Finlandia Resmi Ajukan Keanggotaan NATO, Rusia dan Turki Menentang
Finlandia, Minggu (15/5/2022), secara resmi mengumumkan akan mengajukan keanggotaan NATO dan mengakhiri netralitas militer yang sudah berlangsung sejak PD II. Rusia dan Turki menentangnya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
HELSINKI, MINGGU – Rusia dan Turki menentang keinginan Finlandia dan Swedia mengubah haluan geopolitik dan keamanannya dari semula sebuah negara netral menjadi bergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan, perubahan haluan politik dengan meninggalkan netralitas adalah sebuah kesalahan dan dapat merusak hubungan Rusia dengan negara-negara tersebut.
Penekanan bahwa keputusan untuk bergabung dengan NATO itu adalah sebuah kesalahan disampaikan Putin saat berbicara dengan Presiden Finlandia Sauli Niinisto melalui sambungan telepon, Sabtu (14/5/2022. Sehari kemudian, Minggu (15/5/2022), Pemerintah Finlandia secara resmi mengumumkan niatnya untuk bergabung dengan NATO.
”Hari ini, Presiden Republik dan Komite Kebijakan Luar Negeri Pemerintah Finlandia telah bersama-sama sepakat bahwa negara ini akan mengajukan keanggotaan NATO setelah berkonsultasi dengan parlemen. Ini adalah hari bersejarah. Era baru sedang dibuka,” kata Presiden Niisto, Minggu.
Parlemen Finlandia akan bersidang untuk memperdebatkan proposal keanggotaan pada hari Senin. ”Kami berharap parlemen akan mengonfirmasi keputusan untuk mengajukan keanggotaan NATO selama beberapa hari mendatang. Itu akan didasarkan pada mandat yang kuat,” kata Perdana Menteri Sanna Marin.
Mayoritas anggota parlemen Finlandia mendukung keputusan tersebut setelah Partai Sosial Demokrat Marin pada Sabtu mengatakan mendukung keanggotaan. Marin berharap kedua negara bisa mengajukan aplikasi keanggotaan pada hari yang sama.
Pengajuan aplikasi keanggotaan oleh Finlandia secara resmi mengakhiri ”netralitas” mereka yang telah berjalan sejak akhir Perang Dunia II, sikap yang mereka pilih setelah kekalahan pahit dari Uni Soviet pada perang tersebut. Bagi warga Finlandia, invasi Rusia ke Ukraina meningkatkan kekhawatiran bahwa hal itu sewaktu-waktu bisa terjadi pada negara mereka.
Dikutip dari laman BBC, Iro Sarkka, ilmuwan politik di Universitas Helsinki, Finlandia, mengatakan, menyaksikan agresi Rusia di Ukraina telah menghidupkan kembali sejarah kelam negara tersebut. Pada saat yang sama, Finlandia juga memiliki perbatasan langsung sepanjang 1.340 kilometer dengan Rusia. ”Mungkinkan hal yang sama terjadi pada kami,” ucap Sarkka.
Swedia juga mengalami perasaan yang sama, terancam, selama beberapa tahun terakhir. Pelanggaran wilayah udara oleh jet-jet tempur Rusia dan sebuah laporan pada 2014 tentang kapal selam Rusia yang bersembunyi di perairan dangkal Stockholm membuat kekhawatiran ”agresi” Rusia itu bisa berlangsung sewaktu-waktu.
Dalam pernyataannya, Kremlin menyebutkan bahwa Putin menekankan soal pengabaian kebijakan tradisional, netralitas militer akan menjadi sebuah kesalahan. Putin mengatakan, sebagai negara bertetangga, tidak ada ancaman terhadap keamanan Finlandia.
”Perubahan kebijakan luar negeri seperti itu akan bisa berdampak negatif pada hubungan Rusia-Finlandia,” kata Putin, dalam pernyataan yang dikeluarkan Kremlin.
Perubahan kebijakan luar negeri seperti itu akan bisa berdampak negatif pada hubungan Rusia-Finlandia.
Tidak ada penjelasan berapa lama percakapan kedua pemimpin negara tersebut berlangsung. Namun, masing-masing menggambarkan bahwa pembicaraan itu berlangsung terbuka dan lugas. ”Percakapan melalui telepon yang diprakarsai oleh Finlandia itu terbuka dan lugas,” kata Niinisto, dalam pernyataan yang dikeluarkan kantor Kepresidenan Finlandia.
Menteri Luar Negeri Finlandia Pekka Haavisto menggarisbawahi bahwa perbicangan Niinisto dan Putin adalah dalam semangat hidup bertetangga yang telah terjalin baik selama bertahun-tahun. ”Sangat penting bagi kita untuk berkomunikasi dengan tetangga kita,” bahkan jika ”kita tidak meminta izin apa pun untuk langkah politik kita,” ujarnya.
Seperti halnya Rusia, Turki menentang masuknya Finlandia dan Swedia ke dalam keanggotaan NATO. Namun, dengan alasan yang berbeda. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuding kedua negara Nordik itu menyembunyikan banyak anggota kelompok Fethullah Gulen yang pernah melakukan percobaan kudeta terhadap pemerintahannya pada 2016. Namun, militer Turki berhasil menggagalkan upaya kudeta tersebut.
Tak hanya itu, Erdogan juga menuding Swedia telah melindungi sejumlah etnis Kurdi yang juga menentang pemerintahannya. Erdogan menyatakan, dia tidak memiliki pendapat yang positif mengenai pengajuan keanggotaan NATO kedua negara itu.
Menteri Luar Negeri Luksemburg Jean Asselborn mengakui bahwa tidak jarang Pemerintah Turki memiliki pandangan dan sikap yang berbeda dengan sebagian besar anggota NATO. Namun, dia menilai, Ankara tidak memperlihatkan sinyal yang buruk mengenai keanggotaan dua negara Nordik itu. Bahkan, Ankara dinilai siap untuk berdialog dan mengatasi perbedaan pandangan dengan Finlandia dan Swedia.
Menteri Luar Negeri Slovakia Ivan Korcok bahkan lebih percaya diri. Ia meyakini NATO akan menemukan solusi yang akan memenuhi kekhawatiran kedua negara yang jelas ingin bergabung dengan aliansi. (AFP/Reuters)