Jurnalis Veteran Al Jazeera Tewas dalam Serbuan Tentara Israel
Para wartawan Palestina itu sedang bersiap merekam serangan tentara Israel saat tiba-tiba tentara Israel menembaki mereka. Peluru pertama mengenai Ali Samoudi, jurnalis Al Quds. Peluru kedua mengenai Shireen Abu Akleh.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
JERUSALEM, RABU — Jurnalis senior Palestina yang bekerja untuk Al Jazeera, Shireen Abu Akleh (51), tewas di tengah serbuan tentara Israel di kawasan Jenin, wilayah pendudukan Tepi Barat, Rabu (11/5/2022). Jurnalis Palestina lainnya, Ali Samoudi, terluka oleh tembakan di punggung.
Akleh dan Samoudi bergabung dengan rombongan jurnalis yang meliput serangan tentara Israel (IDF) di Jenin. ”Kami sedang bersiap merekam serangan tentara Israel dan tiba-tiba mereka menembaki kami. Peluru pertama mengenai saya dan peluru kedua mengenai Shireen,” kata Samoudi, jurnalis koran Palestina, Al Quds, sebagaimana dikutip Al Jazeera dan Anadolu Agency.
”Mereka membunuh dia karena mereka pembunuh berdarah dingin dan sangat terlatih membunuh orang Palestina,” lanjut Samoudi.
Menurut Samoudi, tidak ada milisi Palestina di lokasi penembakan. Ia menyangkal bahwa ada baku tembak antara aparat Israel dan milisi Palestina di lokasi.
Dalam video yang beredar di sejumlah media massa Timur Tengah dan media sosial terlihat Samoudi dan Akleh sama-sama menggunakan helm dan rompi antipeluru. Pada helm dan jaket mereka tertulis ”Press”. Sebutir peluru menembus bawah telinga Abu Akleh sehingga jurnalis yang juga memegang kewarganegaraan Amerika Serikat itu terjatuh dan tak lama kemudian meninggal.
Samoudi dan sejumlah jurnalis menuding penembak runduk Israel sengaja menyasar Akleh dan jurnalis lainnya di lokasi. Jurnalis lain di lokasi, Shatha Hanaysha, meyakini bahwa tentara Israel menembaki rombongan mereka. ”Kami berempat di tempat yang paling terbuka. Tidak ada baku tembak,” ujarnya.
Kala itu, tentara Israel berada di depan rombongan jurnalis. Sementara di belakang rombongan itu ada tembok. ”Tentara pendudukan (Israel) tidak berhenti menembak meski dia (Abu Akleh) sudah jatuh. Saya tidak bisa mengulurkan tangan untuk menarik dia karena tembakan tidak berhenti,” tutur Samoudi.
Direktur Pengelola Al Jazeera Giles Trendle menyatakan terkejut dan sedih atas kematian Abu Akleh. Semasa hidup, Abu Akleh (51) bekerja untuk Al Jazeera sejak tahun 1997. Perempuan jurnalis kelahiran Jerusalem itu melaporkan berita-berita di wilayah teritorial Palestina.
Trendle mengatakan bahwa penembakan itu mengingatkan serangan yang disengaja oleh tentara Israel terhadap media massa. Ia merujuk pada pengeboman Menara Al Jalaa di Gaza yang digunakan kantor berita Associated Press sebagai kantor.
Ia meminta ada penyelidikan atas pembunuhan Abu Akleh. ”Kami tidak bisa dibungkam oleh upaya-upaya untuk menghentikan kami. Misi kami selalu menghadirkan informasi tentang yang terjadi di dunia. Dengan kejadian ini, misi itu semakin penting,” ujarnya.
Juru bicara IDF Brigadir Jenderal Ran Kohav meragukan anggota IDF menembak Akleh. ”Kami menawarkan penyelidikan bersama Palestina. Jika memang kami membunuhnya, kami akan bertanggung jawab,” tuturnya.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett menyebut, tidak ada dasar menuding Israel bertanggung jawab atas kematian Abu Akleh. Ia malah menuding milisi Palestina yang menembak Abu Akleh dan rombongan jurnalis di Jenin.
”Ada rekaman (video dari Palestina) yang mengatakan mereka menembak tentara dan tentaranya terkapar di tanah. Tidak ada tentara (Israel) terluka. Hal itu membuka kemungkinan mereka (milisi Palestina) menembak jurnalis,” ujarnya.
Duta Besar AS di Israel Thomas Nides dan Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Perdamaian Timur Tengah Tom Wennesland meminta penyelidikan atas kematian Abu Akleh. ”Sedih mengetahui kematian warga AS yang juga jurnalis Palestina, Shireen Abu Akleh. Saya mendorong penyelidikan menyeluruh atas kematian dia,” tulisnya di media sosial.
Kelompok pembela HAM Israel, Yesh Din, meminta penyelidikan internasional. Sebab, penyelidikan Israel berulang kali terbukti gagal mengungkap fakta atas kasus sejenis.
Direktur Human Rights Watch Israel Omar Shakir mengatakan bahwa IDF sudah dikenal luas kerap menggunakan kekuatan berlebihan. ”Kejadian ini harus dipahami dalam konteks praktik sistematis dan pembunuhan banyak jurnalis Palestina lainnya,” ujarnya.
Cuci tangan Israel
Menurut Shakir, penyelidikan internal Israel lebih kerap menjadi upaya cuci tangan dibandingkan menemukan fakta dan keadilan. ”Kalau ada laporan kejahatan, IDF selalu menyatakan akan menyelidiki. Faktanya, tidak ada pertanggungjawaban pada aneka kesewenangan itu,” tuturnya.
Pengajar hukum internasional di Al-Quds University, Mounir Nesseba, berpendapat senada. Ada kebiasaan membebaskan tentara Israel dari kejahatan yang mereka lakukan terhadap orang Palestina. ”Sulit mengharapkan Israel mau bertanggung jawab. Setiap kali ada keluhan soal kejadian seperti ini, Israel tidak pernah menyelidiki secara serius,” ujarnya.
Ia mendesak Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) menyelidiki pembunuhan Abu Akleh dan ribuan warga Palestina lainnya. ”Mahkamah punya kewenangan di Palestina. Kami berharap Mahkamah bertindak,” kata Nesseba.
Abu Akleh bukan warga AS pertama yang tewas di Palestina. Pada Maret 2003, buldozer IDF melindas Rachel Corrie yang mencoba menghentikan penggusuran terhadap rumah warga di Gaza. IDF menyimpulkan pengemudi buldozer tidak sengaja melindas Corrie. Sementara rekan-rekannya di lapangan menyebut Corrie terlihat jelas oleh pengemudi yang tetap menjalankan buldozer tersebut.
Sementara pada Januari 2022, Omar Abdelmajed Assad (71) tewas dalam tahanan Israel. Warga AS yang juga penduduk Palestina itu ditangkap IDF dalam razia pada 19 Januari 2022 dini hari. Dalam pernyataan IDF, Assad disebut menolak diperiksa sehingga ia ditangkap, diborgol, lalu ditelungkupkan ke tanah. Sejam setelah penangkapan, Assad ditemukan tewas. (AFP/REUTERS)