China-Rusia Jegal Upaya DK PBB Jatuhkan Sanksi Baru atas Korut
China dan Rusia memveto resolusi usulan Amerika Serikat yang dirancang untuk menjatuhkan sanksi lebih berat bagi Korea Utara. Dua negara itu menilai, dialog sebagai cara yang tepat saat berhadapan dengan Korea Utara.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
NEW YORK, JUMAT — China dan Rusia memveto rancangan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan memberlakukan sanksi baru terhadap Korea Utara sebagai respons atas serangkaian uji coba rudal balistik antarbenua. Dalam pemungutan suara yang digelar di Markas Besar PBB, New York, AS, Kamis (26/5/2022) waktu setempat atau Jumat dini hari WIB, sebanyak 13 negara anggota DK PBB mendukung resolusi, tetapi dua negara lainnya, yaitu China serta Rusia, menolak.
Peta diplomasi di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) ini menandai perbedaan yang semakin tajam di kalangan lima negara anggota DK PBB pemilik hak veto dalam menyikapi isu Korea Utara: AS, Inggris, dan Perancis di satu sisi serta China dan Rusia di sisi lainnya. AS yang mensponsori resolusi tersebut menyatakan kekecewaannya meski tidak terkejut pada penolakan dari dua negara rivalnya.
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan, 23 kali peluncuran rudal balistik oleh Pyongyang sepanjang tahun ini, termasuk enam rudal balistik antarbenua (intercontinental ballistic missile atau IBM) setelah lima tahun, sebagai sebuah ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional. ”Dunia menghadapi bahaya nyata dan saat ini dari DPRK,” katanya merujuk pada nama resmi negara Korut.
Sanksi DK PBB pertama kali dijatuhkan pada Korea Utara tahun 2006 setelah negara di Semenanjung Korea itu mengadakan uji coba nuklir pertamanya. Setelah itu, sanksi terus diberlakukan, dengan total 10 resolusi, untuk mengendalikan program nuklir dan rudal balistik negara tersebut.
Dalam resolusi terakhir yang berujung pada penerapan sanksi, Desember 2017, pembatasan ekspor minyak ke Korea Utara menjadi sasaran negara-negara anggota DK PBB pendukung resolusi agar Pyongyang mau tunduk. Akan tetapi, sejauh ini upaya itu dinilai tidak berhasil.
Sebelum pemungutan suara, Kamis kemarin, Thomas-Greenfield mendesak seluruh anggota DK PBB memenuhi komitmennya dan bertindak melawan peluncuran ICBM Korut dan program nuklir Pyongyang yang meningkat.
Seusai pemungutan suara, Thomas-Greenfield bersama dubes Jepang untuk PBB dan dubes Korea Selatan untuk PBB membacakan pernyataan bersama yang isinya menyebut bahwa tindakan veto oleh China dan Rusia itu berbahaya. Veto yang dilakukan China dan Rusia dinilai tidak hanya merusak resolusi DK sebelumnya, tetapi juga mengancam keamanan kolektif bersama.
Ketiga negara bersumpah untuk tidak tinggal diam dan berjanji untuk bekerja sama untuk melindungi kawasan dan dunia ”dari eskalasi DPRK yang berkelanjutan dan tidak beralasan.”
Pengumuman rencana pemungutan suara di DK PBB terjadi selang beberapa jam seusai Pyongyang menggelar uji coba peluru kendali mereka, yang waktunya berdekatan dengan perjalanan Presiden AS Joe Biden ke Korea Selatan dan Jepang. Peluncuran yang dilakukan pada Rabu (25/5/2022) itu adalah peluncuran ke-17 yang dilakukan sepanjang tahun ini.
Para ahli menilai, di satu sisi, Korut terus melakukan peluncuran untuk memperlihatkan kemajuan teknologi persenjataan jarak jauhnya. Akan tetapi, di sisi lain, Pyongyang dinilai ingin agar tindakan itu menjadi alat tawar bagi pencabutan sejumlah sanksi dan konsesi lainnya.
Resolusi yang disponsori AS itu bertujuan untuk mengurangi ekspor minyak mentah ke Korea Utara, dari semula 4 juta barel per tahun menjadi 3 juta barrel. Selain itu, impor minyak olahan juga dikurangi, dari semula 500.000 barel menjadi hanya 375.000 barel per tahun. Termasuk dalam sanksi tersebut adalah ekspor impor bahan bakar mineral, minyak mineral, lilin mineral dari Korea Utara serta jam tangan dan sejumlah suku cadangnya.
Usulan resolusi yang gagal itu juga memasukkan rencana pembekuan aset global terhadap tiga perusahaan Grup Lazarus, Korut dan satu invividu, yang dilaporkan terlibat dalam spionase di dunia maya, pencurian data, perampokan moneter hingga operasi malware terhadap pemerintah, militer dan jasa keuangan hingga perusahaan pelayaran.
Dinilai kontraproduktif
Sementara China dan Rusia memandang tindakan menjatuhkan sanksi baru yang lebih berat terhadap Korut bakal kontraproduktif. Keduanya menekankan bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah dialog baru antara Korea Utara dan Amerika Serikat.
Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun menyalahkan Amerika Serikat karena tidak membalas inisiatif positif Korea Utara selama pembicaraan antara tahun 2018-2019 saat Donald Trump berkuasa di Gedung Putih. Zhang menilai, AS bertanggung jawab untuk melanjutkan dialognya dengan Pyongyang serta menemukan solusi politik bagi perdamaian di wilayah Semenanjung Korea.
Zhang juga mengingatkan bahwa perang Korea Selatan-Korea Utara terhenti dengan gencatan senjata, bukan perjanjian damai. Hingga saat ini, status kedua negara pun masih dalam status berperang. ”Situasi dan semenanjung telah berkembang menjadi seperti sekarang ini terutama karena kegagalan kebijakan AS dan kegagalan untuk menegakkan hasil dialog sebelumnya,” katanya.
Alih-alih menjatuhkan sanksi yang lebih keras, China dan Rusia mengusulkan pencabutan beberapa sanksi untuk memperbarui situasi kemanusiaan di Korea Utara.
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan, Moskwa telah berulang kali mengatakan kepada AS bahwa sanksi baru terhadap Korut adalah jalan menuju jalan buntu. Dalam pandangan Rusia, sanksi tidak akan efektif dan tidaklah manusiawi bila tujuannya untuk menekan Pyongyang.
”Masalah keamanan di kawasan, yang juga secara langsung memengaruhi Rusia, tidak dapat diselesaikan melalui cara-cara primitif dan blak-blakan yang berdampak langsung pada penduduk. Selama setahun terakhir, kami hanya melihat situasi yang memburuk di Semenanjung (Korea),” katanya.
Nebenzia mengatakan, negara-negara Barat telah mengalihkan kesalahan dan kelemahan dalam pembuatan kebijakannya pada Pyongyang. Pada saat yang sama, AS juga dinilai mengabaikan keinginan Pyongyang yang membuka peluang dialog.
Zhang juga sempat menyinggung ”poros Asia yang kini tengah digalang AS, yang dipandang sebagai perlawanan atas kebangkitan pengaruh China, baik dalam bidang ekonomi maupun militer ”. Zhang mengingatkan agar situasi yang terjadi di Semenanjung Korea tidak digunakan oleh pihak tertentu sebagai alat untuk agenda strategi dan geopolitik negara tersebut.
”Kami sepenuhnya menentang segala upaya untuk menjadikan Asia timur laut sebagai medan perang atau untuk menciptakan konfrontasi atau ketegangan di sana,” kata Zhang. (AP/AFP)