Kelaparan Global Memburuk, PBB Upayakan Akses Ekspor Gandum Ukraina
PBB tengah mengupayakan pembukaan keran ekspor biji-bijian Ukraina dan Rusia ke pasar global. Krisis pangan global mendekati titik terburuk, dengan angka kerawanan pangan akut naik hingga 500 persen.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
NEW YORK, KAMIS – Ratusan juta jiwa terancam rawan pangan dan kelaparan karena situasi krisi pangan yang semakin kompleks, didorong oleh perang Rusia-Ukraina. Perserikatan Bangsa-Bangsa tengah mencoba melakukan pendekatan intensif dengan Rusia dan sejumlah negara penting untuk membuka ruang ekspor biji-bijian yang disimpan di pelabuhan Ukraina serta memastikan produk pangan dan pupuk Rusia memiliki akses tak terbatas ke pasar global.
”Implikasi keamanan, ekonomi, dan keuangan yang kompleks memerlukan niat baik di semua pihak agar kesepakatan paket tercapai. Saya tidak akan merinci karena pernyataan publik dapat merusak peluang keberhasilan,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Rabu (18/5/2022) dalam pertemuan yang membahas soal krisis pangan di markas PBB di New York, Amerika Serikat. Guterres tidak mau menjelaskan secara rinci upaya yang tengah dijalankannya, termasuk melobi Kremlin, Kiev, Turki, AS, hingga Uni Eropa untuk mewujudkan rencananya itu.
Guterres diketahui telah berbicara dengan Wakil Perdana Menteri I Rusia Andrei Belousov, Selasa (17/5/2022), tentang ekspor pupuk dan biji-bijian Rusia. Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan, diskusi berlangsung dengan baik. Meski demikian, akses Ukraina ke pasar internasional adalah isu terpisah yang harus dipecahkan. ”Kami siap untuk melakukan bagian kami. Akses pasar gandum Ukraina, itu hal lain,” kata Nebenzia.
Nebenzia mengatakan, meski tidak ada sanksi langsung terhadap pupuk atau biji-bijian Rusia, ada efek mengerikan pada pengiriman, asuransi, dan perbankan setelah Amerika Serikat dan negara-negara lain mulai menghukum Rusia atas yang disebut Moskwa sebagai ”operasi militer khusus” di Ukraina.
Kerawanan pangan
Guterres mengatakan, invasi Rusia ke Ukraina mendorong percepatan krisis pangan dan kelaparan global ke titik tertinggi baru setelah selama dua tahun terakhir perubahan iklim, pandemi Covid-19, dan ketidaksetaraan akses bahan pangan menjadi penyebab kenaikan angka kerawanan pangan dunia. Konflik telah menutup pelabuhan Laut Hitam Ukraina, menghentikan ekspor makanan ke banyak negara miskin dan berkembang.
Data Badan Pangan Dunia meyebutkan, kerawanan pangan yang berujung pada kelaparan telah mencapai titik tertinggi baru. Jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan parah berlipat ganda hanya dalam dua tahun terakhir, dari sebelumnya 135 juta jiwa sebelum pandemi menjadi 276 juta jiwa saat ini. Guterres juga menyatakan lebih dari setengah juta jiwa dalam kondisi kelaparan akut, meningkat lebih dari 500 persen dibandingkan tahun 2016.
Bahkan, dalam kunjungannya ke kawasan Sahel, Afrika, Guterres bertemu keluarga yang menyatakan tidak tahu dari mana bahan pangan akan mereka dapatkan pada hari tersebut.
Laporan Global Krisis Pangan yang dirilis bersama oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Program Pangan Dunia PBB (WFP), dan Uni Eropa, Selasa (3/5/2022), menyebutkan, krisis ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19 memukul 30,2 juta orang di 21 negara. Cuaca ekstrem menjadi penyebab utama kerawanan pangan akut yang menimpa 23,5 juta orang di delapan negara Afrika.
Selama enam tahun terakhir, kerawanan pangan berlipat ganda. PBB mendefinisikan kerawanan pangan akut sebagai ketidakmampuan seseorang untuk mengonsumsi cukup makanan untuk menopang hidupnya. ”Ini kelaparan yang bisa menyebabkan kematian,” sebut FAO.
Negara-negara yang didera konflik berkepanjangan, seperti Afghanistan, Kongo, Etiopia, Nigeria, Sudan Selatan, Suriah, dan Yaman, adalah negara dengan populasi terbesar yang mengalami kerawanan pangan akut. Laporan itu juga menyebut, Somalia akan mengalami krisis pangan terburuk tahun ini akibat kemarau berkepanjangan. Dampaknya, harga bahan pangan melonjak dan kekerasan tidak kunjung berhenti (Kompas, 5 Mei 2022).
David Beasley, Kepala Program Pangan Dunia (WFP) PBB, memperingatkan, kegagalan untuk membuka pelabuhan akan menjadi deklarasi perang terhadap ketahanan pangan global. Hal itu akan berujung pada kelaparan dan destabilisasi negara serta migrasi massal karena kebutuhan.
Beasley menyatakan, krisis pangan global tidak hanya soal perang di Ukraina, tetapi juga soal warga miskin di negara miskin yang tidak memiliki akses atas produk pangan global.
”Ini tentang yang termiskin dari orang miskin di seluruh dunia yang berada di ambang kelaparan saat kita berbicara. Jadi, saya meminta Presiden (Rusia Vladimir) Putin, jika Anda punya hati, tolong buka pelabuhan-pelabuhan ini sehingga kita dapat memberi makan bagi yang paling miskin dari orang miskin dan menghindari kelaparan, seperti yang telah kita lakukan di masa lalu ketika negara-negara di ruangan ini melangkah bersama,” katanya.
Guterres mengatakan, Ukraina dan Rusia menyumbang sepertiga produksi gandum dan jelai dunia serta setengah produksi minyak bunga matahari. Rusia dan Belarus adalah produsen potas nomor dua dan tiga dunia, bahan utama untuk pupuk.
”Tidak ada solusi efektif untuk krisis pangan tanpa mengintegrasikan kembali produksi pangan Ukraina serta makanan dan pupuk yang diproduksi Rusia dan Belarusia ke pasar dunia meskipun ada perang,” katanya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken yang hadir dan memimpin pertemuan tersebut mengatakan, Rusia harus dipaksa untuk membuat koridor sehingga makanan dan pasokan bahan penting lain dapat dengan aman dikirim ke luar Ukraina, baik melalui jalur darat maupun laut. Diperkirakan ada 22 juta ton biji-bijian tersimpan di silo Ukraina saat ini. ”Makanan itu bisa langsung digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan jika bisa keluar begitu saja dari negara itu,” kata Blinken.
Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock menyerang Rusia dengan mengatakan, kelaparan dan kekurangan bahan pangan adalah pembunuh senyap, senjata lain yang dimainkan oleh Kremlin.
”Dengan memblokir pelabuhan Ukraina, dengan menghancurkan silo, jalan, dan rel kereta api, dan terutama ladang petani, Rusia telah meluncurkan perang biji-bijian, memicu krisis pangan global,” katanya.
Untuk mengatasi krisis, Bank Dunia menyatakan akan menyediakan dana senilai 30 miliar dollar AS atau sekitar Rp 440 triliun. Sebanyak 18 miliar dollar AS di antaranya bisa dimanfaatkan untuk proyek-proyek terkait penyediaan bahan pangan dan gizi yang telah disetujui, tetapi belum dicairkan dan sisanya untuk pengerjaan proyek baru.
Dalam pernyataan, Bank Dunia mengatakan, proyek-proyek baru diharapkan bisa mendukung pertanian, perlindungan sosial untuk melindungi dampak dari harga pangan yang lebih tinggi pada orang miskin, serta proyek-proyek air dan irigasi. Mayoritas proyek baru itu akan dilaksanakan di Afrika dan Timur Tengah, Eropa Timur dan Asia Tengah, serta Asia Selatan. (AP/Reuters)