Kabar viral tentang jual beli jari-jari kaki warga Zimbabwe memaksa pemerintah turun tangan. Benarkah rakyat Zimbabwe terpaksa jual jari kaki karena ekonomi susah?
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
Di tengah ekonomi susah, warga Zimbabwe terpaksa menjual jari-jari kakinya. Uang hasil jual-beli itu lantas digunakan untuk membeli kebutuhan pokok yang kian tak terjangkau. Di Zimbabwe, jari kaki manusia digunakan untuk pengobatan tradisional. Mengutip kantor berita BBC, harga jari kaki berkisar 10.000-40.000 dollar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 147 juta-Rp 588 juta.
Kabar orang jual jari kaki untuk membeli kebutuhan pokok di Zimbabwe sempat viral di media sosial dan internet. Saking viralnya unggahan soal jari jemari kaki #Chigunwe telah memaksa Wakil Menteri Informasi Zimbabwe Paradza turun ke pasar-pasar di sekitar ibu kota Harare untuk melihat fakta di akar rumput. Ia meminta satu per satu pedagang yang ditemuinya melepas sepatu dan menunjukkan jari jemari kaki mereka.
Baca juga : Kelaparan Global Memburuk, PBB Upayakan Akses Ekspor Gandum UkrainaTim pemerintah dan pemeriksa fakta, baik lokal maupun asing, juga mengecek kasus setidaknya di Harare. Dari hasil cek itu, Paradza menegaskan, kabar orang jual jari kaki di Zimbabwe adalah bohong.
Polisi menyatakan telah menangkap seorang pedagang kaki lima yang diduga menjadi otak kabar viral itu. Tersangka mengunggah kabar itu ke media sosial. Dia terancam hukuman pidana enam bulan penjara dan denda.
Tetapi, bagi Asani Sibanda, warga Harare, menjual bagian tubuhnya demi sejumlah uang untuk menghidupi keluarganya bukan tak mungkin ia lakukan. ”Jari kaki saya memang masih utuh. Tapi, tidak ada salahnya menjual satu. Saya tetap masih bisa berjalan tanpanya. Tapi, keluarga saya setidaknya akan mendapatkan makanan,” kata Sibanda.
Apa yang disampaikan Sibanda mungkin mewakili aspirasi warga Zimbabwe. Ekonomi Zimbabwe susah selama pandemi Covid-19. Dan, sejak invasi Rusia ke Ukraina per 24 Februari 2022, situasi kian memburuk.
Harga bahan pangan dan bahan bakar, misalnya, meroket. Hari-hari ini tingkat inflasi Zimbabwe melonjak dari 66 persen menjadi 130 persen. ”Guru tidak mampu lagi membeli roti dan kebutuhan dasar lainnya,” cuit Persatuan Guru Progresif Zimbabwe, awal Juni.
Sebanyak tiga asosiasi guru terbesar di negara itu menuntut pemerintah membayar gaji mereka dalam mata uang dollar AS. Sebab, gaji mereka dalam mata uang lokal nilainya kian tergerus hingga nyaris tak mampu untuk membeli barang kebutuhan pokok.
Analis ekonomi Universitas Witwatersrand di Johannesburg, Prosper Chitambara, mengatakan, nilai riil mata uang lokal Zimbabwe ambruk karena inflasi tinggi. ”Individu dan perusahaan tidak lagi memercayai mata uang lokal. Hal itu menekan nilai mata uang lokal. Perang Ukraina memperburuk situasi yang sudah sulit,” katanya.
Pada Maret, kurs satu dollar AS setara dengan 210 dollar Zimbabwe. Situasi ekonomi yang memburuk membuat kurs mata uang lokal terus tergerus. Kini, kurs satu dollar AS setara dengan 400 dollar Zimbabwe. Di pasar gelap, kurs satu dollar AS setara dengan 450 dollar Zimbabwe.
Menteri Keuangan Zimbabwe Mthuli Ncube, di hadapan parlemen, awal Mei, mengatakan, perang dan ketidakseimbangan domestik membuat ekonomi nasional tidak stabil. Dampaknya, volatilitas kurs mata uang meluas ke volatilitas harga kebutuhan pokok.
Banyak yang khawatir Zimbabwe akan kembali ke krisis ekonomi seperti pada 2008 ketika negara itu mengalami hiperinflasi hingga 500 miliar persen. Saat itu, satu kantong plastik uang kertas bernilai 100 triliun dollar Zimbabwe tidak cukup untuk membeli bahan kebutuhan pokok.
Pada suatu masa, Zimbabwe mengalami masa keemasan. Saat ini ekonomi negara itu hancur akibat deindustrialisasi, korupsi, rendahnya investasi, hingga tumpukan utang. Perang Ukraina membuat persoalan memburuk.
Guna mengatasi kesulitan itu, warga Zimbabwe dibawa kembali ke masa-masa hiperinflasi. Untuk bertahan hidup, mereka biasanya membeli bahan pangan dalam jumlah kecil. Tidak jarang dalam paket kecil untuk sekali makan, yang sering disebut sebagai “tsaona” dalam bahasa lokal.
Ncube berjanji pemerintah tidak akan ragu-ragu mengeluarkan kebijakan untuk melindungi warga. Namun, janji ini ditanggapi dengan skeptis oleh banyak pihak. (AP)