Filipina Memasuki Enam Tahun Kekuasaan Dinasti Ganda
Kedua pemimpin Filipina yang baru, Ferdinand Marcos Jr dan Sara Duterte-Carpio, berasal dari dinasti politik kuat di negara itu. Politik dinasti jamak ditemui dalam pemerintahan Filipina.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
DAVAO, SENIN — Sara Duterte-Carpio dilantik menjadi wakil presiden ke-15 Filipina pada Minggu (19/6/2022). Di negara ini, pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilakukan secara terpisah. Pada Mei lalu, Ferdinand Marcos Jr, putra dari diktator Ferdinand Marcos yang dilengserkan tahun 1986, terpilih sebagai presiden. Filipina memasuki enam tahun dipimpin oleh dinasti ganda.
Duterte-Carpio (44) dilantik di kota Davao di Pulau Mindanao. Ia didampingi ayahnya, Presiden Rodrigo Duterte. Sebelum mengikuti pemilihan umum wakil presiden, Duterte-Carpio menjabat sebagai wali kota Davao. Ia juga berpengalaman menjadi wakil wali kota Davao periode 2007-2010. Ketika itu, wali kota ialah ayahnya sendiri.
”Hal pertama yang harus kita lakukan ialah bersatu sebagai bangsa. Masa depan akan penuh dengan tantangan yang hanya bisa kita lewati bersama-sama,” kata Duterte-Carpio dalam sambutannya.
Pasangan Duterte-Carpio, presiden Filipina terpilih, Ferdinand Marcos Jr alias Bongbong, akan dilantik pada 30 Juni. Setelah itu, mereka berdua akan memimpin Filipina untuk enam tahun ke depan. Di dalam pemerintahan ini, Duterte-Carpio juga menjabat sebagai menteri pendidikan.
Kedua pemimpin Filipina ini berasal dari dinasti politik yang kuat di negara tersebut. Bongbong terusir dari Filipina ketika rakyat menggulingkan kekuasaan ayahnya, Ferdinand Marcos, dan memaksa keluarga tersebut pindah ke Amerika Serikat. Beberapa tahun setelahnya, keluarga Marcos pulang kampung ke Filipina. Mereka tidak tinggal di Manila, tetapi di Ilocos Norte, provinsi asal ibundanya, Imelda Marcos.
Keluarga Marcos membangun kembali kekuatan politik mereka di sana. Mereka hingga sekarang tidak pernah membayar ganti rugi ataupun menjalani hukuman pidana terkait berbagai kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan selama pemerintahan kleptokrasi Marcos. Justru, nama Marcos cukup laku di Ilocos Norte karena Bongbong dan saudarinya, Imee, sempat bergiliran menjabat sebagai gubernur dan senator.
Politik dinasti tidak hanya hal lumrah di pemerintahan pusat Filipina. Di pemerintahan daerah, jumlahnya jauh merajalela. Apalagi sistem presiden dan wakil presiden atau wali kota dan wakil wali kota dipilih melalui dua pemilu berbeda memungkinkan satu keluarga berpasangan. Salah satu contohnya pada 2021 sebelum Duterte mengumumkan ingin pensiun dari dunia politik, ia diperkirakan akan memenangi pilpres untuk masa jabatan kedua. Calon wakil presiden yang digadang-gadang adalah putrinya sendiri.
Di tingkat provinsi dan kota, wajar ditemui ayah dan anak menjabat sebagai gubernur dan wakil atau wali kota dan wakil. Bisa juga jabatan ini diduduki kakak dan adik. Akan tetapi, seandainya Duterte memimpin negara bersama putrinya, ini pertama kalinya Filipina diatur secara formal dan legal oleh satu keluarga inti.
Praktik dinasti politik ini sudah ada sejak Filipina merupakan koloni Spanyol. Selain praktik penjajahan, Spanyol juga menerapkan berbagai konsesi politik dengan keluarga-keluarga bangsawan penguasa satu wilayah. Misalnya, dengan memberi lahan kekuasaan mereka kepada Spanyol, keluarga bangsawan ini diberi jabatan seperti gubernur atau kepala daerah tersebut. Posisi ini kemudian diturunkan kepada ahli waris pejabat sebelumnya, antara lain anak atau bisa juga saudara kandung.
”Sistem principalia atau keluarga dengan keistimewaan ini semakin diformalkan pada masa pendudukan Amerika Serikat tahun 1899-1946. Ketika itu, AS memperkenalkan sistem pemilihan umum, tetapi yang bisa memilih hanya anggota principalia. Penduduk asli yang bisa masuk kancah politik hanya dari kalangan ini,” kata Roland Simbulan, pakar sejarah Universitas Filipina, dalam wawancara dengan majalah Esquire edisi Mei 2019.
Sekolah Kajian Oriental dan Afrika (SOAS) Universitas London pada 2016 mengeluarkan hasil penelitian yang mengungkapkan, 74 persen anggota parlemen yang memenangi pemilu legislatif nasional dan masuk dalam DPR Filipina berasal dari dinasti politik. Mereka bisa menelusuri silsilah keluarganya ke berbagai principalia di zaman pendudukan AS.
Pada 1987, dalam Undang-Undang Dasar Filipina yang diamendemen setelah penggulingan Marcos, praktik dinasti politik dinyatakan ilegal. Akan tetapi, itu hanya di atas kertas. Pada praktiknya, dinasti-dinasti tetap berkuasa. Para anggota DPR yang semestinya menjalankan amanat undang-undang justru berasal dari kalangan tersebut.
Jika dilihat, Presiden Filipina 2010-2016 adalah Benigno Aquino III alias Noynoy. Ia merupakan putra dari Benigno Aquino, senator lawan politik Marcos. Ibu Noynoy adalah Corazon Aquino, Presiden Filipina 1986-1992. Sebelum Noynoy, presiden periode 2001-2010 dijabat Gloria Macapagal Arroyo. Ayahnya, Diosdado Macapagal adalah presiden pada periode 1961-1965.
Kemenangan Bongbong dan Duterte-Carpio membuat publik global bertanya-tanya apakah masyarakat Filipina tidak ingat sejarah. Akan tetapi, jika dilihat dari persepsi masyarakat Filipina, mungkin berbeda. Marcos memang korup, tetapi para kepala negara sesudahnya juga demikian. Duterte dikecam karena melanggar hak asasi manusia dengan peraturan tembak mati untuk semua pengedar narkoba.
Pengadilan Pidana Internasional (ICC) sejak 2018 berusaha menyidangkan Duterte atas tuduhan pembunuhan atas orang-orang yang tidak bersalah, tetapi dituduh sebagai pengedar narkoba. Tercatat secara formal ada 6.000 orang yang tewas. Diduga lebih banyak lagi jumlah korban yang tidak diketahui. Mayoritas masyarakat Filipina justru mendukung tindakan ekstrem tersebut karena, bagi mereka, setidaknya ada kinerja pemerintah yang terlihat dalam memberantas peredaran narkoba.
Para pengamat politik lokal mengatakan, Bongbong membangun basis massa di media sosial, terutama di kalangan pemilih muda yang lahir pascapengusiran Marcos. Di dunia maya, Bongbong menyebarluaskan narasi bahwa ayahnya orang hebat dan pemimpin negara yang berwibawa.
Namun, Guru Besar Emeritus Universitas Monash, Australia, Ariel Heryanto, menjelaskan, seseorang tidak akan begitu saja terpengaruh dengan narasi-narasi baru. Media sosial sejatinya ruang gema raksasa. Artinya, setiap orang hanya mengakses konten-konten yang sesuai dengan minatnya. Ia tidak akan mengikuti berbagai unggahan mengenai Marcos secara kebetulan, tetapi sedari awal memang sudah menyukai Marcos atau praktik politik yang mirip dengan Marcos. (Kompas.id, 21 Mei 2022).
Ia membandingkan dengan pengalaman korban kekerasan domestik dan rumah tangga (KDRT). Sering sekali setelah dimediasi, bahkan dilaporkan kepada aparat penegak hukum, korban KDRT memilih kembali ke rumah bersama dengan pelaku. Penyebab keputusan tersebut bermacam-macam dan membutuhkan penyelidikan mendalam untuk melihat faktor tarik dan ulurnya. Akan tetapi, korban itu menyadari betul bahwa ia kembali terpapar risiko kekerasan. (Reuters)