Keping ”Puzzle” Joko Widodo
Mendesak langsung agar Rusia dan Ukraina mengakhiri perang tampaknya bukan menjadi pilihan diplomasi Indonesia. Indonesia lebih memilih isu pangan sebagai kunci untuk membuka pintu dialog.
Dengan sedikit nanar, Sergey Lioubarsky melihat hamparan ladang gandumnya di Desa Rai Oleksandrivka, Luhansk. Ladang itu berada sekitar 30 kilometer dari posisi pasukan Rusia.
Paling lambat, gandum milik Lioubarsky harus dipanen pada awal Agustus nanti. Bila terlambat, bulir-bulir gandum itu akan mengering dan rontok. Selain itu, sebagian ladang miliknya juga telah diduduki tentara.
Rekannya, Anatoliy Moiseyenko, sesama petani di Oleksandrivka, mengeluhkan hal yang sama. ”Masalahnya adalah perang,” katanya sambil melihat ke arah tentara Ukraina yang mencoba menjinakkan roket Rusia yang jatuh ke ladang milik Moiseyenko. ”Memanen, nyaris seperti bermain poker,” katanya sambil tersenyum.
Di belahan Bumi lainnya, Lindiwe Ncube, seorang petani di Desa Alfalfa, Zimbabwe, memiliki keluhan serupa. Selain terjangan musim kering, minimnya pasokan pupuk membuat ladang jagung miliknya gagal panen. Bahkan jagung yang ia hasilkan tidak cukup untuk memberi makan keluarganya.
”Tongkol jagungnya kecil-kecil dan saya hanya berhasil memiliki empat karung (masing- masing 50 kilogram). Saya tidak akan menjual apa pun,” kata Ncube. ”Musim ini buruk, ini adalah musim kelaparan”.
Baca juga: Peradaban dan Perang
Perpaduan antara kekeringan dan kurangnya pupuk membuat produksi jagung Zimbabwe pada musim panen turun. Setiap tahun, Zimbabwe membutuhkan setidaknya 2,2 juta ton jagung, baik untuk konsumsi manusia maupun ternak. Di masa tanam 2021-2022, jagung yang dihasilkan hanya sekitar 1,5 juta ton. Pada musim panen sebelumnya, Zimbabwe mampu memperoleh 2,7 juta ton.
Salah satu produsen pupuk di Afrika, Omnia Holdings, mengatakan, perang Ukraina-Rusia membuat harga pupuk kian melambung. Sebelumnya, pandemi Covid-19 membuat harga pupuk menanjak, antara 200 persen dan 400 persen sejak Januari 2021. Omnia memasok pupuk untuk petani di beberapa negara Afrika sub-Sahara, termasuk Afrika Selatan, Zimbabwe, Zambia, Mozambik, Kenya, dan Tanzania.
Pemerintah Afrika mencoba memberi dukungan kepada petani kecil untuk memangkas ongkos produksi. ”Kami melihat pemerintah, negara-negara di seluruh dunia khawatir tentang ketahanan pangan. Semua orang menginginkan keamanan pasokan pupuk, dan itu menaikkan harga. Itu juga menimbulkan kekhawatiran tentang ketahanan pangan di masa mendatang,” kata CEO Omnia Holdings Seelan Gobalsamy.
Baca juga: Mendorong Perdamaian, Indonesia Perlu Lebih Inklusif
Boubaker BenBelhassen, direktur Divisi Pasar dan Perdagangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), mengatakan, dampak konflik dapat menyebabkan 11 juga hingga 19 juta lebih banyak orang kelaparan kronis.
Menurut FAO, estimasi awal ini didasarkan pada penurunan ekspor komoditas pangan dari Ukraina dan Rusia. FAO juga mengatakan, melonjaknya biaya pertanian seperti pupuk dapat menghalangi petani meningkatkan produksi dan memperburuk ketahanan pangan di negara-negara miskin.
Sementara itu, Barat cenderung menyalahkan Rusia karena memblokade jalur perdagangan biji-bijian. Kepala Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Uni Eropa Josep Borrell menegaskan, Rusia-lah yang menghancurkan pelabuhan, menghancurkan stok makanan, dan menghancurkan infrastruktur transportasi. Blokade Rusia atas ekspor Ukraina disebutnya sebagai kejahatan perang. Sebaliknya, Rusia menuduh sanksi Barat-lah yang memicu krisis pangan.
Langkah Indonesia
Dalam situasi seperti itu, Presiden Joko Widodo menggelar lawatan ke Jerman—untuk hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi G7—serta melanjutkan perjalanannya ke Ukraina dan Rusia. Isu krisis pangan dan energi menjadi tema utama yang diangkat Presiden Jokowi saat bertemu dengan para pemimpin G7, dan secara terpisah dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy serta Presiden Rusia Vladimir Putin.
Baca juga: Misi Jokowi ke Ukraina-Rusia Beri Efek Positif, Perlu Terobosan Lanjutan di G20
Presiden Jokowi mengatakan, masalah pasokan pangan global tidak akan membaik jika pupuk Rusia dan gandum Ukraina tak tersedia, dan mengatakan, Presiden mendesak para pemimpin G7 untuk memastikan sanksi terhadap Rusia tidak memengaruhi pasokan makanan dan pupuk.
Saat bertemu dengan Putin di Kremlin, Presiden Jokowi kembali membahas terganggunya rantai pasok pangan dan pupuk. Dalam kesempatan itu, Presiden juga mendukung upaya PBB mereintegrasi komoditas pangan Rusia dan Ukraina ke dalam rantai pasok global. Pada akhir pernyataan, Presiden mengajak semua pemimpin dunia untuk semangat multilateralisme, semangat damai, dan semangat kerja sama. ”Hanya dengan spirit ini perdamaian dapat dicapai,” kata Presiden Jokowi.
Di tengah kebuntuan sebagai dampak perseteruan yang terjadi, sikap dan langkah Jokowi itu seperti meletakkan satu keping ‘puzzle’ di tempat yang tepat. Langkah itu membuka kemungkinan lebih lebar untuk beragam upaya keluar dari krisis.
Pemerhati isu internasional dan strategi, Kusnanto Anggoro, mengatakan, Presiden Jokowi dengan tepat menempatkan isu penting terkait perang Rusia- Ukraina, yaitu isu pangan. Isu tersebut punya dampak serius dan menjadi masalah global.
Presiden Jokowi, kata Kusnanto, paham dengan dinamika yang terjadi, yaitu perang bisa berlarut-larut sehingga Presiden tak langsung ”merujuk” pada isu perdamaian.
”Presiden Joko Widodo sudah melakukan apa yang harus dan bisa,” kata Kusnanto.
Hal senada dikatakan Dinna Prapto Raharja, pendiri Synergy Policies, sebuah lembaga pemikir independen yang berbasis di Jakarta. Menurut dia, Presiden Jokowi sebagai Ketua G20 berhasil menempatkan Indonesia sebagai pihak ketiga yang bisa membuka peluang dari kebuntuan relasi Rusia-Ukraina dan negara-negara G7 yang memotori sanksi pada Rusia.
”Presiden hadir pada waktu yang tepat,” kata Dinna. Selain itu, Presiden Jokowi, lanjutnya, juga membawa isu yang melintasi semua kepentingan politik dan kontestasi multipolar.
Lebih lanjut, upaya positif yang dibangun itu dapat mendorong kembali keyakinan pada G20 dan agenda-agendanya. Kesediaan sejumlah pemimpin dunia untuk hadir dalam KTT G20, November nanti, di Bali, dinilai menjadi bagian dari apresiasi global atas langkah Indonesia.
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Teuku Rezasyah, mengatakan, apa yang dilakukan Indonesia menjadi catatan positif bagi para pemimpin dunia. ”Para pemimpin G7 tampaknya memperhatikan kesungguhan Presiden Jokowi dalam mempersiapkan G20 secara sangat sistematis dan berkelanjutan. Mereka sadar akan pentingnya multilateralisme dalam isu-isu perdamaian internasional dan pembangunan berkelanjutan,” kata Rezasyah.
Menurut dia, para pemimpin dunia simpati pada diplomasi Indonesia, baik di kancah bilateral, regional, maupun global. ”Terlebih lagi, semua kegiatan bernuansa perdamaian dan pembangunan berkelanjutan yang dipimpin langsung oleh Presiden,” kata Rezasyah.
Presiden, menurut dia, paham bahwa dengan mengedepankan isu pangan, akan menjadi titik masuk ke alam bawah sadar semua pemimpin yang ditemuinya. ”Karena itu, mereka menghargai perspektif yang dibawa Presiden RI,” kata Rezasyah, menambahkan.
Selanjutnya, langkah positif itu—baik menurut Rezasyah maupun Dinna—perlu dikonsolidasikan lebih lanjut di G20, G7, serta ASEAN. Kelompok masyarakat sipil pun perlu dilibatkan untuk menjaga agenda-agenda G20 dalam beragam pertemuan tematik, seperti krisis iklim, UMKM, dan transisi energi tetap terjaga, selain memitigasi G20 agar tak ”terpeleset” jadi forum soal perang.
Bagi Kusnanto, upaya itu dapat menjadi momen bagi Indonesia untuk mematrikan kembali muruah dan martabat politik luar negeri Indonesia. ”Setidaknya, dalam deklarasi akhir, Indonesia dapat memasukkan pernyataan call for peace from Bali,” kata Kusnanto.
Bagi Dinna, hal itu diterjemahkan sebagai, ”Kami tidak ingin mewariskan perang”.
(AP/AFP/REUTERS)