Jual-Beli Multilateralisme di G20 Saat Musim Paceklik Kepercayaan
Multilateralisme dijual. Semua membeli dengan ”harga” dan ”versinya” masing-masing. Apa mau dikata, ketika politik internasional sedang paceklik kepercayaan, konfrontasi berteriak lebih lantang ketimbang kooperasi.
Bukan kebetulan jika Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menempatkan penguatan multilateralisme sebagai fokus sesi pertama pada Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20, Jumat (8/7/2022). Sesi itu membahas langkah bersama bagi penguatan kolaborasi global dan membangun rasa saling percaya antarnegara.
Pemerintah Indonesia paham, apa pun tema yang dibahas dan apa pun target yang ditetapkan pada G20 tahun ini, pelaksanaannya tidak akan efektif jika persoalan terbesar dalam politik internasional mutakhir tidak disasar terlebih dahulu. Persoalan besar yang sekaligus menjadi hambatan utama pelaksanaan agenda-agenda global itu adalah permusuhan antara sekutu Barat dan Rusia.
Ada tantangan global dan agenda global yang jauh lebih besar daripada urusan Barat dan Rusia. Namun suka tidak suka dan mau tidak mau, perseteruan Amerika Serikat (AS) bersama sekutu melawan Rusia menyusul perang Rusia-Ukraina telah mendisrupsi dan membawa berbagai tantangan global pada arah yang lebih ekstrem.
Penyelesaian perseteruan para raksasa itu menjadi prasyarat menjalankan agenda global, termasuk G20.
Perseteruan Barat-Rusia yang menjadi krisis paling vital dalam politik internasional sejak Perang Dingin itu telah menjadi persoalan global karena komplikasinya yang luas. Bahkan persoalan ini disebut-sebut akan menentukan tata dunia baru setelah era unipolar dengan Washington di singgasananya berakhir.
Penyelesaian perseteruan para raksasa itu menjadi prasyarat menjalankan agenda global, termasuk G20. Kembalinya AS dan Rusia ke meja perundingan akan menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan krisis di Ukraina sekaligus mengatasi komplikasinya ke komunitas global. Sebagaimana disampaikan sejumlah pakar hubungan internasional, perang Rusia-Ukraina sejatinya adalah proksi antara AS dan Rusia.
Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 di Bali menjadi kesempatan baik untuk memulai komunikasi. Acara selama dua hari itu merupakan ajang internasional pertama di mana Barat secara kolektif bertemu dengan Rusia di satu ruangan yang sama. Tak kalah penting, negara-negara berkembang anggota G20, mewakili mayoritas komunitas di dunia, bisa menyampaikan aspirasinya.
Semua menteri luar negeri G20 hadir di Bali. Khusus Menteri Luar Negeri Inggris Elizabeth Truss ijin meninggalkan Bali lebih awal karena harus segera kembali ke Inggris menyusul pengumuman pengunduran diri Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.
Acara selama dua hari itu merupakan ajang pertama di mana Barat secara kolektif bertemu dengan Rusia di satu ruangan yang sama.
Sebanyak delapan dari sembilan menteri luar negeri di luar G20 yang diundang, hadir di Bali. Negaranya meliputi Fiji, Senegal, Rwanda, Kamboja, Spanyol, Uni Emirat Arab, Singapura, dan Belanda. Suriname hadir secara virtual. Demikian pula dengan Ukraina.
Pertemuan juga dihadiri sembilan pemimpin dan perwakilan dari lembaga internasional. Lembaganya meliputi Perserikatan Bangsa-bangsa, Program Pangan Dunia (WFP), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi Buruh Internasional (ILO), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), dan Dewan Stabilitas Keuangan (FSP).
Dunia berkepentingan Presidensi G20 Indonesia 2022 yang mengusung tema ”Recover Together, Recover Stronger”, sukses. Sebanyak tiga subtema telah ditetapkan, yakni arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi berkelanjutan. Dan untuk membahasnya secara efektif, para raksasa butuh berkomunikasi lagi. Ini sekali lagi menjadi prasyaratnya.
Pidato pembukaan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi, menempatkan konteks dan memitigasi persoalan dengan pas. Dalam nada positif, ia memberikan ”intro” yang mengajak semua pihak untuk mawas diri dan mau bertemu di tengah.
”Pertumbuhan global diproyeksikan melambat hingga 2,9 persen di 2022. Sementara inflasi meroket hingga 8,7 persen untuk negara berkembang. Bisakah kita memecahkan persoalan-persoalan global ini sendiri-sendiri? Jawabannya, tidak. Tantangan global menuntut solusi global. Namun sejujurnya, kita tidak bisa mengingkari bahwa dunia semakin sulit untuk duduk bersama,” kata Retno mengawali pidato dengan menggelar persoalan bersama.
Namun sejujurnya, kita tidak bisa mengingkari bahwa dunia semakin sulit untuk duduk bersama.
Situasi global saat ini, Retno melanjutkan, membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada multilateralisme dan kapasitasnya untuk merespon secara efektif tantangan global. Multilateralisme tidak sempurna. Namun situasi akan jauh lebih buruk jika dunia tanpa multilateralisme. Unilateralisme akan menjadi norma dan negara yang kuat akan menguasai semuanya.
”Multilateralisme adalah satu-satunya jalan untuk mengkoordinasikan respon secara efektif dalam menghadapi tantangan-tantangan global. Oleh karena itu, marilah kita coba lakukan yang terbaik untuk memperkuat kepercayaan strategis dan rasa saling hormat, serta menjunjung tinggi seluruh dasar dan prinsip yang telah kita bangun sejak 1945, saat PBB didirikan. Multilateralisme hanya dapat terjadi jika ada kepercayaan di antara kita,” kata Retno.
Multilateralisme hanya dapat terjadi jika ada kepercayaan di antara kita.
Sebagai titik tolak, Retno merujuk amanat Piagam PBB yang menetapkan tujuan bersama, yakni menjaga perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional. Ia juga menyinggung soal pentingnya membangun hubungan persahabatan di antara negara-negara dan mencapai kerjasama internasioanl dalam mengatasi persoalan-persoalan internasional.
”Jadi, adalah tanggung-jawab kita untuk mengakhir perang secepatnya dan menyelesaikan perbedaan-perbedaan di meja perundingan, bukan di medan pertempuran. Adalah juga tanggung-jawab kita untuk membangun jembatan, bukan tembok, serta mengembangkan kepentingan bersama, bukan kepentingan diri sendiri, serta menjadi bagian dari solusi,” kata Retno.
Pidato Retno secara eksplisit menuntut semua pihak untuk mengambil tanggung-jawab. Menghentikan perang di Ukraina tidak bisa hanya dengan menuntut Rusia berhenti melancarkan serangan. Kebutuhan itu hanya bisa tercapai jika ada langkah bersama, dari Rusia maupun dari AS dan sekutunya. Sebagaimana idiom klasik, it takes two to tango.
Namun api permusuhan tampaknya memang sedang besar-besarnya sehingga masing-masing pihak setengah hati melanjutkan intro positif Retno tersebut dalam seluruh rangkaian acara. Baik AS dan sekutu maupun Rusia membingkai semangat positif dari pidato itu sesuai kepentingannya untuk memproyeksikan serangannya kepada ”kubu seberang”.
Baca juga : Mobil Blinken Berhenti Lama dan Wartawan Asing Yang Diusir
Multilateralisme yang dikampanyekan Retno diamini oleh para pihak yang sedang bertikai dalam versinya masing-masing. Alhasil, ekspresi yang muncul konsisten bernada konfrontatif dan serba retorika. Ini tecermin dari substansi-substansi pernyataan para menteri luar negeri di dalam forum maupun di luar forum. Gesturnya, apalagi, lebih mencolok.
Negara-negara G7 misalnya tidak hadir pada saat upacara penyambutan digelar Retno pada Kamis (7/7) petang. Sebab, ada Lavrov di situ. Sebaliknya, Lavrov meninggalkan ruangan saat Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock mendapat giliran bicara. Demikian pula saat Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba memberikan pidato secara virtual. Dan di bagian akhir, tidak ada sesi foto bersama.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, secara terpisah, memberikan pernyataan kepada wartawan di luar forum. Masing-masing bersikeras pada posisinya masing-masing.
Kompas berkesempatan menghadiri keterangan pers dan mengajukan pertanyaan kepada keduanya. Dari penyataan yang disampaikan, tak ada tanda-tanda upaya membangun jembatan di antara dua kekuatan nuklir terbesar itu.
”Pada titik tertentu, perang ini akan berakhir dan akan berakhir melalui diplomasi. AS akan dan selalu siap mencari cara-cara diplomasi untuk mengakhiri konflik demi menghadirkan perdamaian. Dan ini adalah perkara yang berkaitan dengan agresi terhadap Ukraina. Persoalannya adalah bahwa kita tidak melihat tanda-tanda atau hal apapun yang menunjukkan bahwa saat ini Rusia siap terlibat dalam diplomasi,” kata Blinken, Sabtu (9/7/2022).
Persoalannya adalah bahwa kita tidak melihat tanda-tanda atau hal apapun yang menunjukkan bahwa saat ini Rusia siap terlibat dalam diplomasi.
Blinken menegaskan, target AS jelas sebagaimana disampaikan Presiden AS Joe Biden pada forum G7 dan Konferensi Tingkat Tinggi NATO beberapa waktu lalu. Pertama, AS akan terus melanjutkan dukungan kepada Ukraina di bidang keamanan, kemanusiaan, dan ekonomi. Kedua, AS akan terus menekan Rusia agar mau terlibat dalam diplomasi.
”Dua hal ini akan memberikan Ukraina posisi yang kuat pada saat perundingan nanti diselenggarakan. Jadi di situlah posisi kami sekarang. Namun jika kami melihat tanda-tanda Rusia siap untuk terlibat diplomasi dan mengakhiri perang, tentu saja kita akan terlibat dalam diplomasi itu,” katanya.
Sehari sebelumnya di sela-sela pertemuan, Lavrov mengatakan kepada wartawan, negara-negara Barat menghindari mandat G20 untuk mendiskusikan persoalan-persoalan ekonomi dalam pertemuan G20. Mereka menyimpang dari agenda dengan menyerang Rusia dengan sejumlah kritik atas situasi di Ukraina.
Namun banyak peserta pertemuan, Lavrov sebagaimana dikutip dari kantor berita Rusia, RIA, tidak mendukung tindakan itu. Peserta yang dimaksud Lavrov merujuk pada negara-negara berkembang yang tergabung dalam G20.
Bukan kami yang meninggalkan komunikasi. AS yang melakukannya.
Saat ditanya Kompas apakah mungkin bagi Rusia dan AS kembali ke meja perundingan untuk menyelesaikan sejumlah persoalan mutakhir, Lavrov menjawab dengan tajam. ”Bukan kami yang meninggalkan komunikasi. AS yang melakukannya. Hanya itu yang bisa saya sampaikan. Dan kami tidak dalam posisi mengejar-ngejar siapa pun untuk menggelar pertemuan. Jika mereka (AS) tidak mau bicara, itu pilihan mereka,” katanya.
Baik Blinken maupun Lavrov sama-sama mengapresiasi kepemimpinan Indonesia pada Pertemuan Para Menteri Luar Negeri G20 di Bali, 7-8 Juli. Keduanya sama-sama menghargai upaya Indonesia untuk mengkoordinasi G20 mengatasi tantangan global.
Retno dalam konferensi pers usai acara memaparkan sejumlah catatan terkait perhelatan. Ada perbedaan, tapi ada pula persamaan aspirasi. Persoalan krisis energi dan pangan dibahas. Dan di atas kertas, semua pihak sepakat akan pentingnya multilateralisme dan upaya-upaya bersama dalam menangani tantangan-tantangan global.
”Jadi ini bukan suatu hal yang mudah dicapai. Ini adalah sebuah achievement mendudukkan semua key players dalam satu ruangan untuk berbicara. Diskusi dilakukan dengan sangat terbuka. Dan kita tahu sejak awal, bahwa kita semua memiliki posisi yang berbeda,” kata Retno menjawab pertanyaan Kompas usai konferensi pers.
Baca juga : Ketegangan Belum Cair Tapi G20 Buat Langkah Awal
Selanjutnya Retno berkomitmen untuk terus melanjutkan komunikasi dan konsultasi dengan seluruh menteri luar negeri G20. ”Kita akan terus mencoba untuk berkonsultasi dan berkomunikasi agar apa yang ingin kita capai selama Presidensi G20 Indonesia bisa tercapai,” katanya.
Akhirnya, tidak mudah memang menjual multilateralisme ketika dunia tengah dilanda paceklik kepercayaan. Di ”Pulau Dewata”, para raksasa hadir dengan segala retorika dan konfrontasinya. Sementara negara-negara berkembang di G20 yang mewakili mayoritas penduduk Bumi berkesempatan menyampaikan aspirasinya.
Musim paceklik kepercayaan entah kapan akan berakhir. Siapa tahu ada keajaiban semesta sehingga paceklik berakhir dalam waktu tak terlalu lama lagi meskipun situasi tampaknya lebih mengarah pada musim paceklik yang berkepanjangan. Namun setidaknya setapak ikhtiar telah dilakukan. Semoga kepercayaan datang lagi dan multilateralisme bersemi kembali.