Kazakhstan menjadi negara yang penting bagi Indonesia. Letaknya di jantung Asia, menghubungkan Asia dengan Eropa, potensi ekonominya juga menggiurkan untuk dilirik.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
Tak lama setelah Kazakhstan mengumumkan kemerdekaan dari Uni Soviet tahun 1991, Pemerintah Indonesia mengakui kedaulatannya sebagai negara. Keputusan itu telah memberi tempat bagi Indonesia dalam kebijakan luar negeri Kazakhstan, negara besar di kawasan Asia Tengah. Sejak 1995, kedua kepala negara silih berganti saling mengunjungi.
Dimulai dari mantan Presiden Soeharto berkunjung ke Almaty, ibu kota pertama Kazakhstan pada April 1995, langsung dibalas dengan kunjungan Presiden Nursultan Nazarbayev pada Juni tahun yang sama ke Indonesia. Tahun 2012, Nazarbayev berkunjung kembali ke Jakarta dan dibalas dengan kunjungan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun berikutnya. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla juga pernah berkunjung ke Astana tahun 2017 dan dibalas dengan kunjungan Pimpinan Parlemen Kazakshtan Kassym Jokayev pada tahun yang sama.
Duta Besar RI untuk Kazakhstan dan Tajikistan Fadjroel Rahman, saat wawancara dengan Kompas, Kamis (30/6/2022), mengatakan, dalam kebijakan luar negeri Indonesia, Kazakhstan menjadi sangat penting karena selain posisinya sentral di wilayah Asia Tengah, juga karena potensi ekonominya.
Dalam pandangan Fadjroel, Kazakhstan memiliki posisi geografis yang unik dan strategis di kawasan, terutama karena negara ini menjadi ”penghubung” Asia dengan Eropa. Posisi itu memberikan banyak keuntungan dari segi politik juga ekonomi. Luas teritorial Kazakhstan yang hampir 2,7 juta kilometer persegi membuatnya menjadi negara terbesar ke-9 di dunia, menjadikan negara ini dipandang membutuhkan ”kawan” untuk berkembang.
Kazakhstan merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tengah dan kedua terbesar setelah Rusia di Commonwealth Independent States (CIS). Dengan pendapatan per kapita mendekati 10.000 dollar AS pada 2019, menurut Fadjroel, pasar Kazakshtan sangat menarik untuk dimasuki.
Tidak hanya sebagai negara yang berdiri sendiri, Kazakshtan juga anggota Eurasian Economic Union yang beranggotakan Rusia, Armenia, Kirgistan, dan Belarus. Pasar kawasan ini sangatlah menarik. Dengan total calon konsumen hampir 200 juta jiwa, pasar Eurasia yang bisa ditembus melalui Kazakhstan adalah potensi yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Potensi
Fadjroel menjelaskan, permintaan Presiden Joko Widodo saat melantik sebagai duta besar agar fungsi KBRI saat ini memprioritaskan hubungan ekonomi yang lebih masif menjadi sandaran bagi berbagai upaya yang tengah dicobanya. Menurut dia, ada beberapa potensi yang bisa dicoba para pengusaha Indonesia, baik besar maupun kecil dan menengah.
Negara muda ini tengah membangun 17 provinsinya. Maka, bidang infrastruktur, menurut Fadjroel, menarik untuk dijajaki perusahaan asal Indonesia. Sebagai mantan komisaris salah satu badan usaha milik negara yang bergerak dalam bidang infrastruktur, Fadjroel sangat mendukung bila ada BUMN yang mengerjakan berbagai proyek infrastruktur di Kazakshtan.
Selain itu, Kazakhstan memiliki potensi minyak dan gas yang besar sehingga layak bagi perusahaan migas milik negara berperan di negara tersebut. Dia menuturkan, sejak 2012, Pertamina berupaya agar bisa mengelola blok minyak atau gas di Kazakshtan, bersaing dengan perusahaan besar dari Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Sejauh ini, diakui Fadjroel, itu masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikannya. ”Setidaknya dalam tiga tahun ke depan,” ujarnya sambil tersenyum.
Neraca perdagangan Indonesia-Kazakhstan belum seimbang, meski mengalami pertumbuhan. Nilai ekspor Indonesia ke Kazakhstan masih rendah. Sebaliknya, nilai impor Indonesia dari Kazakhstan cukup tinggi. Hal ini yang menurut dia harus diubah.
Hingga saat ini, kelapa sawit dan turunannya menjadi primadona ekspor Indonesia ke Kazakhstan. Selain itu, kopi dan teh serta obat-obatan memiliki pasar yang cukup baik di Kazakhstan.
Mantan juru bicara kepresidenan ini menuturkan, meski mendorong para pengusaha besar Indonesia melirik pasar Kazakhstan, dia juga tengah mengupayakan agar para pengusaha mikro, kecil, dan menengah menjajal pasar negara ini. Dia menceritakan soal pertemuan tak sengaja dengan salah satu pengusaha Kazakhstan di pesawat yang membutuhkan minyak kelapa beku sebanyak dua kontainer setiap bulan. Pasokannya selama ini didapat dari Malaysia.
Tak hanya minyak kelapa, produk turunan kelapa, yaitu santan, juga dibutuhkan di negara ini. Harga santan, kata Fadjroel, lima kali lipat harga susu.
Begitu juga dengan kopi. Hasil pemantauan Fadjroel selama lima bulan berada di negara itu, pasar kopi sangat terbuka. ”Kopi luwak menjadi salah satu potensi ekspor yang bisa dicoba. Pasar di sini sangat tertarik untuk mencoba produk kopi luwak Indonesia,” katanya.
Fadjroel mendorong para pengusaha UMKM untuk menjajal pasar Kazakhstan. Meski hanya mengirimkan produk vanila sebanyak 15 kilogram, misalnya, dengan margin yang besar, hal itu tentu saja menarik dijajaki. ”Kedutaan Besar siap menjadi jembatan bagi produk UMKM Indonesia di Kazakshtan,” katanya.
Dia mengatakan, untuk mendukung upayanya ini, KBRI tengah mengupayakan membuka penerbangan langsung, baik penumpang maupun logistik, dari Denpasar ke Nur Sultan atau Almaty. Dengan dibukanya penerbangan langsung, selain masalah logistik bisa terakomodasi, diharapkan juga bisa membantu meningkatkan pemasukan dari sektor pariwisata.