Pertumbuhan Ekonomi Dunia 2022 Melambat akibat Perang
Di tengah situasi pelik akibat perang, pandemi Covid-19 bisa memperburuk perekonomian dunia. Guna menghadapi tantangan itu, negara-negara perlu melindungi warganya yang paling rentan.
Oleh
FRANSISCA ROMANA
·3 menit baca
PARIS, RABU — Perekonomian dunia harus membayar mahal akibat invasi Rusia ke Ukraina. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan melambat, sementara inflasi bakal lebih tinggi.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Rabu (8/6/2022), menyebutkan, produk domestik bruto (PDB) global akan tumbuh 3 persen pada 2022, turun tajam dari perkiraan pada Desember 2021 sebesar 4,5 persen. Organisasi yang mewakili 38 negara maju ini juga memperkirakan inflasi di negara-negara anggotanya akan meningkat dua kali lipat. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, serta negara-negara Amerika Latin dan Eropa akan mengalami inflasi hingga 8,5 persen, tertinggi sejak tahun 1988.
”Dunia akan membayar harga mahal akibat perang Ukraina dan Rusia. Seperti apa penurunan pertumbuhan dan peningkatan inflasi akan sangat tergantung bagaimana perang berlangsung. Tetapi jelas, negara-negara miskin akan terpukul paling keras,” kata Laurence Boone, Kepala Perekonomian dan Wakil Sekretaris Jenderal OECD.
Sebelum perang pecah, prakiraan ekonomi global untuk tahun 2022-2023 tampaknya akan membaik. Pertumbuhan ataupun inflasi diperkirakan kembali normal setelah dunia diterpa pandemi Covid-19. Akan tetapi, invasi Rusia ke Ukraina, bersama penutupan kota-kota besar di China akibat Covid-19, menimbulkan serangkaian kejutan tak terduga.
Seharusnya laporan OECD terbit pada Maret, tetapi ditunda untuk mengkaji detail sampai saat ini akibat ketidakpastian perang. OECD memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk AS dari 3,7 persen menjadi 2,5 persen. Adapun untuk China, pertumbuhan dipangkas dari 5,1 persen menjadi 4,4 persen. PDB zona euro saat ini diperkirakan tumbuh hanya 2,6 persen, alih-alih 4,3 persen seperti perkiraan sebelumnya.
OECD menyebutkan, harga-harga komoditas meningkat, menghantam pendapatan dan pengeluaran riil, terutama bagi rumah tangga yang paling rentan. ”Di banyak perekonomian yang sedang tumbuh, risiko kekurangan pangan terhitung tinggi karena bergantung pada ekspor pertanian Ukraina dan Rusia,” sebut OECD.
Laporan tersebut juga memperingatkan dampak perang di Ukraina kemungkinan bakal lebih besar daripada yang diperkirakan, apalagi jika ada skenario pemutusan suplai gas Rusia ke Eropa. Seiring pengetatan kebijakan moneter bank-bank sentral untuk mengatasi inflasi, kenaikan tajam pada suku bunga acuan akan menghantam pertumbuhan ekonomi lebih besar daripada yang diantisipasi.
Bank Dunia telah merevisi angka perekonomian global pada Selasa. Pertumbuhan global diperkirakan turun dari 4,1 persen menjadi 2,9 persen. Dana Moneter Internasional (IMF) juga memangkas perkiraan pertumbuhan menjadi 3,6 persen pada April lalu.
Di tengah situasi pelik akibat perang, pandemi Covid-19 bisa memperburuk perekonomian dunia. ”Varian baru yang lebih agresif dan menular mungkin akan muncul, sementara penerapan kebijakan nihil Covid-19 di China berpotensi melemahkan permintaan global dan mengganggu rantai pasok untuk beberapa waktu ke depan,” sebut laporan OECD.
Guna menghadapi tantangan itu, negara-negara perlu melindungi warganya yang paling rentan dari gelombang kejut di sektor perekonomian. Dalam jangka pendek, langkah-langkah fiskal sementara, tepat waktu, dan tepat sasaran akan menolong rumah tangga paling miskin. Untuk jangka menengah hingga panjang, negara-negara perlu berinvestasi lebih banyak pada energi bersih dan belanja pertahanan.
”Pilihan pembuat kebijakan negara dan warga negaranya akan krusial untuk menentukan bagaimana harga mahal perang ini akan dibayar oleh masyarakat global,” ujar Boone. (AFP)