Kebudayaan Ukraina sudah berumur lebih dari satu milenium. Berbagai bangunan dan patung merekam perjalanan panjang energi kreatif Ukraina selama belasan abad. Perang membuatpekerja seni Ukraina tidak bisa lagi berkarya
Oleh
KRIS MADA
·5 menit baca
Patung karya Pavlov Britov dipajang di halaman rumahnya di Desa Boromlya, Sumy. Sebagian patung itu dibuat kala pasukan Rusia menduduki desa itu pada Maret 2022. Britov membuat patung untuk menghapus kegelisahan dan mengatasi trauma akibat perang. Sebagian pasukan Rusia kerap mendatangani patung itu lalu berfoto di dekatnya.
Seperti banyak desa lain di Ukraina pada Maret 2022, Boromlya juga diduduki pasukan Rusia. Penduduk salah satu desa di Sumy, provinsi Ukraina yang berbatasan dengan Rusia, itu melakukan berbagai cara untuk mengelola ketakutan dan trauma akibat perang.
Penduduk desa yang terletak 30 kilometer di barat perbatasan Rusia-Ukraina itu antara lain ketakutan karena desa mereka menjadi sasaran pemboman Rusia. Sejumlah bangunan di desa itu hancur karena jadi sasaran serangan Rusia. Bahkan, sebagian penduduknya meninggal dan ada pula yang cidera selama pendudukan yang diikuti pengerahan aneka tank dan kendaraan perang itu.
Ditemui pada akhir Juni 2022, Pavlov Britov (58), menyebut perasaannya campur aduk selama pendudukan. Ia cemas karena melihat begitu banyak kendaraan perang Rusia di desanya. Ia juga gelisah karena harus berdiam terus di rumah. Biasanya, ia berkeling ke rumah pelanggan atau bekerja di bengkelnya.
Sebelum perang, ia menjadi pandai besi dan tukang kunci. Di sela pekerjaannya, ia mendatangi tempat pembuangan besi tua. Sebagian besi dibawa pulang dan menumpuk di gudang samping rumahnya. Aneka benda dari tempat pembuangan itu dibuatnya menjadi berbagai patung. Ada patung capung, laba-laba, hingga naga di rumahnya. “Istri saya tidak marah. Ia tahu, waktu kecil saya tidak punya mainan dan sekarang mau membuat mainan sendiri,” kata dia.
Di halaman depannya ada dua patung. “Banyak orang sengaja berhenti lalu berfoto di dekat patung-patung. Saya bahagia mereka senang dengan karya saya. Hampir semua orang itu tidak saya kenal dan baru saya lihat saat mereka mampir,” ujarnya.
Bukan hanya warga sipil berfoto dan bergembira dekat patungnya. Sebagian pasukan Rusia yang menduduki Boromlya juga berfoto dan bergembira dekat patung-patung Britov. Saat pertama kali mereka datang, Britov mengaku ketakutan. Apalagi, beberapa hari sebelumnya, Rusia membom dan menembaki sejumlah bangunan di desa itu.
Britov sudah berpikir macam-macam dan hanya bisa pasrah jika terjadi apa-apa. Ternyata, pasukan itu datang untuk berfoto lalu tertawa dan bercanda di depan patung-patungnya. “Rupanya mereka suka juga dengan karya saya. Makanya saya semakin yakin membuat lebih banyak lagi agar semakin banyak orang melihat lalu bahagia,” ujar pria yang tidak pernah punya pendidikan formal di bidang seni itu.
Pasukan Rusia berkali-kali mendatangi rumahnya gara-gara patung itu. Selama di rumahnya, mereka tertawa dan bercanda. “Hampir setiap orang menyukai karya seni dengan cara masing-masing. Seni adalah bahasa universal yang mudah dimengerti dan bisa membahagiakan siapa pun,” kata dia.
Ia sudah berbicara dengan pengurus desa soal patung-patungnya. Ia mau menyumbangkan sebagian patungnya untuk dipajang di salah satu taman desa. Semua biaya pembuatan dan pemasangan patung akan ditanggungnya sendiri. Ia tidak mau menerima uang dari karyanya. “Saya mendapat uang dari pekerjaan, bukan dari menjual patung,” ujarnya.
Kepala Desa Boromlya, Vasyl Romanika (65), menyebut bahwa perbaikan taman sebenarnya sudah direncanakan sejak sebelum perang. Anggaran sudah diusulkan kepada pemerintah Sumy. Sampai akhirnya perang meletus, rencana perbaikan tidak kunjung terwujud.Lukisan
Sementara George Gittoes (73) memilih Irpin sebagai lokasi berkarya. Seniman asal Sydney, Australia itu membuat lukisan dan menggalang pameran lukisan di kota yang berada di barat Kyiv tersebut. “Perang selalu melahirkan kengerian dan banyak tragedi. Krisis kemanusiaan serius selalu dihadirkan oleh perang di mana pun,” kata dia.
Di Irpin, ia antara lain menyelesaikan lukisan berjudul “Jembatan Kemanusiaan”. Lukisan pada kanvas setinggi 2 meter itu menggambarkan tumpukan mobil di atas jembatan. Lukisan itu dibuat di tempat yang disebut sebagai “Kuburan Mobil Korban Perang”.
Nama tempat itu memang sesuai kondisi harfiahnya. Di sana ada banyak bangkai mobil yang sebagian tertembus peluru dan sebagian lagi meleleh setelah terbakar akibat ledakan yang dipicu aneka jenis bom. Banyak mobil itu ditinggalkan pemiliknya di tengah jalan. Sebab, mobil-mobil itu mogok di tengah gelombang pengungsian warga Ukraina yang mencoba menghindari kengerian perang. Belakangan, mobil-mobil itu menjadi sasaran penembakan dan pemboman.
Jembatan yang direkam Gittoes juga banyak wujud nyatanya di berbagai penjuru Ukraina. Sejak perang meletus, banyak jembatan di Ukraina hancur karena disasar Rusia atau dihancurkan oleh pasukan Ukraina. Pasukan Ukraina mencoba menghambat laju pasukan Rusia dengan berbagai cara, termasuk dengan memutus akses ke suatu lokasi.
Gittoes mengatakan, setiap perang punya kengerian masing-masing. Karena itu, ia tidak mau membandingkan kengerian perang Afghanistan, Rwanda, atau baku tembak di negara lain. Sejak 1982, ia sudah mendatangi banyak negara dan merekam kengerian di sana. Selain lukisan, ia membuat film dan foto.
Di Afghanistan, ia membuat “Yellow House of Jalalabad”. Lembaga itu terinspirasi dari komunitas lamanya di Australia, Yellow House Artis Collective. Lewat Yellow House, ia mengajak para seniman berkolaborasi dan berkarya bersama lewat film, foto, seni pertunjukkan, dan lukisan. “Seni bisa menjadi penyalur perasaan. Semua kegelisahan, ketakutan, trauma bisa dijadikan energi kreatif untuk menghasilkan karya,” ujarnya.
Ia setuju Ukraina perlu dibantu komunitas internasional. Walakin, ia lebih fokus pada upaya pemulihan jiwa bangsa itu. Sejarah kebudayaan Ukraina sudah berumur lebih dari satu milenium. Berbagai bangunan dan patung merekam perjalanan panjang energi kreatif Ukraina selama belasan abad. Perang membuat banyak pekerja seni Ukraina tidak bisa lagi berkarya.
Gittoes ingin agar iklim kreatif Ukraina bisa beradaptasi dan para seniman bisa segera berkarya lagi. Ia tahu tidak mudah melakukan itu di tengah perang. Sebagian seniman dan para pekerja pendukung industri kreatif Ukraina harus berada di medan perang. Sebagian lagi disibukkan dengan kegiatan seperti di organisasi kemanusiaan. Dengan pengalamannya dari perang di berbagai negara, ia optimistis pemulihan Ukraina bisa dilakukan. “Butuh waktu, akan tetapi pasti pada akhirnya bisa,” kata dia.