Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menegaskan sikapnya untuk mempercepat pengembangan rudal balistik Korut. Selain untuk memperkuat pertahanan, langkah itu menjadi pesan bagi negara-negara yang dianggapnya menjadi musuh.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·4 menit baca
SEOUL, RABU - Jelang pelantikan presiden baru Korea Selatan, Yoon Suk-yeol, pada 10 Mei mendatang, Korea Utara kembali menguji rudal balistik mereka. Rudal itu, Rabu (4/5/2022), ditembakkan ke wilayah perairan di timur Semenanjung Korea. Kepala Staf Gabungan Korea Selatan Won In- choul mengatakan, rudal tersebut ditembakkan dari Bandara Sunan. Sebelumnya, pada 24 Maret lalu, Korut juga menguji rudal balistik antarbenua Hwasong-17 yang ditembakkan dari wilayah yang sama.
Bagi Korsel, uji coba rudal yang berkali-kali dilakukan Korut—tercatat 14 sejak awal tahun—dinilai sebagai ancaman besar dan berpotensi merusak perdamaian dan keamanan internasional. Selain itu, uji coba rudal oleh Pyongyang melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang Korut menguji coba rudal balistik. Karena itu, Seoul mendesak Pyongyang menghentikan uji coba rudal dan berdialog.
Di sisi lain, seorang analis dari Institut Korea untuk Unifikasi Nasional, Hong Min, mengatakan, uji coba itu bisa saja merupakan pesan bagi presiden Korsel terpilih, Yoon Suk-yeol. Saat kampanye, Yoon dengan tegas mengatakan akan mengambil kebijakan yang lebih keras atas Korut. Seiring dengan hal itu, ia juga akan meningkatkan kerja sama keamanan dengan Amerika Serikat, pihak yang selalu disebut Pyongyang sebagai musuh besar. ”Uji coba ini bisa menjadi pesan peringatan untuk Yoon,” kata Hong Min.
Sejauh ini, Yoon sendiri siap membuka pintu dialog dan bersedia membahas perdamaian jika Pyongyang bersedia melakukan denuklirisasi. Tentu saja, menurut Hong, permintaan itu tak mungkin diterima Pyongyang. Terkait Korut, pendekatan Yoon itu berbeda dari pendahulunya, Presiden Moon Jae-in yang dinilai lebih ”lunak” kepada Pyongyang.
Moon merupakan salah satu aktor di balik pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korut Kim Jong Un di Singapura dan Hanoi. Moon juga berulang kali mendorong dialog dan pertemuan dengan Pyongyang, bahkan ia menggelar pertemuan langsung dengan Kim Jong Un. Namun, bagi Yoon, pendekatan semacam itu dinilai sebagai kegagalan. Pada saat kampanye, ia lebih memilih ”membentengi” Korsel dengan perisai rudal dari AS serta meningkatkan latihan militer bersama. Sikap itu membuat Pyongyang marah. Sebagai catatan, akhir bulan ini, Presiden AS Joe Biden dijadwalkan berkunjung ke Seoul dan bertemu dengan Yoon.
Melihat posisi itu, Hong berpendapat, uji coba rudal oleh Pyongyang bisa dibaca sebagai penegasan Korut bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain meningkatkan sistem persenjataan mereka.
”Terutama jika Seoul dan Washington memutuskan mengerahkan aset militer strategis ke Korea Selatan,” katanya.
Sebelumnya, ketika hadir dalam parade militer besar-besaran pekan lalu, Kim Jong Un menegaskan bahwa Pyongyang akan mempercepat pengembangan persenjataan nuklir Korut. Ketika hadir dalam pertemuan dengan para petinggi militer pekan lalu, Kim mengatakan bisa secara pre-emptive menggunakan kekuatan nuklirnya untuk melawan serangan musuh, termasuk jika kepentingan nasional Korut terancam.
Kecaman Jepang
Melihat sikap itu, uji coba rudal Korut tidak hanya berdampak pada Korsel, tetapi juga kawasan. Tidak heran apabila Jepang pun kembali mengecamannya.
Pada uji coba Rabu, rudal yang ditembakkan Korut jatuh di luar zona ekonomi eksklusif Jepang, tindakan itu tetap tidak bisa diterima. ”Serangkaian tindakan Korea Utara yang mengancam perdamaian, keamanan, dan stabilitas komunitas internasional tidak diizinkan,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida kepada wartawan di Roma, Italia.
Kishida mengatakan akan membahas isu tersebut dengan mitranya, Perdana Menteri Italia Mario Draghi. ”Tentu, kami akan bertukar pandangan tentang situasi regional di Indo-Pasifik dan Asia Timur, dan saya akan menjelaskan secara menyeluruh realitas kawasan, termasuk peluncuran rudal Korea Utara hari ini, untuk mendapatkan pemahaman tentang situasi mendesak di Asia Timur,” kata Kishida.
Menurut Kementerian Luar Negeri Korsel, ketika Korut menggelar uji coba pada Rabu, perwakilan Korsel dan Jepang menggelar pembicaraan membahas desakan agar Korut berhenti memicu ketegangan dan kembali ke meja diplomasi.
Pada hari yang sama, negosiator nuklir China, Liu Xiaoming, juga bertemu dengan Wakil Menteri Luar Negeri Korsel Choi Jong-kun. Dalam kesempatan itu, Choi Jong-kun mengharapkan peran konstruktif Beijing dalam menstabilkan situasi di Semenanjung Korea.