Faksi Sadr Unggul dalam Pemilu Irak, Blok Syiah Tuding Ada Rekayasa
Meski meraih kursi terbanyak, faksi Al-Sadr butuh 165 kursi atau 50 persen + 1 kursi untuk dapat menunjuk perdana menteri baru Irak. Mereka harus membangun koalisi dengan partai lain untuk membentuk pemerintahan.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Unjuk rasa besar-besaran di Irak pada Oktober 2019, yang disebut Musim Semi Arab di Irak sebagai protes atas terpuruknya kondisi ekonomi di negara itu, membawa dampak cukup besar pada hasil pemilu parlemen kelima Irak hari Minggu lalu.
Hasil sementara pemilu parlemen yang disampaikan komite tinggi independen pemilu Irak, Senin (11/10/2021) malam, setelah penghitungan sekitar 94 persen surat suara, menunjukkan bahwa faksi Al-Sadr pimpinan Moqtada al-Sadr yang beraliran Syiah nasionalis unggul dengan meraih 73 kursi dari 329 kursi parlemen. Disusul partai Taqoddum (Kemajuan) pimpinan Mohamed al-Halbousi yang berbasis Sunni 38 kursi, faksi Negara Hukum yang berbasis Syiah pimpinan Nouri al-Maliki 37 kursi, Partai Demokrat Kurdistan pimpinan Masoud Barzani 32 kursi, koalisi Kekuatan Negara pimpinan Ammar al-Hakim dan Haider al-Abadi 20 kursi, serta Gerakan Koalisi Oktober 20 kursi.
Kantor berita Irak, INA, memberitakan, koalisi Al-Fatah pimpinan Hadi al-Amiri yang dikenal sangat pro-Iran mengalami kerugian besar dengan hanya memperoleh sekitar 14 kursi. Padahal, pada pemilu parlemen tahun 2018 koalisi Al-Fatah menduduki posisi kedua dengan meraih 48 kursi.
Koalisi Al-Fatah juga dikenal memiliki sayap militer yang disebut Hashid al-Shaabi yang kini praktis merupakan kekuatan militer terbesar kedua setelah angkatan bersenjata Irak.
Amiri dalam pernyataan yang disiarkan televisi pro-Iran di Baghdad, al-Aahd, menolak hasil pemilu Irak yang disebutnya ”direkayasa”. ”Kami tidak akan menerima hasil-hasil yang direkayasa ini, berapa pun harga (yang kami tanggung),” katanya, seperti dikutip dalam akun Telegram saluran televisi itu.
”Kami akan menempuh langkah banding atas hasil-hasil ini dan kami menolaknya,” demikian pernyataan bersama sejumlah partai Syiah, termasuk Aliansi Fatah dan partai pimpinan mantan PM Haider al-Abadi. ”Kami akan menempuh langkah-langkah yang ada guna mencegah manipulasi suara.”
Partisipasi terendah
Komite tinggi independen pemilu Irak juga menyampaikan persentase partisipasi pemilih dalam pemilu parlemen hari Minggu lalu hanya sekitar 41 persen atau terendah dalam sejarah pemilu parlemen Irak setelah ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003. Hasil final pemilu parlemen baru bisa diumumkan dalam kurun waktu dua pekan mendatang.
Segera setelah diumumkan hasil sementara pemilu parlemen itu, pemimpin faksi Al-Sadr, Moqtada al-Sadr, dan para pengikutnya merayakan kemenangan. Sadr melalui siaran stasiun televisi, Senin malam, menegaskan bahwa tidak ada pembagian kekuasaan yang merugikan rakyat Irak. Ia juga menyatakan, campur tangan dalam urusan Irak akan mendapat perlawanan rakyat dan diplomasi. Ia menyerukan agar senjata di tangan negara saja.
Sadr terakhir ini menolak keras pengaruh Iran ataupun AS yang besar di Irak. Ia juga mengkritik milisi-milisi bersenjata loyalis Iran di Irak.
Meski meraih kursi terbanyak, faksi Al-Sadr butuh 165 kursi atau 50 persen + 1 kursi untuk dapat menunjuk perdana menteri (PM) baru Irak. Namun, faksi Al-Sadr memiliki peluang terbesar sebagai faksi peraih kursi terbanyak untuk menunjuk PM Irak baru. Faksi Al-Sadr butuh membangun koalisi dengan partai lain untuk membentuk pemerintahan dan menunjuk PM baru.
Saudi senang
Media milik Arab Saudi menyambut hangat hasil pemilu parlemen Irak yang dimenangi kubu nasionalis Irak yang cenderung menjaga jarak dengan Iran. Berita utama harian Asharq Al-Awsat milik Arab Saudi edisi Selasa (12/10/2021) berjudul ”Kekalahan Telak Loyalis Iran dalam Pemilu Irak”.
Mengutip analis politik Irak yang tidak menyebut namanya, harian itu melansir, kaukus politik paling ideal di parlemen Irak yang bisa membentuk pemerintahan baru nanti adalah jika berintikan dari faksi Al-Sadr (73 kursi), partai Sunni Taqoddum (38 kursi), Partai Demokrat Kurdistan (32 kursi), dan Gerakan Oktober (20 kursi) yang orientasi geopolitiknya sama-sama menjaga jarak dengan Iran atau bisa disebut aliansi kontra Iran.
Sementara partai Negara Hukum pimpinan Nouri a-Maliki (37 kursi) hampir dipastikan sulit bergabung dengan kaukus di bawah faksi Al-Sadr karena hubungan pribadi sangat buruk antara Sadr dan Maliki. Selain itu, Negara Hukum dikenal cukup dekat dengan Iran, berbeda dengan faksi Al-Sadr yang menjaga jarak dengan Iran.
Bahkan, faksi Al-Sadr terakhir ini cukup dengan Arab Saudi. Sadr pada Juli 2017 mengunjungi kota Jeddah dan bertemu Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS). Sejak itu, MBS dan Sadr sering melakukan komunikasi, baik melalui telepon maupun saling mengirim utusan khusus. (AFP/REUTERS/SAM)