Sebuah peradaban dibangun dengan kesadaran penuh, setiap saat harus memiliki sumber daya ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan yang mumpuni guna menjalani konflik senjata penuh darah.
Oleh
ANTONIUS TOMY TRINUGROHO
·4 menit baca
Peradaban dan perang seperti dua sisi pada sebuah koin. Keduanya ”hanya” wajah-wajah berbeda dari substansi yang identik atau serupa. Orang tak bisa menerima salah satu sisi saja, sementara menolak sisi yang lain. Semua sisi harus diterima atau tidak sama sekali.
Susan Wise Bauer lewat buku Sejarah Dunia Kuno (terjemahan) mengungkap dengan menarik esensi dari peradaban. Menurut dia, peradaban tidak muncul di tempat yang kaya sumber daya alam, atau di tempat dengan alam begitu ramah. Peradaban justru muncul di wilayah dengan kompetisi perebutan sumber daya alam begitu tinggi.
Benar bahwa peradaban tua yang muncul ribuan tahun sebelum Masehi di Bulan Sabit Subur—kawasan dari tepi Laut Tengah hingga ke pantai Teluk Persia dengan sungai besar Efrat serta Tigris—memiliki tanah yang mendukung pertanian. Namun, peradaban Bulan Sabit Subur lahir bukan didorong oleh endapan kaya mineral akibat aliran sungai, melainkan oleh kebutuhan membagi secara adil sumber daya yang terbatas.
Bagi Bauer, desa-desa di Bulan Sabit Subur dipaksa membangun saluran-saluran pencegah banjir, sekaligus mengelola air yang sesungguhnya tak banyak untuk para petani. Diperlukan organisasi agar tak terjadi perebutan atau ketidakpuasan di antara petani. Pada saat yang sama, desa-desa di Bulan Sabit Subur memerlukan orang-orang berprofesi lain, seperti tukang kayu, yang harus dipastikan kenyang. Organisasi dan birokrasi pun dibangun guna memastikan petani mengonsumsi biji-bijian secukupnya serta menjual sisanya ke pihak lain. Sistem harus berjalan baik agar desa mampu menghadapi ”gerombolan” di luar komunitas mereka. Kelompok musuh itu masih hidup berpindah-pindah atau belum menetap dengan berbasis pertanian.
Ditemukanlah aksara serta angka untuk menandai, mencatat, dan menghitung hasil pertanian di desa-desa Bulan Sabit Subur. Seiring waktu, spesialisasi masyarakat Bulan Sabit Subur menajam: ada penyelenggara pendidikan dan ada yang merenungi posisi manusia di tengah alam, sehingga berujung pada penemuan sistem religi. Peradaban pun terus berkembang.
Dengan demikian, peradaban sesungguhnya memiliki ciri utama: inovasi (penemuan aksara, organisasi/birokrasi) serta pemisahan dari ketidakteraturan (pembangunan tembok desa/kota agar kelompok asing tidak bisa menjarah). Perang tampak menjadi bagian integral dari peradaban. Sebuah peradaban dibangun dengan kesadaran penuh, setiap saat harus memiliki sumber daya ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan yang mumpuni guna menjalani konflik senjata penuh darah.
Pada era sekarang, tembok-tembok desa/kota Bulan Sabit Subur digantikan batas-batas tak kasat mata. Saat ini, misalnya, ada garis demarkasi imajiner antara Eropa Barat dan Rusia. Barat beraliansi dalam NATO, yang menetapkan Rusia sebagai ancaman. Di sisi lain, Rusia juga melihat NATO sebagai ancaman besar. Rencana perluasan NATO hingga mencakup Ukraina dinilai Rusia mengancam eksistensi mereka.
Perang pun berkecamuk di Ukraina. Moskwa berargumen harus menggelar ”operasi militer khusus” atau menyerang Ukraina untuk menjamin keamanan. Sanksi dijatuhkan oleh Barat dan sekutunya atas Rusia. Bantuan senjata diberikan oleh anggota-anggota NATO kepada tentara Ukraina, meski disebut tak dilakukan atas nama pakta pertahanan tersebut. Senjata yang diberikan diklaim pula sekadar membantu Ukraina untuk mempertahankan diri. Kedua pihak—NATO dan Rusia—sama-sama ingin menjaga perang tidak meluas dan terjadi langsung di antara mereka.
Di luar konflik Ukraina, ada batas imajiner lain, yakni ”tembok” antara Barat dan China. Batas ini lebih tidak kasat mata, tetapi jauh lebih luas. Terasa di mana-mana. Persaingan kedua kubu sudah bukan soal urusan tanah sejengkal, tetapi soal pengaruh di dunia. Begitu luas bidang yang menjadi medan persaingan mereka: teknologi, ekonomi, militer, dan tentunya geopolitik. Amerika Serikat bersama sekutunya mengerahkan sumber daya besar untuk menghadapi China. Demikian pula sebaliknya.
Martin Jacques dalam buku When China Rules The World menulis, selain Jepang, untuk pertama kalinya dalam dua abad—sejak munculnya industrialisasi—salah satu kekuatan besar tumbuh dari sejarah dan tradisi yang sepenuhnya non-Barat, yakni China. China memang dapat dipandang bukan sekadar negara yang baru berdiri, tetapi entitas dengan kebudayaan berusia ribuan tahun. Mereka memiliki sistem etika yang khas dan sistematis sejak lama.
Peradaban dan perang memang tak ubahnya dua sisi pada sebuah koin.