Tepatkah Dunia Hidup Berdampingan dengan Covid-19?
Pandemi Covid-19 belum berakhir dan dunia belum siap menghadapi pandemi selanjutnya. Produksi vaksin sekaligus akses yang setara ke seluruh dunia harus digenjot karena hanya vaksin senjata ampuh mengendalikan Covid-19.
Kapan pandemi Covid-19 berakhir? Begitu pertanyaan yang selalu muncul di benak warga dunia. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus menjawabnya, ”Pandemi masih jauh dari akhir”.
Selama 2,5 tahun terakhir, varian virus SARS-CoV-2 terbukti bertambah terus dan evolusinya semakin cepat. Ada ribuan varian, tetapi hanya lima varian yang membuat kisruh seluruh dunia, yakni Alfa, Beta, Gamma, Delta, dan Omicron. Sementara laju produksi vaksin dan program vaksinasi tak secepat evolusi virus. Vaksin yang ada dan sudah terdistribusi pun belum efektif 100 persen menangkal Covid-19.
Sejak awal tahun 2021, ketika negara-negara maju mulai memberi vaksin Covid-19 kepada penduduknya, WHO menetapkan target. Pada pertengahan 2022, sebanyak 70 persen penduduk Bumi telah menerima vaksin dosis lengkap. Sebenarnya, target ini bukan sesuatu yang mustahil selama penanganan pandemi global dilakukan secara terkoordinasi. Hanya dengan vaksinasi mayoritas penduduk dunia, pandemi Covid-19 bisa terkendali dan perekonomian global bisa bangkit secara bertahap.
Baca juga : Meretas Akselerasi Vaksinasi Covid-19 Global
Kini, kita sudah berada di pertengahan tahun 2022. Akan tetapi, target WHO itu masih jauh dari tercapai. Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang sudah divaksin meningkat drastis. Berdasarkan laporan PBB pada Maret 2022, sudah 10 miliar dosis vaksin Covid-19 yang disuntikkan secara global. Dari jumlah ini, hanya 1 persen yang disuntikkan di negara-negara miskin. Artinya, pada Juni 2022 saja ada 2,8 miliar penduduk dunia yang sama sekali belum menerima satu dosis vaksin pun. Tanpa cakupan vaksinasi, risiko mutasi virus SARS-CoV-2 menjadi galur baru tidak bisa dikurangi.
Selain itu, pemulihan ekonomi di negara-negara yang penduduknya belum divaksin akan lama. Satu negara saja tersendat, kawasan akan terkena dampaknya. Pada akhirnya, ini memengaruhi perkembangan perekonomian global. Data Program Pembangunan PBB (UNDP) menunjukkan, apabila negara-negara miskin per September 2021 bisa memvaksinasi 54 persen penduduk mereka, pada awal 2022 jumlah pendapatan domestik bruto mereka bisa bertambah 16,27 miliar dollar AS.
Kenyataannya, di Sub-Sahara Afrika, mayoritas negara baru memvaksinasi 1 persen penduduknya, bahkan di Burundi, Chad, dan Republik Demokratik Kongo masih di bawah 1 persen. Sejauh ini, baru Seychelles dan Mauritius yang berhasil memvaksinasi 70 persen warganya. Di luar Afrika, wilayah konflik, antara lain Yaman dan Haiti, baru mencapai 2 persen.
Penyebab kesenjangan vaksinasi global ini masih sama, yaitu negara-negara maju menggunakan kekuatan ekonomi dan politik mereka untuk memesan vaksin langsung dari perusahaan-perusahaan farmasi. Kemampuan membayar dalam jumlah besar memastikan mereka diprioritaskan.
Salah satu contohnya terjadi dengan perusahaan farmasi Aspen Pharmaceuticals di Afrika Selatan. Perusahaan ini memperoleh kontrak memproduksi vaksin Covid-19 Johnson and Johnson (JnJ) khusus untuk disebarluaskan di Benua Afrika. Ada 54 negara di kawasan ini yang bergantung pada impor vaksin dari Barat. Produksi JnJ di Afsel diharapkan bisa memberi solusi pada masalah kekurangan vaksin.
Tiba-tiba terungkap 40 juta dosis produksi awal Aspen Pharmaceuticals dibeli Uni Eropa (UE). UE beralasan produksi JnJ mereka di Belanda bermasalah. Sembari menunggu pembenahan di pabrik, mereka meminta Aspen Pharmaceuticals menalangi kebutuhan vaksin. Masyarakat Afrika marah ketika mengetahui skandal ini. Akhirnya, UE meminta maaf dan mengembalikan semua dosis yang mereka pesan ke Afrika.
Baca juga : Penyediaan Vaksin Covid-19 Global Semakin Pelik
”Solusinya, setiap wilayah harus bisa mandiri memproduksi vaksin Covid-19. Ini pentingnya penangguhan hak paten vaksin Covid-19. Di masa darurat seperti pandemi, menyelamatkan nyawa manusia jauh lebih penting daripada menjaga rahasia merek dagang,” kata John Nkengasong, Kepala Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Afrika (Africa CDC), dalam keterangan resmi di laman lembaga tersebut.
Uni Afrika meluncurkan program Kemitraan Pembuatan Vaksin Afrika. Mereka menargetkan, pada 2040, sebanyak 60 persen vaksin yang dipakai di Afrika diproduksi di dalam kawasan. Pada 2021, jumlah vaksin produksi kawasan baru 1 persen. Langkah serupa juga ditempuh oleh Organisasi Kesehatan Pan Amerika (PAHO). Mereka juga membuat vaksin Covid-19, vaksin-vaksin lain, alat kesehatan, dan obat-obatan di wilayah Benua Amerika serta Karibia.
Menurut pendiri dan Direktur Institut Penelitian Transnasional Scripls serta guru besar pengobatan molekuler, Eric Topol, kepada The Guardian (16 Mei 2022), kualitas vaksin Covid-19, perawatan medis, serta obat-obatan yang lebih baik itulah kunci penting mengendalikan Covid-19. Ada konsensus di antara para ahli kesehatan mengenai cara mengakhiri pandemi, yakni dengan memastikan ketersediaan dan akses yang sama terhadap vaksin dan obat-obatan di seluruh dunia. Vaksin itu kuncinya.
Lantaran vaksin yang lebih baik belum ada, apakah tepat dunia mengadopsi kebijakan ”hidup berdampingan dengan Covid-19”? Pilihan itu seperti tanda menyerah. Masyarakat tidak harus hidup dengan Covid-19.
Para ahli mengusulkan perlunya pengembangan vaksin semprot di hidung yang tahan terhadap varian virus. Semprotan hidung yang menginduksi kekebalan mukosa akan membantu memblokade transmisi. Ini diyakini akan memberikan pertahanan minimal dari keluarga varian Omicron yang sangat menular. WHO mengimbau inovasi vaksin dan obat-obatan untuk digenjot, tidak mengendurkan kebijakan terkait pandemi Covid-19.
Baca juga : Memilih Waktu yang Tepat untuk Berdamai dengan Covid-19
Banyak negara sudah melonggarkan, bahkan mencabut, protokol kesehatan. Kehidupan sudah seperti sebelum masa pandemi. Masalahnya, kasus Covid-19 justru naik di 70 negara. Kasus naik di negara-negara yang tidak lagi sering melakukan tes Covid-19. Bahkan, kasus kematian kian banyak di Afrika, yang sampai sekarang tingkat vaksinasinya masih paling rendah,” kata Tedros.
Endemik
Jika kasus baru masih saja naik, secara epidemiologi sulit untuk diketahui kapan pandemi berakhir. Para ahli menyebut pandemi bisa dianggap ”berakhir” ketika virusnya menjadi endemik. Guru besar molekular, selular, dan perkembangan biologi di University of Colorado Boulder, Sara Sawyer, kepada Voice of America, Februari lalu, mengatakan, ketika pola, musim, jumlah orang yang mungkin terinfeksi, dan jumlah kematian dari penyebaran virus bisa diprediksi, itu berarti virus sudah menjadi endemik. Jika sudah endemik, kemungkinan besar akan tetap bertahan dalam waktu lama.
Guru besar sejarah di Rutgers University-Newark, Nükhet Varlik, sepakat pandemi akan menjadi endemi, tetapi bukan tak mungkin bisa menjadi pandemi lagi karena sifatnya dinamis. Guru besar evolusi virus di Oxford University, Aris Katzourakis, kepada The Guardian (1 Juni 2022), mengatakan, pandemi belum akan berakhir dan tidak ada yang tahu kapan berakhir. Hanya, perilaku virus di negara-negara yang menjalani vaksinasi bisa menjadi gambaran sekilas apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan seluruh dunia. Risiko sakit parah menjadi rendah, pemahaman tentang virus dan kekebalan tubuh manusia lebih baik, serta diperoleh data untuk menentukan strategi vaksinasi lebih lanjut.
Untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan pandemi lain di masa depan, WHO mengimbau seluruh dunia untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan masyarakat. Pandemi Covid-19 yang merajalela menunjukkan lemahnya sektor kesehatan. Direktur Kedaruratan WHO Michael Ryan mengingatkan adanya kelemahan pada pengawasan. Tingkat tes Covid-19 menurun drastis di banyak negara dalam beberapa bulan terakhir, kecuali China. Ini artinya, virus sangat mungkin menyebar dan bermutasi tanpa diketahui. ”Kita butuh data. Tanpa tes Covid-19, kita tidak tahu akan seperti apa masa depan pandemi ini. Kita juga jadi tidak peduli pada kondisi negara-negara lain,” kata Ryan.
Tedros kembali mengingatkan negara-negara untuk tidak membuang waktu dan segera bertindak. Pandemi hanya bisa berakhir jika ditangani bersama-sama. Seluruh dunia perlu membangun kesiapsiagaan, tanggap cepat, dan ketahanan darurat kesehatan. Ini harus menjadi prioritas karena pandemi Covid-19 telah mengajarkan bahwa dunia ternyata tidak siap menghadapi pandemi.
Pandemi tidak akan bisa hilang dengan sendirinya. Tetapi, kita bisa mengakhirinya karena kita punya segala peralatan yang dibutuhkan. Kita hanya perlu bekerja sama karena ini masalah yang berdampak pada kita semua.
Saat ini tengah dibicarakan perihal amendemen Peraturan Kesehatan Internasional (IHR), seperangkat hukum internasional yang mengikat dan mengatur bagaimana negara-negara menanggapi risiko kesehatan masyarakat akut. Tujuan instrumen hukum baru ini untuk merampingkan pendekatan dunia terhadap kesiapsiagaan dan tanggapan terhadap pandemi. Laporan perkembangan instrumen baru ini akan diserahkan kepada Dewan Kesehatan Dunia 2023. Hasil akhirnya akan dipertimbangkan pada pertemuan yang sama tahun 2024.
IHR yang diadopsi pada 2005 mengatur hak dan kewajiban negara dalam menangani keadaan darurat kesehatan yang dapat menyebar ke luar negeri. Di dalamnya juga didefinisikan apa yang disebut darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional atau PHEIC. Ini alarm tertinggi yang bisa dikeluarkan WHO.
Baca juga : WHO: Setelah Dua Tahun, Pandemi Masih Jauh dari Selesai
Deklarasi Covid-19 PHEIC pada 30 Januari 2020 tidak banyak membuat negara-negara segera bertindak. Baru ketika Tedros menyebut Covid-19 sudah sampai di tahap pandemi pada 11 Maret 2020, banyak negara menyadari ancaman bahayanya. Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, Jepang, Australia, dan Korea Selatan sudah mengajukan rancangan resolusi untuk memperkuat kesiapsiagaan dan tanggapan WHO terhadap keadaan darurat kesehatan. AS menekankan perlunya memperjelas peran dan tanggung jawab, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, berbagi praktik terbaik, dan berkomunikasi secara real time tentang masalah yang muncul.
WHO juga kembali mengingatkan, masih ada kesenjangan akses vaksin Covid-19 meski sudah ada skema Covax, wadah sumbangan vaksin dari sejumlah negara ke negara-negara yang membutuhkan. Meski sudah sekitar 60 persen dari total jumlah populasi dunia yang divaksin, masih ada setidaknya 1 miliar orang di negara-negara berpenghasilan rendah yang belum divaksin. Selain masalah kemampuan anggaran dan operasional, ada juga negara yang tak memiliki komitmen politik untuk vaksinasi. Ada juga sebagian masyarakat yang enggan divaksin akibat informasi yang keliru.
”Pandemi tidak akan bisa hilang dengan sendirinya. Tetapi, kita bisa mengakhirinya karena kita punya segala peralatan yang dibutuhkan. Kita hanya perlu bekerja sama karena ini masalah yang berdampak pada kita semua,” kata Tedros.