Generasi muda yang menggerakkan aksi unjuk rasa besar-besaran pada Oktober 2019 mulai menjelma menjadi kekuatan politik di Irak setelah berhasil mendapat kursi cukup signifikan pada pemilu parlemen 10 Oktober 2021.
Oleh
Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir
·5 menit baca
Ada secercah harapan menuju negeri Irak yang lebih baik di tengah situasi karut-marut negeri itu sejak ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003. Kekuatan generasi muda yang menggerakkan aksi unjuk rasa besar-besaran pada Oktober 2019 mulai menjelma menjadi kekuatan politik dan berhasil mendapat kursi cukup signifikan pada pemilu parlemen 10 Oktober 2021.
Ada dua partai politik yang lahir dari gerakan unjuk rasa dan ikut berpartsipasi dalam pemilu parlemen, yaitu Harakah Imtidad (Gerakan Membentang) dan Ishraq Kanoon (Oktober Bersinar). Dua partai politik itu meraih 15 kursi dari 329 kursi parlemen, yakni Harakah Imtidad 9 kursi dan Ishraq Kanoon 6 kursi.
Perolehan 15 kursi kedua partai itu merupakan kejutan besar dan sebuah prestasi politik karena mereka belum memiliki pengalaman dalam dunia politik dan baru ikut berlaga pada pemilu parlemen kali ini. Harakah Imtidad dan Ishraq Kanoon yang sama-sama berbasis kaum Syiah didirikan pada awal tahun 2020. Harakah Imtidad didirikan oleh seorang apoteker, Alaa al-Rikabi.
Kedua partai politik didirikan dengan misi dan visi mengusung aspirasi para pengunjuk rasa Oktober 2019 agar perjuangan mereka tidak hanya dalam bentuk perjuangan jalanan dengan menggelar berbagai aksi unjuk rasa saja, tetapi harus masuk parlemen dan pemerintahan. Inilah yang membuat Alaa al-Rikabi mengambil inisiatif membentuk partai politik pada awal 2020 atau hanya beberapa bulan setelah berkobarnya aksi unjuk rasa Oktober 2019 yang juga disebut ”musim semi” Arab di Irak.
Musim semi Arab adalah gerakan revolusi rakyat Arab pada 2011 di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah yang berhasil menumbangkan rezim diktator di Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman. Harakah Imtidad dan Ishraq Kanoon, meskipun berbasis kaum Syiah, tidak mengusung ideologi etnik dan mazhab agama.
Dua partai politik itu mencita-citakan negeri Irak sebagai negara bangsa yang modern tanpa sekat-sekat etnis dan mazhab agama serta ditegakkannya keadilan dan bebas dari praktik korupsi. Maka, keduanya bisa menjadi kekuatan politik alternatif di Irak saat ini dan masa mendatang.
Para pengunjuk rasa pada Oktober 2019 memimpikan perubahan revolusioner atas sistem politik di Irak pasca tahun 2003 yang berpijak pada landasan sektarian, etnik, dan mazhab agama. Sistem politik itu bukannya membawa negeri Irak ke arah lebih baik, tetapi sebaliknya negeri yang memiliki dua sungai itu, sungai Tigris dan Euphrate, malah semakin terpuruk. Elite politik baru yang berkuasa di Irak pasca tahun 2003 terlibat praktik korupsi secara luas.
Presiden Irak Barham Salih dalam wawancara dengan stasiun televisi Al Jazeera pada pertengahan September lalu mengungkapkan, sedikitnya 150 miliar dollar AS uang negara lenyap akibat praktik korupsi dan dibawa kabur ke luar negeri sejak 2003. Adapun komite transparansi di parlemen memperkirakan uang yang dikorupsi sejak tahun 2003 sekitar 350 miliar dollar AS atau 32 persen dari pendapatan nasional Irak selama 18 tahun terakhir ini.
Pelayanan umum di Irak juga sangat buruk, seperti pengadaan listrik dan air bersih yang sangat minim. Padahal, Irak dikenal negeri yang memiliki kekayaan air paling melimpah di Timur Tengah berkat dua sungai besar yang mengalir melintasi negeri itu.
Kondisi politik di Irak semakin karut-marut akibat partai-partai politik menjelama menjadi geng-geng politik yang memiliki milisi-milisi bersenjata. Hal itu membuat generasi muda negeri itu menjadi putus asa dan merasa tidak memiliki masa depan. Inilah yang memaksa mereka, khususnya generasi muda dari komunitas Syiah yang merupakan mayoritas di Irak, turun ke jalan dengan menggelar unjuk rasa besar-besaran, menuntut perubahan.
Generasi muda Irak harus membayar mahal dalam perjuangan di jalanan itu karena sekitar 600 pengunjuk rasa tewas dan ribuan lainnya luka-luka akibat bentrok dengan milisi-milisi bersenjata pendukung partai politik yang berkuasa. Ini yang memaksa perdana menteri Irak saat itu, Adel Abdul Mahdi, mengundurkan diri pada awal Desember 2019 dan kemudian ditunjuk Mustafa al-Kadhimi sebagai PM baru pada Mei 2020.
Gerakan unjuk rasa dengan korban cukup besar itu yang menjadi cikal bakal lahirnya kekuatan politik sipil. Keputusan sejumlah tokoh unjuk rasa membentuk partai politik itu bertolak dari sikap pragmatis sejumlah tokoh itu yang memandang mustahil mengubah tatanan politik mapan yang lahir pasca 2003 di Irak.
Maka, pilihannya adalah menerima solusi kompromi dengan membentuk partai politik dan berlaga dalam pemilu yang rutin digelar setelah 2003 untuk berjuang masuk parlemen dan pemerintahan serta kemudian menggerakkan perjuangan dari parlemen.
Pilihan sejumlah elite pengunjuk rasa itu menyebabkan perpecahan di kalangan mereka karena sebagian elite yang lain menolak masuk sistem politik yang ada dan memilih memboikot pemilu. Aksi boikot itu berandil atas kecilnya partisipasi rakyat dalam pemilu parlemen 10 Oktober 2021 yang hanya sekitar 43 persen saja.
Meski ada perpecahan, tetap ada upaya agar tarus dibangun komunikasi dan koordinasi antarpara elite pengunjuk rasa sebagai kekuatan politik baru di Irak dengan membagi peran antara perjuangan di dalam dan luar parlemen. Bagi Harakah Imtidad dan Ishraq Kanoon yang memilih ikut pemilu, ada tiga skenario opsi perjuangan.
Pertama, partai Harakah Imtidad berusaha tidak hanya berada di parlemen, tetapi juga mencoba membentuk pemerintahan dengan melakukan komunikasi dengan para anggota parlemen terpilih dari kubu independen yang memiliki sekitar 35 kursi dan partai poltik lain untuk membentuk kaukus politik dengan kursi terbanyak di parlemen (50 persen+1 atau 165 kursi).
Kedua, bergabung dengan koalisi Saairun pimpinan Moqtada al-Sadr yang meraih 72 kursi dan memiliki peluang terbesar membentuk kaukus politik dengan kursi terbanyak di parlemen. Harakah Imtidad dan Ishraq Kanoon bersama koalisi Saairun dan partai politik lain bisa bersama-sama membentuk pemerintahan. Jika skenario ini terjadi, Harakah Imtidad dan Ishraq Kanoon bisa mendapat jatah di kabinet dan dapat memudahkan perjuangan mereka jika ikut memegang kekuasaan.
Ketiga, Harakah Imtidad dan Ishraq Kanoon menjadi oposisi dan berjuang dari forum parlemen. Skenario ini bisa menjadi pilihan jika gagal membentuk kaukus politik dan tidak bergabung dengan koalisi Saairun.
Apa pun skenario yang dipilih, para pengunjuk rasa pada Oktober 2019 kini telah memiliki kekuatan politik resmi. Mereka akan semakin kuat jika terbangun koordinasi dengan kekuatan yang memboikot pemilu dan berada di luar sistem politik di Irak.