Turki bergeming soal keinginan Finlandia dan Swedia menjadi anggota NATO. Presiden Recep Tayyip Erdogan ingin ada bukti konkret dari kedua negara soal terorisme.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
ANKARA, SENIN — Jalan bagi Swedia dan Finlandia untuk menjadi anggota NATO dipastikan tidak akan mudah. Turki, khususnya Presiden Recep Tayyip Erdogan, masih belum meyakini bahwa kedua negara tersebut sejalan dengannya dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Bahkan, Erdogan berniat untuk menghadang upaya tersebut.
”Selama Tayyip Erdogan adalah pemimpin Republik Turki, kami tidak bisa mengatakan ’ya’ kepada negara-negara pendukung teror untuk bergabung dengan NATO,” kata Erdogan, menurut surat kabar harian Hurriyet, Minggu (29/5/2022). Erdogan juga menambahkan, pembicaraan antara delegasi Turki, Finlandia, dan Swedia, pekan lalu, belum memperlihatkan kesamaan pandangan.
Erdogan menuding pemerintah Swedia dan Finlandia tidak tulus dalam pembicaraan tiga pihak tersebut. Dia mengatakan pemerintah Swedia dan Finlandia masih memberi perlindungan kepada para pihak yang selama ini dicari oleh aparat keamanan Turki karena diduga melakukan atau menjadi bagian dari upaya kudeta terhadap Erdogan pada tahun 2016.
”Mereka tidak jujur atau tulus,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa kedua pemerintahan negara Skandinavia itu turut memberi kehidupan dan melindungi kelompok atau individu yang disebut sebagai ”musuh-musuh Pemerintah Turki”.
Ketidakseriusan Swedia untuk menjadi anggota NATO, menurut Erdogan, salah satunya karena stasiun televisi milik Pemerintah Swedia mewawancarai Salih Muslim, seorang anggota parlemen Kurdi Suriah, bertepatan dengan pertemuan delegasi Turki-Finlandia-Swedia untuk membahas NATO. Erdogan menganggap ini sebagai bukti ketidakseriusan dan dukungan Swedia terhadap militan Kurdi Suriah, yang dalam pandangan Ankara sebagai perpanjangan tangan kelompok Kurdi yang melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Turki sejak tahun 1984.
Turki telah memerangi Partai Pekerja Kurdistan (PKK) sejak 1984. Tidak hanya di wilayah Turki, tetapi juga hingga ke Irak utara. Ankara juga telah memimpin operasi lintas batas ke Suriah untuk mendorong YPG, yang dianggap pemerintahan Erdogan sebagai penjelmaan PKK.
Erdogan tidak hanya menuding Finlandia dan Swedia sebagai negara yang melindungi ”kelompok pemberontak”, tetapi juga menuding Jerman, Perancis, dan Belanda telah melakukan tindakan serupa. Tiga negara terakhir, yang juga merupakan anggota NATO, dianggap telah melakukan kesalahan.
”Kami tidak bisa mengulangi kesalahan yang dibuat di masa lalu, tentang negara-negara yang merangkul dan memberi makan teroris (ada) di NATO yang merupakan organisasi keamanan,” katanya.
Dalam pertemuan antara delegasi Finlandia dan Swedia, pekan lalu, Pemerintah Turki telah menyerahkan dokumen yang merinci keprihatinan Turki terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Finlandia dan Swedia. Ankara menyerahkan setidaknya lima daftar tuntutan dan jaminan yang konkret dari Swedia dan Finlandia, termasuk penghentian dukungan politik terhadap tindakan terorisme, penghapusan sumber pendanaan terorisme, hingga melarang kedua negara tersebut memberikan lampu hijau untuk orang-orang serta kelompok yang menentang Ankara, terutama warga Kurdi (Kompas.id, 28/5/2022).
Selain itu, hal yang mengganggu hubungan Turki dengan Swedia adalah pembatasan penjualan senjata. Pembatasan ini terjadi setelah pada tahun 2019, dunia internasional, termasuk Finlandia dan Swedia, mengecam tindakan militer Turki yang menyerang basis YPG di Irak. YPG adalah tulang punggung Pemerintah AS untuk menghadapi kombatan Negara Islam di Irak dan Suriah.
”Sama seperti kami melakukan operasi di Irak utara melawan PKK dan keturunan PKK, situasi yang sama bahkan lebih berlaku di Suriah dan jauh lebih penting,” kata Erdogan.
Pemerintah Swedia dan Finlandia mengatakan mereka sejalan dengan sikap Turki tentang terorisme global. Mereka menentang terorisme dan ingin berkoordinasi dengan Ankara.
”Upaya diplomatik sedang berlangsung. Kami menolak berkomentar lebih lanjut pada saat ini,” kata Menteri Luar Negeri Swedia Ann Linde dalam komentar e-mail kepada Reuters menyusul pernyataan terbaru Erdogan. (AP/REUTERS)