Dunia Meradang Setelah Junta Eksekusi Empat Aktivis Pro Demokrasi
Junta militer Myanmar mengeksekusi empat aktivis pro demokrasi dengan tuduhan melakukan tindakan teror terhadap warga dan militer. Kecaman bermunculan.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
NAYPYIDAW, SENIN – Junta militer telah mengeksekusi empat aktivis pro demokrasi yang dituding melakukan tindakan teror terhadap junta, mengorganisir perlawanan rakyat Myanmar terhadap junta. Dua di antara empat orang yang dieksekusi adalah tokoh demokrasi Kyaw Min Yu serta artis hip hop sekaligus anggota parlemen Phyo Zeya Thaw.
Kabar soal eksekusi mati itu dilaporkan surat kabar yang terafiliasi dengan junta militer Myanmar Global New Light of Myanmar, Senin (25/7/2022). Juru bicara junta militer Zaw Min Tun saat dikonfirmasi oleh Voice of Myanmar membenarkan tindakan tersebut. Meski begitu, Zaw Min Tun tidak menjelaskan kapan dan dimana lokasi eksekusi itu dilakukan.
Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG) mengutuk eksekusi tersebut dan menyerukan tindakan internasional terhadap junta yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing.
“Kami sangat sedih dan mengutuk kekejaman junta. Komunitas global harus menghukum junta karena kekejaman mereka,” kata Kyaw Zaw, juru bicara kantor Kepresidenan NUG.
Phyo Zeya Thaw, mantan anggota parlemen dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. Dia ditangkap oleh junta militer pada bulan November tahun lalu karena menyisipkan pesan-pesan antijunta dalam lirik lagu-lagu yang ditulisnya. Pengadilan militer menjatuhkan hukuman mati kepada Phyo Zeya Thaw pada Januari 2022 karena dinilai terbukti melanggar Undang-undang Antiterorisme.
Sementara Kyaw Min Yu atau lebih dikenal dengan panggilan Jimmy, merupakan aktivis prodemokrasi terkemuka sejak gerakan mahasiswa tahun 1988. Sempat menjalani tahanan penjara selama 15 tahun, Jimmy baru bebas pada tahun 2012 lalu.
Jimmy bersama beberapa orang aktivis prodemokrasi lainnya mendukung Gerakan Pembangkangan Nasional beberapa hari setelah kudeta militer dilakukan oleh junta pimpinan Jenderal Hlaing. Aparat keamanan menangkapnya pada akhir Oktober tahun lalu dan dia kemudia dijatuhi hukuman mati dengan alasan yang sama seperti Zeya Thaw.
Dua orang lainnya yang dieksekusi adalah Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw. Mereka dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang perempuan yang diduga sebagai informan junta di kalangan sipil dan aktivis prodemokrasi.
Juru bicara militer, Zaw Min Tun membela putusan yang dijatuhkan majelis hakim pengadilan militer terhadap keempat orang itu. menurut dia, hukuman mati dibenarkan dan masih digunakan di banyak negara. Selain itu, menurutnya, warga sipil menjadi korban akibat tindakan ke-empat terpidana mati tersebut.
"Setidaknya 50 warga sipil tak berdosa, tidak termasuk pasukan keamanan, tewas karena mereka. Bagaimana Anda bisa mengatakan hal ini sebagai ketidakadilan?," katanya dalam konferensi pers yang disiarkan televisi.
Sejak kabar eksekusi mati telah dilakukan terhadap keempat aktivis, anggota keluarga berkumpul di luar penjara Insein, Yangon. Mereka berharap bisa membawa pulang jenazah ke empatnya dan mengebumikannya dengan layak.
Thazin Nyunt Aung, istri Phyo Zeya Thaw, mengatakan dia belum diberitahu tentang eksekusi suaminya. Kerabat lainnya tidak dapat segera dihubungi untuk dimintai komentar.
Data Asosiasi Bantuan Tahanan Politik (AAPP) menyebut eksekusi yudisial terakhir Myanmar terjadi pada akhir 1980-an. Eksekusi sebelumnya di Myanmar dilakukan dengan cara digantung.
Kecaman Dunia
Tindakan junta yang mengeksekusi empat orang aktivis prodemokrasi dikecam banyak pihak.
Direktur regional Amnesty Internasional Erwin Van Der Borght menilai tindakan itu sebagai perampasan nyawa dengan sewenang-wenang. Apalagi keempatnya disidang dalam sebuah proses persidangan militer yang tidak transparan.
"Eksekusi ini merupakan perampasan nyawa secara sewenang-wenang dan merupakan contoh lain dari catatan hak asasi manusia Myanmar yang mengerikan. Keempat pria itu dihukum oleh pengadilan militer dalam persidangan yang sangat rahasia dan sangat tidak adil,” katanya. dia mendesak agar komunitas internasional bertindak nyata karena lebih dari 100 orang menghadapi ancaman hukuman yang sama oleh junta militer.
Organisasi Human Rights Watch yang berbasis di New York menyatakan eksekusi itu bertujuan untuk meredam gerakan protes anti-kudeta. dia mendesak agar negara-negara demokrasi dunia melakukan tindakan nyata terhadap junta.
"Negara-negara anggota Uni Eropa, Amerika Serikat, dan pemerintah lainnya harus menunjukkan kepada junta bahwa akan ada pembalasan atas kejahatannya. Mereka harus menuntut tindakan segera, termasuk pembebasan semua tahanan politik, dan membiarkan junta tahu bahwa kekejaman yang dilakukannya memiliki konsekuensi," kata Elaine Pearson, Direktur Asia HRW.
Sementara pelapor khusus PBB untuk Myanmar Tom Andrew menyatakan dukanya pada keluarga keempat terpidana mati.
"Hati saya tertuju pada keluarga, teman, dan orang-orang terkasih mereka dan tentu saja semua orang di Myanmar yang menjadi korban kekejaman junta yang meningkat," kata Andrews.
Richard Horsey, analis Myanmar pada Lembaga International Crisis mengatakan, eksekusi mati itu menutup peluang untuk menghentikan kekerasan dan perang saudara di Myanmar.
"Setiap kemungkinan dialog untuk mengakhiri krisis yang diciptakan oleh kudeta kini telah dihapus," kata Horsey kepada Reuters.
Dia menilai, eksekusi mati itu memperlihatkan bahwa junta tidak peduli dan tidak mendengarkan siapapun. (AP/AFP/Reuters)