Jepang Galang Dukungan Dana bagi Pengungsi Ukraina
Jepang menerima sekitar 1.200 pengungsi Ukraina. Jumlah bisa bertambah. Meski dikritik karena Jepang meminggirkan pengungsi Afghanistan-Myanmar, kebijakan itu diharapkan mengarah pada kebijakan imigrasi yang lebih lunak.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TOKYO, SENIN — Nippon Foundation, sebuah yayasan di Jepang, mengumumkan bahwa mereka tengah meluncurkan program penggalangan dana bagi sekitar 1.200 pengungsi Ukraina di Jepang. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan membiayai studi bahasa selama berada di ”Negeri Matahari Terbit”.
Jumpei Sasakawa, Direktur Eksekutif Nippon Foundation, Senin (13/6/2022), mengumumkan bahwa pihaknya menargetkan bisa mengumpulkan dana sekitar 1 miliar yen atau sekitar 7,4 juta dollar AS (setara sekitar Rp 109 miliar). Yayasan yang didirikan Ryoichi Sasakawa, politisi sayap kanan dan pengusaha, telah menjanjikan dana sebesar 5 miliar yen atau sekitar 37 juta dollar AS untuk membiayai pengungsi Ukraina di Jepang.
Sejauh ini Pemerintah Jepang telah menerima sekitar 1.200 pengungsi Ukraina yang meninggalkan rumah mereka setelah Rusia menginvasi Ukraina, 24 Februari 2022.
Duta Besar Ukraina untuk Jepang Sergiy Korsunsk meminta Jepang dan masyarakatnya untuk melihat bantuan tersebut sebagai investasi pada negara yang akan selalu menjadi teman bagi mereka. Ia mengatakan, warga Ukraina di Jepang akan menjadi jembatan penghubung kedua negara dan pemerintahan ketika Ukraina telah siap membangun kembali wilayahnya.
Pemerintah Jepang bergabung dengan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia. Tokyo memandang krisis Ukraina dengan kacamata krisis di Selat Taiwan. Sejak perang meletus di Ukraina, Jepang khawatir situasi yang sama bisa terjadi di Asia Timur, khususnya terkait hubungan China dan Taiwan.
Bagi Jepang, penerimaan pengungsi merupakan hal yang tidak biasa. Negara itu memiliki kebijakan soal pengungsi dan imigrasi yang sangat ketat. Para pendukung kebijakan pengungsi menyatakan harapan mereka bahwa keputusan menerima pengungsi Ukraina saat ini akan mengarah pada kebijakan imigrasi yang lebih lunak ke depan.
Para aktivis hak asasi manusia mengkritik Pemerintah Jepang karena Tokyo mengabaikan para pengungsi dari negara lain, seperti Afghanistan dan Myanmar, saat dua negara itu dilanda gejolak politik. Pengungsi dari Afghanistan dan Myanmar belum menerima sambutan hangat atau sistem dukungan yang terorganisasi secara nasional di Jepang.
Duta Besar AS untuk Jepang Rahm Emanuel mengatakan, menerima pengungsi asal Ukraina menjadi hal yang tepat di tengah jumlah angkatan kerja yang menurun di Jepang. ”Saya akan mengatakan, ini adalah situasi yang saling menguntungkan,” katanya.
”Jepang dapat menggunakan bantuan (yang mereka berikan) untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, sedangkan orang Ukraina atau pengungsi dapat membawa keahlian mereka dan mencari pekerjaan serta berkontribusi pada rumah baru sementara mereka,” jelas Emanuel.
Menurut catatan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), hingga saat ini jumlah warga Ukraina yang telah keluar dari wilayah negaranya dan memasuki wilayah negara lain telah mendekati angka delapan juta orang. Polandia dan Rusia adalah dua negara tetangga yang menerima pengungsi paling banyak dari Ukraina, yakni secara berurutan sekitar 1,152 juta jiwa dan 1,136 juta jiwa.
Para pengungsi Ukraina tersebar di sejumlah negara Eropa. Jerman dan Ceko, misalnya, menerima pengungsi Ukraina masing-masing 780.000 jiwa dan 366.632 jiwa.
Masalah biaya
Namun, tidak semua negara memberlakukan kemudahan bagi warga Ukraina yang ingin mengungsi dan menjalani hidup yang lebih baik di tempat pengungsian. Seperti dikutip media New Zealand Herald, para pengungsi Ukraina yang ingin tinggal di Selandia Baru mengalami kesulitan dalam hal biaya hidup dan transportasi dari lokasi pengungsian sementara ke tempat tinggal barunya, Selandia Baru.
Valeriya Horyayeva, warga Ukraina kelahiran Selandia Baru, mengatakan, ia beruntung bisa bersatu kembali dengan ibunya yang tinggal di Nelson, Selandia Baru. ”Tidak mudah untuk bisa datang ke Selandia Baru karena harga tiket dari Eropa ke negara ini mahal. Biaya hidup di negara ini juga tinggi,” katanya.
Horyayeva menuturkan bahwa banyak warga Ukraina yang meninggalkan kampung halamannya dengan hanya membawa satu tas berisi dokumen penting dan baju. ”Ketika mereka tiba di Selandia Baru, tidak banyak yang mendukung mereka. Jadi, akan sangat berharga bagi kami, bagi warga Ukraina yang mengungsi, apabila ada yang bisa menyediakan bantuan,” katanya.
Tidak lama setelah invasi Rusia ke Ukraina berlangsung, Pemerintah Selandia Baru menawarkan visa khusus bagi sekitar 4.000 pengungsi Ukraina yang memiliki keluarga di Selandia Baru untuk datang dan menetap. Akan tetapi, survei yang dilakukan World Vision dan Mahi, dua lembaga swadaya masyarakat, menyebutkan hanya 14 persen atau sekitar 160 orang yang memenuhi syarat dan akhirnya bisa datang serta tinggal di Selandia Baru.
Hasil survei tersebut juga menyebutkan banyak warga Selandia Baru berdarah Ukraina ingin mensponsori kedatangan sanak keluarga mereka. Akan tetapi, keinginan itu terkendala oleh ongkos penerbangan ke Selandia Baru yang tergolong mahal.
Kate Turska, juru bicara kedua lembaga itu, mengatakan, sebagian besar warga Ukraina yang datang ke Selandia Baru sudah berusia lanjut dan tidak bisa bekerja. Menurut dia, jika Pemerintah Selandia Baru mau mengubah kebijakannya, terutama dukungan pendanaan bagi para pengungsi yang baru datang, hal itu akan memberi harapan baru bagi para pengungsi. (AP/MHD)