Informasi Menyesatkan Mengelilingi Kembalinya Dinasti Marcos
Ferdinand Marcos Jr selangkah lagi akan menjadi pemimpin Filipina, setelah 98 persen suara masuk dan menyatakan keunggulannya. Tapi, kemenangan itu dibalut kerja pendengung untuk menyebarluaskan kabar palsu.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
MANILA, RABU – Ferdinand Marcos Jr., putra mantan diktator Ferdinand Marcos yang digulingkan oleh kekuatan rakyat pada tahun 1986, akan memimpin Filipina selama enam tahun ke depan. Kemenangan laki-laki yang biasa disapa Bongbong ini semakin pasti setelah 98 persen surat suara yang masuk ke Komisi Pemilihan Filipina, sebanyak 31 juta suara mendukungnya, dua kali lipat jumlah suara pesaing terdekatnya, Leni Robredo.
"Ini adalah kemenangan bagi semua orang Filipina, dan untuk demokrasi," kata juru bicara Bongbong, Vic Rodriguez.
Bongbong sendiri belum mengumumkan secara resmi kemenangannya karena proses penghitungan suara masih berlangsung hingga akhir bulan ini. Walau begitu, dia menyatakan terima kasih atas dukungan rakyat Filipina dan memintanya untuk bekerja sama bagi masa depan negara tersebut.
Kepastian unggulnya Bongbong telah membuat sejumlah pihak khawatir tentang masa depan demokrasi di negara tersebut. Apalagi, Bongbong menolak mengakui kesalahan yang telah dilakukan orang tuanya ketika berkuasa di negara tersebut antara tahun 1965-1986, mulai dari pelanggaran hak asasi manusia hingga tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme. Bongbong dan pasangannya dalam pemilu ini, Sara Duterte-Carpio, enggan membicarakan sejarah masa lalu, termasuk kebijakan orang tua mereka, yang dinilai keluar dari jalur hukum.
Pelanggaran HAM
Amnesty International mengatakan sangat prihatin dengan penghindaran Marcos Jr. dan Sara Duterte dari diskusi tentang pelanggaran hak asasi manusia, dulu dan sekarang, di Filipina. “Jika dikonfirmasi, pemerintahan Marcos Jr. akan menghadapi beragam tantangan hak asasi manusia yang mendesak,” kata lembaga tersebut.
Sekelompok aktivis prodemokrasi yang menderita di bawah kediktatoran mengatakan mereka marah dengan kemenangan nyata Marcos dan akan menentangnya.
“Kemungkinan kemenangan berdasarkan kampanye yang dibangun di atas kebohongan terang-terangan, distorsi sejarah, dan penipuan massal sama saja dengan menipu jalan Anda menuju kemenangan. Hal ini tidak bisa diterima,” kata kelompok Kampanye Menentang Kembalinya Marcos dan Darurat Militer.
Etta Rosales, mantan ketua Komisi Hak Asasi Manusia yang dua kali ditangkap dan disiksa selama darurat militer di tahun 1970-an, mengatakan bahwa kemenangan Marcos Jr. membuatnya menangis tetapi tidak akan menghentikannya untuk melanjutkan upaya untuk meminta pertanggungjawaban Marcos.
“Saya hanya satu di antara banyak orang yang disiksa; yang lain dibunuh, saya diperkosa. Kami menderita di bawah rezim Marcos dalam perjuangan untuk keadilan dan kebebasan dan ini terjadi,” kata Rosales.
Narasi terdistorsi
Keluarga Marcos telah membantah melakukan kesalahan dan banyak pendukungnya, blogger dan influencer media sosial mengatakan akun historis terdistorsi.
Dikutip dari laman Rappler, Bongbong menuai manfaat dari mesin disinformasi yang telah lama bergerak jauh sebelum pemilu. Buzzer atau pendengung dan pasukan siber yang dikelola tim kampanyenya dinilai berhasil menutupi sejarah masa lalu Filipina yang kelam di bawah sang ayah dan juga mengincar para pesaing serta lawan politik Bongbong.
Fatima Gaw, asisten profesor komunikasi di Fakultas Komunikasi Massa Universitas Filipina mengatakan, para pendengung telah mendorong warganet untuk merasionalisasi kebohongan dan distorsi informasi yang diunggah oleh pasukan siber Bongbong. Tujuannya adalah untuk menciptakan simpati dan empati terhadap Bongbong atau bahkan keluarga besar Ferdinand Marcos.
“Saya tahu ini hal ini terdengar konyol. Akan tetapi, jika Marcos Jr mengaku sebagai korban dari ketertutupan informasi pemerintah Filipina (pascapenggulingan sang ayah) dan semua hal yang dia klaim, mungkin orang akan merasa kasihan terhadapnya karena telah menjadi korban,” kata Gaw.
Cleve Arguelles, profesor ilmu politik di Universitas De La Salle, menggemakan hal ini. Dia menyoroti kampanye disinformasi yang terorganisir memicu bagaimana pemilih memandang tidak hanya Marcos Jr. tetapi juga lawan-lawan politiknya serta isu-isu yang dilemparkan kepadanya.
"Kami tahu bahwa ini adalah enam tahun dalam pembuatan. Keluarga Marcos benar-benar berinvestasi begitu banyak dalam mesin disinformasi yang sekarang hanya mereka nikmati, menuai keuntungan dari investasi khusus itu," katanya.
Dikutip dari laman BBC, Celine Samson, Ketua Tim Pemeriksa Fakta di Vera Files, yang menjadi bagian dari koalisi pemeriksa fakta Tsek.ph dan Tony La Vida dari Koalisi Gerakan Melawan Disinformasi, hasil penelitian mereka memperlihatkan bahwa Bongbong menjadi penerima manfaat terbesar dari berita palsu yang tersebar di berbagai platform media sosial. Sedangkan Robredo adalah korban terbesarnya.
"Kami melihat semua disinformasi terkait pemilu yang kami periksa faktanya pada tahun 2021, dan menemukan bahwa banyak yang benar-benar menopang Bong Bong Marcos, mencoba menggambarkan keluarganya sebagai keluarga yang tidak mencuri kekayaan dari kas pemerintah. Tidak hanya itu, informasi yang disebarluaskan para pendengung menggambarkan ayahnya sebagai seseorang yang tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Samson.
Brittny Kaiser, whistleblower atau peniup peluit dalam kasus Cambridge Analytica, dikutip dari laman BBC mengungkapan bahwa perusahaan itu pernah didekati oleh keluarga Marcos untuk melakukan rebranding ulang sejarah keluarganya. Tapi, hal itu dibantah oleh juru bicara tim kampanye Bongbong dan menyatakan hal itu sebagai menyesatkan. (AP/Reuters)