Keinginan Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya membatasi harga minyak Rusia dan jumlahnya di pasaran, harus dicermati dan disikapi secara hati-hati. Efek kolateralnya bisa menghancurkan upaya pemulihan dari pandemi.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
Sekali lagi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat mencoba untuk meminggirkan Rusia dari arena perdagangan internasional. Rencana untuk menetapkan harga jual minyak dan jumlah minyak Rusia yang boleh dilepas ke pasar internasional adalah upaya baru mengurangi kemampuan Kremlin membiayai invasi mereka di Ukraina.
Belum jelas berapa harga minyak Rusia boleh diserap oleh pasar dunia dan berapa jumlah maksimal yang bisa dilepas ke pasaran. Usulan harga sementara sebesar 40-60 dollar AS per barel, jauh di bawah harga minyak dunia yang kini berkisar di atas 100 dollar AS per barel.
AS dan sekutunya menginginkan agar India dan China ikut serta dalam gelombang sanksi baru yang akan dijatuhkan pada Rusia. Akan tetapi, di luar keikutsertaan India dan China, pertanyaan besarnya apakah hal itu akan efektif atau sebaliknya, kontraproduktif?
Domino
Saat vaksin Covid-19 ditemukan dan mulai didistribusikan ke seluruh penjuru dunia, semua berharap kerusakan perekonomian yang timbul akibat virus SARS-CoV-2 pemicu pandemi segera berakhir. Walau pemulihan ekonomi global tidak akan mudah dan membutuhkan waktu, ada harapan untuk hidup lebih baik pascapandemi.
Namun, invasi Rusia ke Ukraina menyurutkan kembali harapan pemulihan yang sudah di depan mata. Agresi militer Rusia mendorong terhentinya ekspor gandum yang dibutuhkan banyak negara di Afrika dan Asia. PBB dan Program Pangan Dunia telah berulang kali mengingatkan, terhentinya pasokan gandum dari Ukraina telah membuat potensi kemiskinan meningkat. Begitu juga dengan potensi kelaparan akut di sebagian negara-negara Afrika yang miskin.
Secara tidak langsung, perang yang sebenarnya terlokalisasi di Eropa timur telah membuat harga-harga kebutuhan pokok global mengalami kenaikan. Harga gas, misalnya, telah meningkat lebih dari 30 persen dalam beberapa bulan terakhir. Ibu-ibu rumah tangga menjerit karena selain gas, harga kebutuhan pokok lainnya juga telah melonjak tajam.
Industri penghasil gas alam berlomba-lomba mengirimkan produk gas alam cair ke Eropa karena di sana kebutuhan sedang tinggi. Negara-negara kaya di Eropa berani membeli harga gas dengan tinggi karena terdesak kebutuhan jelang musim dingin, terutama setelah Rusia memutuskan mengurangi pasokan gasnya.
The Economist menyebutkan, dibanding kuartal pertama tahun lalu, pasokan gas Eropa naik hingga 70 persen. Kapal-kapal tanker pengangkut gas yang seharusnya mengarah ke Asia memilih berbelok ke Eropa karena konsumen gas di sana berani membeli dengan harga tinggi. Ketentuan Uni Eropa yang mewajibkan setiap negara anggota memiliki cadangan gas 80 persen dari kapasitas membuat tawaran harga di Benua Biru itu lebih menggiurkan dibanding harga di Asia atau benua lainnya.
Kenaikan harga bahan pokok juga dirasakan di Amerika Serikat. Indeks harga konsumen AS yang hampir mendekati dua digit membuat warga AS kembali mengantre di bank-bank makanan untuk mendapatkan jatah makanan gratis dari lembaga donor dan pemerintah. Michael Flood, CEO Bank Makanan Wilayah Los Angeles, mengatakan, awalnya mereka memperkirakan permintaan akan menurun pada 2022 karena ekonomi mulai pulih setelah banyak perusahan beroperasi kembali dan pegawai mendapatkan gaji yang layak.
Namun, yang terjadi sebaliknya. Antrean kembali memanjang karena harga bahan pangan tak terjangkau.
Ada yang menyebut, harga minyak dunia bisa mencapai 140 dollar AS per barel jika keinginan AS dan sekutunya membatasi peredaran minyak Rusia terwujud. Bahkan ada yang menyebut harga minyak bisa mencapai 200 dollar AS per barrel. Siapa yang akan menanggung ”kerusakan” akibat harga-harga kebutuhan pokok yang tidak terkendali? AS dan sekutunya? Tampaknya tidak. Hal yang mustahil untuk mengharap mereka menanggung dampak kenaikan harga itu.