Dinasti Marcos Kembali, Erosi Demokrasi di Kawasan Berlanjut
Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong unggul jauh atas pesaing utamanya, Leni Robredo, dalam pemilihan presiden Filipina 2022. Keunggulan Bongbong diyakini akan membawa pembusukan demokrasi lebih dalam di Filipina.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
MANILA, SELASA – Ferdinand Marcos Jr unggul telak atas para pesaingnya dalam penghitungan suara pemilihan presiden Filipina 2022. Putra mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos, itu mendapatkan dukungan lebih dari 30,8 juta pemilih berdasarkan hasil tabulasi penghitungan suara tidak resmi hingga Selasa (10/5/2022).
Penantang terdekatnya, Leni Robredo, yang kini menjabat sebagai wakil presiden, mendapatkan 14,7 juta suara. Legenda tinju Filipina, Manny Pacquiao, hanya mendapatkan dukungan 3,5 juta suara. Hanya Wali Kota Manila Francisco Domagoso atau Isco, kandidat yang telah mengakui kekalahannya.
Robredo belum mengakui kekalahannya karena proses penghitungan suara masih berlanjut hingga akhir bulan ini, diteruskan dengan validasi suara yang masuk. Namun, dia mengakui keunggulan perolehan suara sementara Marcos Jr atau yang biasa disapa Bongbong.
Di kursi wakil presiden, perolehan suara tertinggi diraih Sara Duterte-Carpio, putri Presiden Rodrigo Duterte. Keunggulan Bongbong dan Duterte-Carpio dipandang sebagai arus balik reformasi politik yang pernah dijalankan Filipina pascapenggulingan Marcos tahun 1986. Selama dua periode pemilihan umum, tahun 2016 dan 2022, rakyat Filipina memilih pemimpin yang dinilai melanggengkan pengucilan terhadap demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia.
Julio Teehanke, profesor politik di Universitas De La Salle, Manila, mengatakan, pemerintahan Bongbong akan mempercepat proses pembusukan demokrasi dan lembaga-lembaga yang dibangun di atas fondasi sistem itu.
“Lembaga-lembaga demokrasi negara itu telah dihancurkan oleh enam tahun kepresidenan Duterte dan munculnya disinformasi daring, di samping korosi oligarki, korupsi, dan pemerintahan yang buruk selama beberapa dekade,” katanya.
Ayah Bongbong, Marcos Sr, ditumbangkan setelah berkuasa dengan tangan besi selama lebih dari 20 tahun sejak Desember 1965. Demonstrasi besar-besaran yang dikenal sebagai Revolusi Kekuatan Rakyat atau EDSA (Epifano de los Santos Avenue) telah menumbangkan Marcos dari kekuasaannya.
Revolusi EDSA merupakan respons atas diberlakukannya hukum darurat militer yang membungkam kebebasan berekspresi dan hak berpendapat masyarakat sipil. Mirip dengan rezim Soeharto di Indonesia, pemerintahan Marcos juga tidak membolehkan adanya kritik di media massa terhadap pemerintah.
Jika nekat, konsekuensinya pembredelan. Semua harus sesuai dengan apa yang diinginkan Marcos Sr. Oposisi diberangus dengan pucaknya adalah pembunuhan Benigno ”Ninoy” Aquino.
Selain itu, selama berkuasa, dinasti Marcos juga menumpuk kekayaan bagi keluarga dan orang-orang terdekatnya. Dinasti Marcos menjadi sangat identik dengan penjarahan kekayaan, kronisme, dan kehidupan glamor keluarga presiden. Miliaran dollar AS kekayaan negara menghilang dan masuk ke kantong-kantong pribadi anggota keluarga Marcos dan kroninya.
Pada masa pemerintahan Duterte, pembunuhan di luar hukum (extrajudicial killing) menjadi cara Duterte menjaga ketertiban. Puluhan ribu pembunuhan warga atas nama hukum dilakukan aparat kepolisian dengan perintah Duterte, yang ingin memberantas peredaran narkotika di Filipina. Mahkamah Kriminal Internasional pun berniat menyelidiki hal itu.
Laporan Institue for Democracy and Electoral Asistance (IDEA) yang berbasis di Swedia tentang situasi demokrasi di kawasan Asia Pasifik tahun 2021 menyebutkan, Filipina bersama Srilanka, Indonesia, dan India, memperlihatkan penurunan yang signifikan padasituasi berdemokrasi. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi, terutama ketika berhubungan dengan kerja pengawasan terhadap pemerintah.
Freedom House, sebuah lembaga pemantau demokrasi yang berbasis di Amerika Serikat, menempatkan Filipina sebagai negara dalam kategori cukup bebas. Namun, lembaga itu menilai ada beberapa kebijakan mendasar pemerintah yang menempatkan Filipina jauh dari negara demokratis, yaitu terancamnya kebebasan pers, keterbukaan dan transparansi pemerintahan, serta sistem peradilan dan hukum yang independen atau bebas dari intervensi kekuatan politik. Bahkan, lembaga itu menilai, sistem hukum dan peradilan di Filipina gagal memberikan perlindungan bagi masyarakat sipil.
Amnesty International menyatakan keprihatinan dengan keunggulan penghitungan suara sementara di Filipina yang menempatkan Bongbong di posisi teratas. Apalagi Bongbong dan Duterte-Carpio selalu menghindari diskusi tentang pelanggaran hak asasi manusia, baik dulu maupun sekarang, di Filipina. “Jika dikonfirmasi, pemerintahan Marcos Jr akan menghadapi beragam tantangan hak asasi manusia yang mendesak,” katanya.
Human Rights Watch juga meminta Marcos Jr, jika dia menjabat, untuk memperbaiki situasi hak asasi manusia di Filipina. "Dia harus menyatakan diakhirinya 'perang melawan narkoba' yang telah mengakibatkan pembunuhan di luar proses hukum terhadap ribuan orang Filipina, serta memerintahkan penyelidikan yang tidak memihak dan penuntutan yang tepat terhadap pejabat yang bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum ini," kata Phil Robertson, Wakil Direktur HRW Asia.
Situasi kawasan
Bongbong, yang dalam masa kampanye selama tiga bulan hampir tidak pernah menjelaskan rencana kebijakannya, baik dalam negeri maupun luar negeri, diperkirakan akan melanjutkan kebijakan Duterte. Dalam relasi antarnegara, Bongbong diperkirakan akan memelihara hubungan yang lebih dekat dengan China dan Rusia. Pada saat yang sama, dia akan menjaga jarak dengan AS.
Marcos Jr tidak menjelaskan secara spesifik tentang garis kebijakan luar negeri yang akan diambilnya jika menjadi presiden. Akan tetapi, dalam wawancara dengan stasiun radio DZRH pada Januari, dia mengatakan akan mengizinkan AS untuk memainkan peran dalam penyelesaian sengketa teritorial dengan China, yang akan membawa bencana bagi Filipina. Untuk itu, dia ingin mengejar hubungan yang lebih baik dengan China, termasuk kemungkinan mengesampingkan keputusan tahun 2016 oleh pengadilan di Den Haag yang membatalkan hampir semua klaim historis China atas Laut China Selatan.
Andrea Chloe Wong, mantan peneliti pada Departemen Luar Negeri Filipina mengatakan, AS dan Filipina memiliki sejarah hubungan pasang surut. Pemerintahan Presiden AS Joe Biden saat ini, dalam pandangannya, memiliki kepentingan geostrategis di Filipina, seperti halnya negara-negara di Pasifik selatan yang saat ini juga tengah didekati China.
“Jika Biden ingin mempromosikan cita-cita demokrasi AS dan hak asasi manusia, dia mungkin harus mengisolasi pemerintahan Marcos. Pendekatan Marcos ke AS akan sangat bergantung bagaimana Biden akan terlibat dengannya,” kata Wong.
Gregory B Poling, Direktur Program Asia Tenggara pada Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington, berpandangan, meski Biden mungkin lebih suka bekerja dengan lawan Marcos, yakni Robredo, aliansi AS-Filipina sangat penting bagi Negeri Paman Sam itu untuk keamanan dan kemakmuran kedua negara, terutama di era baru persaingan dengan China.
“Tetapi ketika menyangkut kebijakan luar negeri, Marcos tidak akan memiliki ruang yang sama untuk bermanuver seperti yang dilakukan Duterte,” kata Poling. (AP/Reuters)