Sri Lanka mencari pinjaman guna memutar perekonomian di dalam negeri. Data Bank Sentral Sri Lanka menunjukkan, dihitung dari Juni 2021 hingga 2022, Sri Lanka mengalami inflasi 54,6 persen.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
COLOMBO, SENIN — Sri Lanka berusaha mencari dana pinjaman. India dan Dana Moneter Internasional atau IMF menjadi harapan mereka. Akan tetapi, proses kesepakatan dan turunnya dana dikhawatirkan terhambat akibat belum stabilnya situasi negara. Rakyat belum berhenti berunjuk rasa memprotes kegagalan pemerintah dalam mengelola negara.
Hal tersebut dikemukakan Gubernur Bank Sentral Sri Lanka P Nandalal Weerasinghe di Colombo, Senin (11/7/2022). Ia pejabat yang tetap bertahan di posisinya. Mayoritas menteri ataupun pejabat lainnya sudah mengundurkan diri karena krisis berkepanjangan akibat keterpurukan ekonomi yang terburuk dalam 70 tahun terakhir.
”Harus dipahami, dana talangan hanya bisa turun jika situasi negara sudah aman dan terkendali. Kita harus mengupayakannya segera jika ingin negara memiliki uang untuk menggerakkan ekonomi,” kata Weerasinghe.
Ia juga mengungkapkan, Bank Sentral Sri Lanka sedang dalam proses negosiasi dengan Reserve Bank of India. Mereka ingin meminta tambahan pinjaman sebesar 1 miliar dollar AS. Sejak awal tahun 2022, India telah mengucurkan bantuan tunai sebesar 1,9 miliar dollar AS yang dibagi dalam tiga tahapan.
Data Bank Sentral Sri Lanka menunjukkan, dihitung dari Juni 2021 hingga 2022, Sri Lanka mengalami inflasi 54,6 persen. Dalam beberapa bulan ke depan, terutama menjelang akhir tahun 2022, diperkirakan inflasi bisa mencapai 70 persen. Kemiskinan mengancam warga yang jumlahnya 22 juta jiwa.
Sebelum mengundurkan diri, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe menjelaskan, pertumbuhan ekonomi satu tahun ke depan maksimal adalah minus 1 persen. Target kembali ke pendapatan domestik bruto seperti pada 2018 kemungkinan baru bisa dicapai per tahun 2028.
Dilansir dari surat kabar lokal, The Island, keberadaan Wickremesinghe dan Presiden Gotabaya Rajapaksa belum diketahui. Rakyat yang marah menyerbu kediaman pribadi Wickremesinghe dan membakarnya. Polisi menangkap tiga orang yang diduga sebagai dalang kerusuhan.
Sementara itu, massa masih berkumpul di istana kepresidenan Sri Lanka. Mereka tidak merusak, tetapi dari foto-foto yang beredar di sejumlah media arus utama ataupun media sosial terlihat massa menikmati sejumlah fasilitas di istana. Mereka bermain di kolam renang, rebahan di tempat tidur mewah, dan bersantai di taman. Istana kepresidenan menjadi obyek wisata mendadak. Bahkan, orangtua membawa anak-anak mereka untuk bertamasya ke sana.
Di tengah situasi itu, Ketua Parlemen Sri Lanka Yapa Abeywardena menggelar rapat darurat. Sejumlah menteri hadir di kediaman ketua parlemen, sisanya melalui konferensi video. ”Saya menjamin Presiden Rajapaksa berjanji untuk mengundurkan diri pada 13 Juli,” katanya kepada The Island.
Abeywardena menerangkan keputusan dari rapat itu. Pertama, presiden dan perdana menteri harus mundur. Wickremesinghe sudah mengundurkan diri, tetapi Rajapaksa masih bertahan. Baru dalam rapat itu akhirnya Rajapaksa menyerah dan mengutarakan siap mundur.
Kedua, dalam tujuh hari, parlemen harus rapat untuk mengambil konsensus mengenai pemerintahan sementara dan pelaksana tugas presiden. Sejauh ini, sampai konsensus diambil, Abeywardena yang memegang kendali Sri Lanka. Awalnya, Wickremesinghe mengajukan diri menjadi presiden sementara, tetapi ditolak oleh peserta rapat.
Ketiga, ketika konsensus mengenai presiden dan pemerintahan sementara dicapai, mereka harus segera menyiapkan pemilihan umum sehingga rakyat bisa membangun kembali pemerintahan yang mereka inginkan.
Dalam seminar daring yang diadakan Bank Sentral, pakar kajian Asia Selatan dari Universitas Nasional Singapura, Ganesha Wignaraja, menjelaskan, negara-negara sahabat kesulitan untuk membantu Sri Lanka. Alasannya, mayoritas negara berkembang dan miskin juga tengah berutang. Apalagi, pandemi Covid-19 membuat negara yang tidak berutang sekalipun mengalami penyusutan ekonomi.
”Kemudian juga ada keraguan membantu Sri Lanka. Sebab, krisis ini murni karena kegagalan pemerintah mengelola negara. Rakyat dari negara sahabat mempertanyakan kemumpunian Sri Lanka untuk mengatur ekonomi mereka sehingga sejumlah rancangan undang-undang untuk membantu Sri Lanka ditolak rakyat negara calon donatur,” ujarnya.
Wignaraja mengatakan, butuh dana hingga 25 miliar dollar AS dari IMF untuk membantu Sri Lanka tiga tahun mendatang. Sri Lanka tengah menjalani 16 program pinjaman dari IMF sehingga ini merupakan program ke-17. Harus ada bukti Sri Lanka bisa membuat aturan keuangan yang tertib dan transparan. Selain itu, Sri Lanka juga harus mengubah kebijakan ekonomi dan politiknya menjadi independen dan tidak berpihak. Ini membuka kesempatan untuk mendatangkan lebih banyak kerja sama. (Reuters)