultimatum Sadr
Kubu Sadr menolak mentah-mentah pencalonan Sudani. Sadr mengultimatum, jika parlemen tetap berusaha mengesahkan pemerintahan yang tidak disetujuinya, ia mengancam akan mengobarkan unjuk rasa massal. Sadr menegaskan, pemerintahan Irak harus bebas dari pengaruh dan campur tangan asing.
Ultimatum itu dibuktikannya lewat pendudukan gedung parlemen, Rabu (27/7/2022) dan Sabtu (30/7/2022). Pendukung Sadr menembus masuk Zona Hijau, lokasi gedung parlemen, kantor pemerintah, dan kantor-kantor kedutaan perwakilan asing yang dijaga ketat setelah merobohkan beton pembatas.
”Kami tidak ingin Sudani,” teriak Sattar al-Aliawi (47), pengunjuk rasa, merujuk pada calon PM Mohammed Shia al-Sudani yang diajukan kubu rival. Aliawi, yang juga aparatur sipil negara itu, menyatakan dirinya menolak ”pemerintahan korup dan tidak kapabel”.
Ia menyebutkan, selama unjuk rasa ini ia akan tidur di taman gedung parlemen. ”Rakyat menolak sama sekali partai-partai yang telah memerintah selama 18 tahun,” tambah Aliawi.
Baca juga : Gelombang Musim Semi Merambah Irak
”Kami akan terus bertahan hingga tuntutan kami dipenuhi. Kami punya banyak tuntutan,” ujar salah satu anggota tim politik Sadr saat dihubungi kantor berita Reuters melalui telepon. Gerakan Sadr menuntut pembubaran parlemen, pelaksanaan pemilu lagi, dan penggantian hakim-hakim federal.
Saat menduduki gedung parlemen, para pengunjuk rasa menduduki kursi-kursi anggota parlemen. Sebagian mereka mengabadikan pendudukan di gedung parlemen itu dengan telepon seluler. Di luar gedung, mereka mendirikan tenda besar sebagai pusat dan tempat koordinasi aksi. Para sukarelawan membagikan makanan dan minuman dalam botol kemasan kepada para pengunjuk rasa.
Para pengunjuk rasa itu datang tidak hanya dari Baghdad. Sebagian mereka berasal dari provinsi-provinsi lain. Selain mengibarkan bendera Irak dan mengangkat poster-poster wajah Sadr, mereka juga meneriakkan yel-yel anti-campur tangan negara-negara asing. Dalam konteks ini, ”negara asing” yang mereka maksud adalah Iran.
Berbeda dari pendudukan pada Rabu lalu, yang hanya berlangsung sekitar dua jam, kali ini pendudukan di gedung parlemen sudah memasuki hari kedua. Sempat terjadi bentrokan antara massa pengunjuk rasa dan aparat keamanan, Sabtu. Kementerian Kesehatan Irak menyebutkan, sedikitnya 100 pengunjuk rasa dan 25 aparat keamanan terluka.
Taktik mobilisasi massa
Perkembangan ini memperlihatkan Sadr kembali menggunakan mobilisasi pendukung akar rumputnya sebagai taktik untuk menekan rival-rival politiknya. Taktik itu, termasuk menduduki gedung parlemen, pernah digunakan Sadr pada tahun 2016 pada masa pemerintahan PM Haider al-Abadi.
Ketua Parlemen Mohammed Halbousi memutuskan menunda seluruh persidangan hingga pemberitahuan berikutnya. Situasi di Irak saat ini memperlihatkan perkembangan yang mengkhawatirkan. Ketika mekanisme negosiasi politik buntu, dikhawatirkan faksi-faksi politik di Irak menggunakan bahasa pengerahan massa. Hal ini rentan memantik konflik dan bentrok jalanan serta kekerasan antaretnis.
Baca juga : Lahirnya Kekuatan Politik Generasi Muda Irak
Aliansi Kerangka Kerja Koordinasi, kumpulan partai-partai pro-Iran, telah menyerukan unjuk rasa tandingan yang damai guna mempertahankan negara. ”Perdamaian sipil adalah garis merah dan seluruh rakyat Irak harus bersiap mempertahankannya dengan segenap cara yang mungkin dilakukan dan damai,” demikian pernyataan mereka.
Sejumlah pejabat Syiah menyebutkan, pernyataan tersebut ditulis oleh mantan PM Nouri al-Maliki dan tokoh milisi Qais al-Khazali.
Sejauh ini kekerasan masih bisa diminimalisasi. Menurut Toby Dodge, peneliti pada Chatham House, ini memberikan sinyal bahwa tak satu pun dari faksi-faksi politik yang bersaing menginginkan adanya pertumpahan darah.
”Ada tiga pesan besar: Ini adalah panggung teater, tidak ada kekerasan (pada aksi Rabu), dan ini memang disengaja oleh kedua pihak,” kata Dodge. "Ini adalah pertarungan antarelite, tak ada hubungan dengan masyarakat luas. Para elite ini telah kehilangan legitimasi di kalangan masyarakat.”
Baca juga : Masa Depan Irak Pasca-Pemilu
Meski demikian, PBB dan Uni Eropa memperingatkan ancaman eskalasi ketegangan. Misi Bantuan PBB untuk Irak mengatakan, eskalasi yang sedang berlangsung benar-benar mencemaskan. Jubir Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengeluarkan pernyataan serupa dan menyerukan semua pihak untuk ”de-eskalasi situasi”.
”Sekretaris Jenderal mengimbau semua pihak dan para tokoh untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka dan, dengan jalan dialog damai dan inklusif, membentuk pemerintahan nasional yang efektif... tanpa ada penundaan lagi,” demikian pernyataan Guterres.
Penjabat PM Mustafa al-Kadhimi dalam pidato di televisi menyerukan kepada blok-blok politik untuk ”duduk bersama, bernegosiasi, dan mencapai kesepakatan”. Seruan ini juga disampaikan Hadi al-Ameri, pemimpin faksi paramiliter Hashed al-Shaabi pro-Iran. Melalui pernyataan, ia mengajak Sadr melakukan dialog serius guna mengatasi kebuntuan. Maliki juga menyatakan ingin berdialog dengan Sadr.
Tokoh Syiah lainnya, Ammar al-Hakim, yang tergabung dalam aliansi Kerangka Kerja Koordinasi, mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan bergabung dalam pemerintahan berikutnya. Ia menggemakan seruan Kadhimi dan menyerukan kepada kedua pihak untuk mewujudkan konsesi guna menghindari ”kerugian yang tergantikan di tanah air”.
Kemelut bakal panjang
Menurut pakar politik Universitas Baghdad, Ihsan al-Shammari, di bawah tekanan Sadr, parlemen Irak saat ini bisa lumpuh. ”Bagian dari strategi Sadr adalah mengepung parlemen,” katanya. Selain menggelar aksi pendudukan parlemen, Sadr dinilai juga mampu melancarkan pembangkangan sipil.
Shammari menambahkan, menduduki parlemen ”baru langkah awal”. ”Pesannya jelas: Sadr dan para pendukungnya sudah siap melakukan lebih dari aksi itu,” ujarnya.
Guna mengatasi kemelut politik di Irak saat ini, baik kubu Sadr maupun Maliki sama-sama tidak bisa dikucilkan. Kedua kubu tersebut sama-sama telah ”menanamkan orang” di lembaga-lembaga pemerintahan. Saat menjabat PM hingga 2014, Maliki telah menempatkan para aparatur negara di lembaga-lembaga penting, termasuk pengadilan. Hal sama dilakukan Sadr yang berpuncak pada tahun 2018.
Di sisi lain, penunjukan Sudani sebagai kandidat PM oleh kubu Maliki dinilai juga menjadi bukti atas upaya Iran menyatukan faksi-faksi pro-Teheran dan mengubah kekalahan dalam pemilu Oktober 2021 menjadi titik balik dramatis. Dalam beberapa bulan terakhir, Komandan Garda Revolusi Iran Esmail Ghaani terlihat beberapa kali bertandang ke Baghdad.
Baca juga : Irak: Iran Langgar Kedaulatan Negara
Pada saat aksi pendudukan gedung parlemen, Rabu lalu, menurut seorang pejabat, Ghaani juga berada di Baghdad. Ia disebut menyerukan kepada para tokoh faksi pro-Iran agar tidak memprovokasi Sadr.
Kemelut politik di Irak diperkirakan masih akan panjang. Andai kata pun Maliki dan Sadr mampu menyelesaikan perbedaan-perbedaan mereka, masih ada pemain besar ketiga dalam politik Irak, yakni Kurdi. Dua faksi politik utama Kurdi, yaitu KDP dan PUK, juga terbelah. Mereka harus menyepakati dulu kandidat presiden. KDP sebelumnya beraliansi dengan Sadr, sementara PUK dengan Maliki. (AP/AFP/REUTERS)