Gencarnya disinformasi dan misinformasi oleh kubu Marcos di media sosial paling banyak disebut sebagai penyebab kemenangan Bongbong.
Oleh
Ariel Heryanto
·5 menit baca
KOMPAS/RIZA FATHONI
Ariel Heryanto
Hasil pemilu di Filipina minggu lalu mengejutkan dunia. Bongbong (Ferdinand Marcos Junior) unggul dengan jumlah suara berlipat ganda melampaui pesaingnya. Ia putra diktator Ferdinand Marcos (1965-1986) yang terkenal kejam menindas rakyat dan rakus menjarah harta negara.
Marcos terguling people power pada 1986. Pada masa itu, di Indonesia diktatornya jauh lebih kejam dan rakus. Topik demokrasi kerakyatan RI tak mungkin dibahas terbuka. Maka peristiwa di Filipina diliput besar-besaran di media massa RI untuk melampiaskan rindu dendam politik di tanah air sendiri. Dendam itu meletup dalam Reformasi 1998 dan akhir kekuasaan Soeharto persis 24 tahun lalu hari ini.
Mengapa rakyat Filipina memilih Bongbong? Sejumlah ulasan berusaha menjawabnya. Tapi mereka tidak cukup memuaskan. Gencarnya disinformasi dan misinformasi oleh kubu Marcos di media sosial paling banyak disebut sebagai penyebab kemenangan Bongbong. Hal itu biasanya disambung dengan teori lain, yakni amnesia publik. Rakyat Filipina diduga banyak yang lupa pada korupsi dan penindasan Marcos senior sejak memberlakukan hukum darurat perang (1972).
Separuh pemberi suara tidak lahir dan dibesarkan pada masa pemerintahan Marcos senior. Mereka diduga terbuai kisah muluk-muluk yang disebarkan kubu Bongbong tentang jasa dan kehebatan Marcos senior. Biar pun propaganda pro-Marcos itu nyata, fakta tersebut tidak cukup menjelaskan melimpahnya lebih dari separuh jumlah total suara pemilih untuk Bongbong.
Analisis tadi bermasalah tapi terlanjur populer. Analisis demikian membesar-besarkan pengaruh disinformasi dan misinformasi di media sosial. Sekaligus meremehkan kemampuan khalayak untuk mencerna pesan yang beredar. Pandangan lemah itu banyak dipakai untuk menjelaskan aneka kasus lain.
AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN
Seorang pastur Katolik (kiri) menyampaikan aspirasi dalam aksi unjuk rasa di depan Komisi Pemilihan Umum di Manila, Filipina, Rabu (11/5/2022).
Misalnya kemenangan Donald Trump dalam pemilu di Amerika Serikat (2017). Juga laris dalam pembahasan kalahnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017. Andaikan Indonesia dibanjiri propaganda yang memuliakan tokoh penerus Orde Baru, apakah hasil pemilu 2024 akan mirip di Fillipina minggu lalu? Sama sekali tidak pasti.
Sebagian besar dari kita bukan makhluk yang tak berdaya dibentuk oleh banjir informasi atau disinformasi. Orde Baru pernah berusaha mem-Pancasila-kan bangsa Indonesia lewat indoktrinasi besar-besaran. Tujuan itu tak pernah tercapai hingga Orde Baru runtuh. Khotbah tidak otomatis membuat orang memeluk agama yang dikhotbahkan. Orang tidak menjadi Marxis semata-mata karena membaca buku Marxisme. Atau jadi LGBT karena menonton film bertema LGBT.
Yang terjadi justru sebaliknya. Dalam kehidupan sehari-hari, orang giat mencari dan mengkonsumsi konten informasi yang disukai. Jika informasi dan disinformasi tersedia dalam berbagai ragam, maka yang utama dicari bukan yang paling lengkap atau akurat. Tetapi yang cocok dengan pandangan, keyakinan dan kepentingan sendiri. Yang membuat hati nyaman, batin tenteram dan praduga semakin kokoh.
Konten informasi dan disinformasi itu bisa beraneka. Ada yang memuji diri sendiri atau memuliakan kelompok sendiri. Ada yang memberikan gambaran suram tentang dunia atau buruknya kelompok lain. Yang berbeda atau bertolak-belakang dengan paham atau prasangka diri sendiri biasanya disisihkan. Hanya bila terdesak atau terancam informasi lawan, orang akan melawan atau menyanggah mati-matian.
Dalam pemilu Filipina tahun ini, saya duga banyak pemberi suara yang memang suka, bukan lupa, kisah-kisah tentang Marcos senior. Mereka kurang peduli apakah kisah itu cacat atau akurat. Kisah-kisah begitu memperkuat sikap yang sudah dan sedang mereka miliki. Ini gejala umum di berbagai kasus kontroversial, termasuk kemenangan Trump, dan gerakan anti-Ahok.
AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN
Petugas polisi mengikuti apel saat mengawal aksi unjuk rasa di depan kantor Komisi Pemilihan Umum di Manila, Filipina, Rabu (11/5/2022).
Sebagian anak muda di Barat belajar membuat bom lewat Youtube, lalu menjadi sukarelawan perang di Timur Tengah. Atau menjadi teroris tunggal di pusat kota tanpa ada perang. Bukan karena menonton video, mereka kemudian jadi radikal. Sebaliknya: karena sudah radikal, mereka mencari dan menonton video dengan konten yang sesuai gairah mereka.
Jika bukan karena disinformasi, lalu mengapa banyak rakyat Filipina mendukung kubu Bongbong? Mengapa banyak pendukung fanatik Trump atau pembenci berat Ahok? Yang layak dikaji lebih cermat sebagai faktor penyebab adalah kondisi material kehidupan sehari-hari selama bertahun-tahun.
Paling sedikit faktor material itu berupa kebutuhan hidup mendasar: air bersih, makan, perumahan dan kesehatan. Tentu tidak sebatas itu. Ketimpangan sosial-ekonomi semakin parah di sebagian besar dunia. Tak jelas ada tanda-tanda perbaikan dalam jangka dekat.
Senjangnya kehidupan material tidak sendirian atau otomatis menjelaskan terpilihnya Bongbong dalam pemilu Filipina. Faktor itu sangat penting, dan lebih kuat ketika ditambah faktor-faktor non-material termasuk disinformasi. Semuanya membangkitkan fanatisme yang tidak meluas di masa sebelumnya atau masa mendatang ketika kondisi material jauh lebih baik.
Sosok "tegas" (dalam arti hiper-maskulin) dirindukan di banyak negara. Kerinduan ini bisa muncul di mana saja, di saat masyarakat luas putus asa dan dikecewakan berat oleh lembaga hukum, politik, agama dan pendidikan. Ketika kekerasan dipandang menjadi cara paling lazim dan manjur untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Uraian di atas membuahkan beberapa hikmah yang bertolak belakang dengan pandangan umum. Jika disinformasi bukan penyebab utama masalah sosial, maka sensor bukan obat yang paling manjur. Pemilu Filipina 2022 mengajarkan bahwa perjuangan untuk demokrasi tak cukup dengan melawan banjir hoaks. Tidak cukup dengan menyebarkan kebenaran.
Dalam banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terjadi berulang kali pada korban yang sama. Korbannya sempat menjauh dari pelaku, lalu memilih hidup bersama dengan pelaku lagi. Kemudian KDRT terulang kembali.
Mengapa banyak korban KDRT masih memilih hidup bersama pelaku setelah berkali-kali dianiaya? Sebabnya bisa bermacam-macam. Yang jelas, bukan karena mereka lupa pada kekerasan terdahulu.
Ariel Heryanto, Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia