Korupsi dan Nepotisme, Akar Kebangkrutan Sri Lanka
Korupsi dan nepotisme telah melumpuhkan ekonomi dan keuangan Sri Lanka, yang juga memicu polarisasi politik. Pandemi Covid-19 memperburuk keadaan.
Dinasti politik klan Rajapaksa yang berkuasa sekitar dua dekade di Sri Lanka akhirnya runtuh, 14 Juli 2022. Hal itu ditandai pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa setelah menjabat sejak 18 November 2019. Dia mundur dalam pelarian di Singapura setelah menyinggahi Maladewa pada 13 Juli menyusul demonstrasi yang mengusirnya dari istana presiden di Colombo, Sri Lanka, 9 Juli.
Kakak Gotabaya, Mahinda Rajapaksa, yang menjabat sebagai perdana menteri, telah lebih dahulu meletakkan jabatannya pada Mei 2022 akibat tekanan demonstrasi massa sejak awal April lalu. Massa demonstran kecewa atas pemerintahan klan Rajapaksa yang gagap mengatasi krisis ekonomi dan keuangan, yang menyebabkan polarisasi politik dan gejolak sosial skala luas.
Beban utang luar negeri Sri Lanka meningkat tajam, lebih dari dua kali lipat, dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2011, utang luar negeri masih sekitar 25 miliar dollar AS, tetapi saat ini telah mencapai 51 miliar dollar AS. Jumlah itu akan membengkak karena Sri Lanka gagal membayar bunga 7 miliar dollar AS, yang jatuh tempo pada 12 April 2022.
Baca juga : Presiden dan Perdana Menteri Sri Lanka Mundur
Sri Lanka berutang kepada kreditor negara, seperti India, China, Jepang, dan Bank Dunia, serta pemegang obligasi swasta. China, misalnya, adalah pemberi pinjaman bilateral terbesar, yang menyumbang lebih dari 10 persen utang luar negeri Sri Lanka. Rezim Gotabaya, selain gagal membayar bunga utang, juga tak bisa membeli/menyediakan barang dan jasa dasar.
Pariwisata, mesin penting pertumbuhan ekonomi negara, macet karena pandemi Covid-19. Mata uang rupee Sri Lanka anjlok hingga 80 persen, membuat negara itu tidak mampu membayar impor barang pokok. Situasi itu memperburuk inflasi yang sudah tidak terkendali, dengan inflasi makanan naik 57 persen, menurut data resmi yang dikutip Associated Press, 24 Juni lalu.
Cadangan devisa Sri Lanka yang dapat digunakan hanya 25 juta dollar AS sehingga tidak punya kemampuan membayar impor barang pokok untuk rakyatnya, seperti bensin, susu, elpiji untuk memasak, dan tisu toilet. Singkat kata, Sri Lanka bangkrut.
Akibatnya, 22 juta penduduknya menjerit kesulitan makanan dan pangan pokok, bahan bakar, obat-obatan, dan menderita pemadaman listrik secara bergilir dalam kondisi byarpet. Menurut Program Pangan Dunia PBB, 9 dari 10 keluarga mengurangi porsi makan atau berhemat untuk membantu orang lain yang sama sekali tanpa makanan.
Krisis ekonomi yang ditambah ketidakstabilan politik membuat lebih dari 10 persen penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Jutaan orang lagi kehilangan pekerjaan, tanpa perawatan kesehatan dan ketahanan pangan. Bank Dunia, akhir April 2022, mencatat, kemiskinan Sri Lanka meningkat dalam tiga tahun terakhir, naik 11,7 persen dari tahun 2019.
Baca juga : Sri Lanka: Politik Dinasti, Utang, dan Krisis Ekonomi
Sekarang ini Sri Lanka terbelit krisis multidimensi: krisis politik, ekonomi dan keuangan, hingga polarisasi politik, dan gejolak sosial yang luas. Rakyat yang putus asa pada akhirnya memberontak melawan pemerintah hingga klan Rajapaksa tumbang setelah hampir 20 tahun berkuasa.
Pertumbuhan
Bagaimana negara di Samudra Hindia itu sampai pada titik terendah atau bangkrut setelah hampir 75 tahun merdeka dari Inggris pada 4 Februari 1948? Bukankah negara ini bisa kuat, bangkit bertahan dari badai krisis yang hebat di masa lalu: bangkit dari tsunami 2004 yang menghancurkan dan perang saudara selama 25 tahun yang berakhir pada 2009?
Bank Pembangunan Asia (ABD) sebenarnya juga telah mendukung strategi kemitraan negara (CPS) bagi Sri Lanka untuk periode 2018-2022, berjumlah hingga 1 miliar dollar AS per tahun. Itu karena Sri Lanka menunjukkan proses peralihan menuju negara berpenghasilan menengah ke atas (UMIC).
Media The Diplomat, 22 Juni 2022, melaporkan bahwa kelas menengah Sri Lanka tumbuh semakin banyak mulai dekade 1970-an setelah negara membuka diri lebar-lebar untuk lebih banyak investasi dan perdagangan. Sejak itu, kelompok kelas menengah bertumbuh dengan mantapnya dan PDB per kapita melonjak lebih tinggi daripada banyak negara tetangganya.
Para ahli mengatakan, kelas menengah Sri Lanka, yang diperkirakan oleh para ahli berkisar 15 hingga 20 persen dari populasi perkotaan negara itu, sempat menikmati kenyamanan ekonomi. Menurut Reuters, PDB negara pada 2021 adalah 3,66 persen atau tumbuh 7,27 persen dari tahun 2020, setelah tiga tahun berturut-turut mengalami penurunan tajam.
Baca juga : Sri Lanka Terjepit China dan India
Jika perang saudara 25 tahun dan tsunami 2004 tidak mengguncang kelas menengah, kini krisis ekonomi dan keuangan mengejutkan mereka. Bhavani Fonseka, peneliti di Centre for Policy Alternatives di Colombo, mengatakan, ”Krisis ini benar-benar mendorong mereka ke dalam kesulitan yang tak pernah dialami sebelumnya,” katanya. Situasinya lebih buruk dialami kelas bawah.
Kompleks
Mark Malloch-Brown, Presiden Open Society Foundations, New York, AS, mengatakan, krisis ekonomi Sri Lanka mempunyai akar masalah yang sangat kompleks. Klan Rajapaksa telah mendominasi negara itu melalui rezim populis yang berpusat pada keamanan, tetapi terjerat salah urus ekonomi, korupsi, dan pelanggaran HAM saat menuntaskan perang saudara pada 2019.
Dia mengatakan, di bawah pemerintahan keluarga Rajapaksa (2005-2022), Sri Lanka telah menanggung serangkaian utang China. Itu ”termasuk untuk proyek Gajah Putih yang tidak menghasilkan banyak pendapatan” bagi Sri Lanka, tetapi investasinya tidak transparan kepada publik, sebagaimana ditulisnya di Foreign Policy edisi 25 Juni 2022.
Salah satunya adalah proyek pembangunan bandara dekat Hambantota, kampung halaman keluarga Rajapaksa, yang oleh majalah Forbes, 28 Mei 2016, disebut sebagai ”The World’s Emptiest International Airport”. Ketika pandemi Covid-19 melanda negeri itu, pemerintahan Gotabaya melanjutkan dengan pemotongan pajak besar-besaran dan itu memangkas pendapatan masyarakat yang terpuruk oleh kehancuran pariwisata, sektor andalan negara dan individu warga.
Para pakar politik dan ekonom menuding klan Rajapaksa salah urus selama bertahun-tahun. Itu terjadi akibat korupsi dan nepotisme di tubuh pemerintahan otokrasi dinasti politik keluarga Rajapaksa. Korupsi politik merupakan masalah besar. Tudingan itu dibantah Gotabaya. Namun, dia juga mengakui bahwa beberapa kebijakannya berkontribusi menyebabkan krisis.
Baca juga : Dihantam Krisis Ekonomi Terburuk, Sri Lanka Kian Bergantung pada Bantuan Asing
Media The Indian Express, 11 Juli 2022, menulis bahwa sejarah Sri Lanka dalam dua dekade pertama milenium baru sebagian besar adalah sejarah kebangkitan klan Rajapaksa. Naiknya kekuasaan klan Rajapaksa dimulai pada 2004, saat Mahinda diangkat menjadi perdana menteri oleh Presiden Chandrika Bandaranaike—keputusan yang kemudian disesali Presiden.
Begitu mendapat kekuasaan, Mahinda tak terbendung. Dia memenangi pemilihan presiden pada November 2005 dan membuat keputusan untuk melancarkan perang habis-habisan di Sri Lanka utara dan timur untuk menghabisi pemberontak Macan Tamil (LTTE). Adiknya, Gotabaya Rajapaksa, yang bertugas di angkatan darat ditunjuk sebagai menteri pertahanan.Kemenangan atas Macan Tamil pada 2009 memperkuat cengkeraman kekuasaan klan Rajapaksa. Sosok Mahinda dan Gotabaya ibarat dewa di mata komunitas mayoritas Sinhala karena membebaskan mereka dari teror LTTE bertahun-tahun. Mahinda lalu terpilih menjadi presiden dua periode dan merevisi konstitusi yang membatasi jabatan dua periode menjadi presiden seumur hidup.
Ambisi dinasti Rajapaksa bukanlah rahasia. Ketika Mahinda menjadi presiden untuk kedua kalinya, Gotabaya tetap menjadi menteri pertahanan. Bersama Mahinda, dia menjadi pusat kekuatan paralel, menggunakan kekuatan pengaruh dinasti klannya. Dalam pengawasannya, puluhan pengkritik pemerintah diculik, beberapa di antaranya hilang selamanya.
Sementara adik bungsu mereka, Basil Rajapaksa, menjadi menteri pembangunan ekonomi dan mengendalikan semua investasi di Sri Lanka. Chamal Rajapaksa, kakak tertua mereka, menjadi ketua parlemen. Namal Rajapaksa, salah satu putra Mahinda, menjadi anggota parlemen sejak 2010. Saat Gotabaya menjadi presiden pada November 2019, Basil menjadi menteri keuangan.
Baca juga : Sri Lanka Menanti Presiden Baru untuk Atasi Krisis Multidimensi
Pada suatu masa dalam pemerintahan klan Rajapaksa, menurut The Indian Express, diperkirakan ada 40 anggota klan Rajapaksa duduk di pusaran kekuasaan pemerintah pusat. Mereka umumnya menguasai sebagian besar keuangan pemerintah atau negara, yang ditangani secara tidak transparan. Di bawah mereka, kebebasan dikendalikan penuh.
”Jaringan nepotisme Rajapaksa sangat luas, dan tidak ada alasan untuk percaya bahwa pemerintahan Rajapaksa yang lainnya akan berperilaku berbeda,” kata Taylor Dibert, peneliti di Pacific Forum, lembaga peneliti kebijakan di Asia Pasifik yang didirikan tahun 1975.
Klan Rajapaksa dituduh korup terutama terkait beberapa proyek infrastruktur yang dibiayai dana pinjaman China yang kurang transparan. Pada masa Presiden Mahinda, China meningkatkan investasinya dengan sejumlah usaha, termasuk Bandara Internasional Mattala Rajapaksa dan pelabuhan laut pada 2008-2009 di dekat Hambantota, kampung halaman klan Rajapaksa.
Pelabuhan dan bandara Hambantota itu berfungsi sebagai titik koneksi penting bagi Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) China. Bandara akhirnya beroperasi pada 2013, dua tahun sebelum pemilihan presiden dilakukan. Dalam pilpres 2015, oposisi yang kuat bangkit melawan Mahinda dan kemarahan publik dikobarkan oleh lawan politiknya terkait proyek China.
Rival utamanya, Maithripala Sirisena, menarik banyak dukungan publik dengan menuduh Mahinda dan kroninya korup, merusak hubungan dengan India dan Barat, serta menjual masa depan negara itu kepada China. Saat itu, pinjaman infrastruktur besar di Bandara Mattala menghasilkan bunga tinggi, dan biaya untuk melunasi utang terkait bandara itu saja mencapai 17 juta dollar AS per tahun.
Baca juga : Dari Maladewa, Presiden Sri Lanka Akan Lanjutkan Pelarian ke Singapura
Sirisena menumbangkan Mahinda dalam pemilu 2015. Sirisena membatalkan banyak proyek yang didukung China di Sri Lanka. Bandara Mattala kemudian benar-benar mati. Pada 9 Desember 2017, Beijing mengambil alih pelabuhan Hambantota untuk masa konsesi 99 tahun setelah Colombo gagal mengembalikan 1,3 miliar dollar AS pinjaman dari Bank Exim China.
Kebangkitan spektakuler klan Rajapaksa pada 2019 menawarkan wawasan tentang kegigihan dinasti politik terbesar di Asia Selatan itu dan nepotisme yang paling berani. Setelah berkuasa lagi pada 2019, klan Rajapaksa ingin beralih ke pertanian organik. Gotabaya menawarkan larangan pupuk dan pestisida sintetis; membuat petani tidak siap dan menyebabkan penurunan produksi pertanian.
Evida Kartini, pemerhati Sri Lanka dari Universitas Indonesia, menilai, negara demokrasi liberal secara sistem politik dan ekonomi seharusnya memiliki sinergi untuk menghasilkan perkembangan. Pembangunan infrastruktur skala besar melalui mekanisme utang luar negeri tidak diimbangi dengan pertumbuhan kelas menengah pada masa kekuasaan klan Rajapaksa.
”Politik yang didominasi oleh dinasti politik keluarga, korupsi yang terjadi di tubuh pemerintahan (yang dikuasai klan Rajapaksa), pembangunan besar-besaran yang tidak diimbangi pertumbuhan kelas menengah dan industri baru, telah menyebabkan Sri Lanka terjebak utang yang besar,” kata Evida.
Presiden baru Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe, sebelum dipilih menggantikan Gotabaya mengatakan, tantangan pemerintah sangat berat. Dia berjanji memulihkan ekonomi dan keuangan negara dengan mencari bantuan dana talangan dari Dana Moneter Internasonal (IMF).
Kredibilitas dan kapabilitas Wickremesinghe dipertaruhkan. Rakyat menanti perubahan. Namun, tindakan aparat Wickremesinghe yang cenderung represif terhadap massa pengunjuk rasa yang menentangnya bisa membawa persoalan baru yang lebih besar bagi masa depan Sri Lanka. Bahkan mungkin keruntuhan negara itu. (AFP/AP/REUTERS)