Hasil jajak pendapat yang menempatkan Ferdinand Marcos Jr unggul, tampaknya akan terulang dalam pemilihan presiden Filipina. Hal ini menimbulkan kekhawatiran.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD, PASCAL S BIN SAJU
·5 menit baca
MANILA, SENIN – Ferdinand Marcos Jr, putra mendiang diktator Filipina, Ferdinand Marcos, kian dekat dengan kursi kepresidenan Filipina. Berdasarkan hasil jajak pendapat, ia diprakirakan akan meraih kemenangan bersejarah pada pemilihan presiden 2022. Pemilihan yang melibatkan sekitar 67 juta pemilik suara bisa menjadi titik balik bagi negara bekas protektorat Spanyol ini. Hingga berita ini ditulis, dalam penghitungan tidak resmi, sebagaimana diberitakan Philstar, Marcos Jr telah mengumpulkan lebih dari 30,2 juta suara pemilih. Pesaing terdekatnya, Leni Robredo meraup lebih dari 14,4 juta suara pemilih.
Sejak Senin (9/5/2022) pagi, warga yang antusias terlihat mengular dalam antrean untuk menggunakan hak pilih mereka. Pemilih rela antre di bawah sinar matahari terik untuk memilih presiden baru, yang sejak awal kampanye mengerucut pada persaingan Bongbong, panggilan Marcos Jr, dan rival terdekatnya, Leni Robredo, politisi yang sebelumnya berprofesi sebagai pengacara hak asasi manusia dan kini adalah wakil presiden petahana.
”Ini adalah pemilihan bersejarah yang sangat berkesan. Kami memilih dalam situasi pandemi untuk seorang presiden baru. Itulah mengapa kami mengharapkan jumlah pemilihnya tinggi,” kata komisioner Komisi Pemilihan Filipina, George Erwin Garcia.
Tingginya jumlah pemilik suara yang antusias mendatangi 70.000 TPS di seluruh negeri memberi keyakinan sejumlah pihak bahwa Bongbong bisa memenangi pemilihan ini dengan tingkat perolehan suara di atas 50 persen, seperti hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga Survei Pulse Asia awal pekan kemarin. Dalam jajak pendapat itu, 56 persen responden mendukung Bongbong. Persentase dukungan itu 33 persen lebih tinggi dibandingkan perolehan Robredo. Butuh keajaiban bagi Robredo untuk bisa menyaingi hasil jajak pendapat tersebut hanya dalam waktu beberapa hari saja sebelum pemungutan suara berlangsung.
Dada Docot, seorang antropolog pemilik kewarganegaraan Filipina yang tinggal di Tokyo, Jepang, mengaku prihatin dengan hasil jajak pendapat terakhir, yang memperlihatkan keunggulan Bongbong.
“Saya merasa sangat cemas. Saya berharap oposisi di tingkat pemerintah lokal dan nasional menang. Saya takut Marcos Jr berkuasa, apalagi berpasangan dengan Sara Duterte,” kata Docot.
Analis politik dari Universitas Diliman Filipina Aries Arugay, dikutip dari Al Jazeera, berpendapat, pemilu kali ini adalah pemilihan antara orang baik menghadapi orang jahat. “Ini cukup jelas. (Bongbong) mewakili dinasti, otokrasi, dan impunitas. Sementara Robredo adalah kebalikannya: integritas, akuntabilitas dan demokrasi,” kata dia.
Namun, pandangan sebaliknya diutarakan Josephine Llorca, pendukung Bongbong dan keluarga Marcos. Menurutnya, sejak pemerintahan Ferdinand Marcos jatuh, tidak ada pemerintah yang benar-benar bisa mengangkat kehidupan warga miskin. Menurut dia, pascapenggulingan Marcos, pemerintah Filipina telah gagal.
"Kami telah mencobanya dan mereka bahkan lebih buruk daripada waktu keluarga Marcos," katanya.
Citra
Bongbong, bersama keluarga besarnya dan sang ibu, Imelda Marcos, memberikan suaranya di Sekolah Dasar Memorial Mariano Marcos, Batac City. Kota tersebut adalah salah satu benteng suara keluarga Marcos.
Sandro, putra Bongbong yang baru berusia 28 tahun dan ikut dalam pemilihan sebagai calon anggota kongres, sempat mengakui bahwa sejarah keluarga adalah sebuah beban. Namun, dia mengatakan hal itulah yang coba diperbaiki ketika mereka memenangi pemilihan ini. “Itu adalah salah satu yang kami coba perbaiki saat kami (bisa) melayani,” katanya.
Dalam berbagai kampanye yang diikutinya, baik Bongbong maupun pasangannya, Sara Duterte-Carpio mengenalkan platform kampanye mereka sebagai pembawa persatuan. Mereka berjanji di bawah kepemimpinan mereka, Filipina akan dipersatukan sebagai sebuah bangsa dan negara.
Dikutip dari laman media setempat, Philstar, Bongbong mengungkapkan jati diri dan karakter bangsa Filipina yang sejatinya adalah manusia yang ramah dan baik. “Adalah dalam hati dan kebiasaan orang Filipina untuk bersikap baik. Kami tidak berkelahi, kami tidak mencari masalah. Yang kami inginkan hanyalah untuk memiliki kehidupan yagn layak bagi diri sendiri, keluarga dan negara kami,” kata Bongbong.
Tidak ada penjelasan lebih detil mengenai program yang ingin dikerjakan oleh Bongbong bila terpilih menjadi presiden nanti. Bongbong sendiri menolak untuk hadir dalam beberapa forum diskusi yang diadakan secara independen, termasuk oleh sejumlah media di Filipina, di mana ia memiliki kesempatan untuk menjelaskan detil visi misi dan platformnya.
Juru bicara Marcos, Vic Rodriguez mengatakan, rakyat sudah lelah dengan ucapan para politisi, termasuk dengan debat di berbagai forum. “Rakyat lelah berjuang. Jika kita pergi ke forum untuk menikmati dan melihat kandidat bertarung, kami tidak akan ambil bagian. Yang ingin didengar bangsa adalah solusi,” katanya.
Tanpa kehadiran dalam forum debat atau diskusi, dukungan yang besar terhadap Marcos bisa dipahami setelah timnya meluncurkan kampanye besar-besaran yang mengusung nada revisionisme historis. Didukung oleh banyak pemilih muda, yang sebagian besar lahir setelah penggulingan Ferdinand Marcos tahun 1986, pendukungnya menolak narasi penjarahan, kroniisme dan tindakan brutal pemerintah saat sang ayah masih berkuasa. Semua narasi yang coba digaungkan oleh pesaingnya dicap sebagai sebuah kebohongan.
Kampanye besar-besaran itu dilakukan timnya melalui berbagai platform media sosial. Temuan Rappler mennyebut, tim kampanye Bongbong dan Sara Duterte menggunakan Facebook, Twitter, hingga YouTube untuk “menghapus” jejak rekam sejarah keluarga Marcos. Dan, mereka juga mencoba menyerang pribadi Robredo dengan pernyataan-pernyataan yang misoginis.
Meski demikian, kubu Marcos telah membantah menjalankan kampanye informasi yang salah.
Analis politik Richard Heydarian memperingatkan, jika Bongbong memenangi pemilihan dengan margin yang besar atas pesaing-pesaingnya, kemenangan besar seperti itu dapat memungkinkannya membuat perubahan konstitusional untuk memperkuat kekuasaannya dan melemahkan checks and balances demokrasi.
"Ini persimpangan lain bagi kami," kata Judy Taguiwalo (72), seorang aktivis prodemokrasi. Dia pernah disiksa dan ditangkap saat Ferdinand Marcos berkuasa. Bila Bongbong memenangi pemilihan, tidak ada pilihan lain baginya untuk berjuang kembali. (AFP/Reuters)